Umumnya, orang akan mengatakan bahwa arti dari
iman adalah ‘percaya’. Tidak dapat disalahkan jawaban yang seperti itu. Namun
jika masih menjawab seperti itu kita tak ubahnya anak SD yang baru saja selesai
mendapat pelajaran Agama Islam di kelas. Atau apa bedanya dengan agama selain
Islam? Hindhu, Buddha, Kristen, Katholik, Konghucu, dan lain sebagainya juga
mengartikan iman sebagai ‘percaya’. Ada yang lebih ‘lucu’ lagi mengatakan bahwa
iman adalah ‘misteri’. Jangan sampai umat Islam terjebak pada pemahaman ini.
Karena lemahnya pemahaman akan suatu hal yang mendasar sama saja merusak arti
pemahaman itu dan parahnya merusak citra agama hanya karena kita salah dalam
memahami hal yang sudah menjadi prinsip dalam agama.
Makna
dari iman –tanpa melupakan fiqih- sejatinya adalah perkataan dan perbuatan yang
membenarkan apa yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul-Nya. Iman bagi kaum
muslimin adalah sesuatu yang amat sangat sukar dijaga, karena ia dapat naik dan
dapat pula turun. Karena iman letaknya di hati, dan hati adalah sesuatu yang
bisa terbolak-balik. Jadi dalam bahasa Arab qalb
(hati) adalah sesuatu yang dapat
bolak-balik. Iman tidak dilakukan setengah-setengah. Karena jika hanya
mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian, sama saja membatalkan iman itu
sendiri dan kemungkinan dapat membatalkan keislamannya. Allah menyindir kaum di
luar Islam dalam firman-Nya.
“Apakah kamu ingkar kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 85)
“Apakah kamu ingkar kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 85)
Dengan
lisan ia membenarkan, dengan lisan pula ia menyampaikan segala kebenaran yang
ada dalam Islam, yang diturunkan langsung oleh Allah, dan disebarkan dalam
bentuk dakwah oleh Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam. Begitu pula dengan perbuatannya. Melakukan segala
sesuatunya sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah, menjauhi larangan-Nya,
dan taat kepada Rasul-Nya. Makna sejati dari iman sangatlah penting untuk
berdakwah. Karena kekurangan kaum muslimin dewasa ini justru meremehkan hal-hal
dasar yang seharusnya tidak dianggap remeh dalam agama. Membahas iman adalah
keharusan karena ianya penting untuk membersihkan hati dari kotoran. Jikalau
hati sudah kotor, kelak yang akan didakwahkan kepada orang-orang juga kotor.
Dengan
iman kita dapat menunjukkan betapa sempurnanya Islam, dengan iman pula kita
dapat berkata-kata lembut, sehingga orang lain semakin yakin bahwa Islam memang
agama yang lembut dan rahmatan lil
‘alamin. Iman juga yang menolong kita dari siksa neraka. Iman pula yang
dapat membantu anak-anak Adam berpadu berjuang. Karena kesatuan iman akan
membuat keterikatan manusia satu sama lain. Maka latihlah diri agar selalu
menjaga imannya agar senantiasa on fire.
“Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan “la ilaha illallahu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim)
“Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan “la ilaha illallahu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim)
Iman pun mempunyai cabang-cabangnya
sendiri, dari cabang itu bisa dikelompokkan yang mana yang paling kuat dan yang
mana yang paling lemah. Begitu pula balasan yang diterima, tergantung dari
cabang iman tersebut. Di antara cabang-cabang ini ada yang bisa membuat
lenyapnya iman manakala ia ditinggalkan, menurut ijma’ ulama; seperti dua
kalimat syahadat. Ada pula yang tidak sampai menghilangkan iman menurut ijma’
ulama manakala ia ditinggalkan; seperti menyingkirkan rintangan dan gangguan
dari jalan.
“Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Semakin beriman ia, maka akan semakin takut kepada Allah. Dirinya senantiasa merasa diawasi dimanapun berada. Karena Allah Maha Segalanya. Apabila mendengar nama Allah, semakin kuat getaran imannya, getaran yang dirasa atas ketakutan akan siksa dan kecintaannya yang tiada batas kepada Sang Pencipta. Karenanya ia selalu memperbaiki diri dan meng-upgrade imannya sehingga menjadi insan bertaqwa.
Semakin beriman ia, maka akan semakin takut kepada Allah. Dirinya senantiasa merasa diawasi dimanapun berada. Karena Allah Maha Segalanya. Apabila mendengar nama Allah, semakin kuat getaran imannya, getaran yang dirasa atas ketakutan akan siksa dan kecintaannya yang tiada batas kepada Sang Pencipta. Karenanya ia selalu memperbaiki diri dan meng-upgrade imannya sehingga menjadi insan bertaqwa.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (Al-Anfaal: 2)
Jika gerakan dakwah
diisi oleh para pengemban dakwah yang mempunyai semangat militan, kuat fisiknya
dan iman di hatinya, maka akan semakin kuatlah Islam secara luar dalam di zaman
yang serba ‘menggilas’ ini. Bahkan Islam akan lebih kuat ketimbang kejayaan yang
pernah dirasakan kaum muslimin di masa lalu. Keluasan ilmu dan keluasan iman
para pengemban dakwah akan terasa dengan (kembali) meluasnya Islam ke seluruh
pelosok bumi. Akhlaqnya yang lembut, lebih lembut dibanding sejumput kapas, pun
sejuknya lebih sejuk daripada angin pagi yang berhembus menyapa kulit. Mereka
sadar betapa kecil diri mereka hingga tak sesaat pun mereka ingin menyombongkan
diri di muka bumi. Itulah cerminan pengemban dakwah, yang di bahunya terpikul
segala kehormatan dan kemuliaan Islam. Tidak secuil pun terpikir olehnya
melainkan Allah pasti menolongnya. Kemudian mereka bertemu pula dengan
orang-orang beriman yang lainnya, lalu terbentuklah sebuah barisan yang kokoh,
yang tak akan tertembus peluru sebesar apapun. Allah pun mencintai dan
mengokohkan mereka.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10)
“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati-hati mereka (kaum mukminin), seandainya kamu membelanjakan dunia dan seisinya, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah lah yang mempersatukan hati-hati mereka.” (Al-Anfal: 63)
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya adalah laksana bangunan yang saling menguatkan bagian satu dengan bagian yang lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka itulah orang-orang yang bertawakkal kepada
Allah. Mereka tidak mengharapkan selain-Nya, tidak menuju kecuali kepada-Nya
dan tidak mengadukan hajatnya kecuali kepada-Nya. Mereka itu orang-orang yang
memiliki sifat selalu melaksanakan amal ibadah yang di syariatkan maupun
menjauhi segala yang dilarang. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar
beriman, dengan tercapainya hal-hal tersebut baik dalam i’tiqad maupun amal
perbuatan.
0 comments:
Post a Comment