Mempertanyakan keabsahan Al-Qur’an, mempertanyakan
finalitas kenabian Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, mencaci-maki orang
Islam yang menjalankan syariat dengan benar, mendukung yang buruk dan menghina
yang baik. Itu adalah beberapa ‘pekerjaan rutin’ orang-orang pembenci Islam.
Lucunya, ada dari kalangan (orang yang mengaku) muslim yang ikut dalam
pekerjaan tersebut. Mereka menyebut dirinya Islam liberal. Bukannya jadi keren,
malah seharusnya belas kasihan yang kita layangkan pada mereka. Mereka tidak mampu mempelajari Islam
secara mendalam dan mengambil hikmahnya, akhirnya malah membencinya. Sama saja
dengan orang yang (merasa) tak mampu dan malas belajar matematika, kemudian
membenci pelajaran matematika, dan bahkan gurunya pun dibenci juga.
Liberal
adalah bebas, dan setiap kebebasan pasti ada batasnya. Namun, sila tanyakan kepada
orang-orang liberal itu, sampai mana batas kebebasan mereka, dan kita akan
mendapat jawaban yang muter-muter ibarat jet coaster. Mereka pun sebenarnya
bingung untuk sekadar menafsirkan apa itu ‘islam liberal’. Ini cuma salah satu
dari berbagai kelucuan dan kekonyolan mereka dalam berpikir. Maklum lah, karena
orang Islam yang merasa terkungkung dan ingin bebas dalam berislam adalah orang
yang sedang mengalami kemunduruan berpikir.
Setiap
sistem ada panduannya. Begitupula dalam hidup, setiap agama memiliki buku
panduannya. Buku panduan manusia penganut Islam ialah Al-Qur’an, selainnya ada
hadis yang berisi perkataan, perbuatan, ataupun perintah-perintah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya agama yang mengatakan zina itu haram.
Hanya agama yang mengatakan homoseksual itu haram. Hanya agama yang mengatakan
mencuri itu haram. Hanya agama yang mengatakan membunuh tanpa alasan itu haram.
Hanya agama, bukan logika, bukan pikiran. Allah mengaruniakan pikiran kepada
setiap manusia. Pikiran itu yang dapat membawa manusia dalam melakukan tindakan
sehari-harinya. Lalu Allah turunkan kitab suci yang disempurnakan oleh
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia supaya terhindar dari segala
kebinasaan. “Kitab ini (Al-Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya,” (QS. 2:2)
begitu kata Allah. Allah turunkan pedoman agar manusia tidak keluar jalur dalam
menjalani hidupnya. Allah memberikan manusia pikiran agar mengambil hikmah dari
setiap yang terkandung dalam pedoman yang diturunkannya. Allah selalu
menghendaki kemudahan bagi kita, bukan kesulitan. Sudah jelas dan tak diragukan
lagi, maka yang meragukan kejelasannya adalah orang-orang yang mengalami
kemunduran dalam berpikir dan orang-orang yang malas berpikir.
Salah
satu panutan mereka, Charles Kurzman, memulai pengantar dalam bukunya Wacana
Islam Liberal dengan pernyataan yang aneh, nyeleneh dan bikin kepala
geleh-geleh! Kurzman bilang, ungkapan ‘islam liberal’ (liberal islam)
mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan (a
contradictio in terms). Buku karangannya diberi judul Wacana Islam
Liberal, tetapi iapun bingung dalam mengistilahkan ‘islam liberal’. Pasti ia bingung, apa mungkin bisa Islam jadi liberal?
Pasrah tapi bebas? Pada akhirnya Kurzman tetap bersikukuh bahwa ‘islam liberal’
itu tidak kontradiktif. Tetapi segala penjelasan dan definisi yang dia apungkan
dalam tulisannya, justru membuat kita lagi-lagi bingung. Kurzman benar-benar tidak menjelaskan definisi ‘islam liberal’ secara
rinci. Kemudian Kurzman ‘main aman’ dengan mengutip pernyataan dari sarjana
hukum asal India, Ali Ashgar Fyzee yang menulis, "Kita tidak perlu
menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya,
marilah kita sebut itu 'islam liberal'." Tambah konyol lagi, Fyzee munculkan istilah lain; 'islam protestan'. Nah, pengekornya, Luthfi Assyaukanie
(dosen Universitas Paramadina) manut dengan istilah ini. Ditambah oleh Luthfi, "Dengan
istilah ini ('islam protestan' atau 'islam liberal'), Fyzee ingin menyampaikan
pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang
non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang
berorientasi ke masa depan dan bukan masa silam."
Di
antara tokoh (yang mengaku) muslim yang menghujat keaslian dan otentisitas
Al-Qur’an ialah Nasr Hamid Abu Zayd. Abu Zayd telah diputuskan murtad oleh
pengadilan di tanah kelahirannya, Mesir. Setelah gelarnya sebagai guru besar
ditolak di Mesir, ia kemudian pindah ke Belanda dan menjadi ‘tamu agung’ di
sana, tepatnya di Leiden University. Di antara hujatannya terhadap Al-Qur’an,
dia juga mengatakan dalam bukunya Teks Otoritas Kebenaran bahwa, teks
(dalam Al-Qur’an) bukanlah satu-satunya medium yang memiliki otoritas untuk
memperoleh otoritas kebenaran. Masih banyak lagi pemikiran-pemikirannya yang
menunjukkan bahwa seorang yang sudah mendapat gelar akademik yang tinggi pun
masih bisa tersesat dan mengalami kemunduran dalam berpikir. Dalam bukunya Al-Qur’an Dihujat, Ustadz Henri
Shalahuddin benar-benar menelanjangi pemikiran-pemikiran sesat Nasr Hamid Abu Zayd dalam mengkritik Al-Qur’an. Bagi
kalangan pengasong liberal di Indonesia, Abu Zayd adalah idola. Kekaguman tokoh
liberal terhadap Abu Zayd ini termasuk kepada pendapatnya tentang Al-Qur’an
sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi), teks linguistik (nash lughawi), teks
sejarah (nashun tarikhiyyun), dan sebagainya. Pokoknya segala pemikiran dan
pernyataan Abu Zayd adalah benar menurut mereka. Ini juga lucu, sebab mereka
meragukan dan menghujat para ulama yang dia katakan belum tentu benar karena para ulama juga
manusia. Sedangkan perkataan-perkataan ‘ulama’ mereka tidak pernah dikritik dan
pasti langsung diamini.
Ada
lagi Irshad Manji dari kalangan homoseksual. Manji adalah feminis-lesbianis
(dan pastinya) liberalis asal Kanada dan mengaku muslimah, padahal
prilakunya sangat menyimpang jauh. Manji aktif berkampanye mempromosikan
ide-idenya tentang perjuangan kaum lesbian dan kawan-kawannya ke berbagai
negara, termasuk Indonesia. Manji pernah dua kali ke Indonesia. Kunjungan
pertama mendapat respon luar biasa dari kalangan liberalis dalam mempromosikan
bukunya, The Trouble With Islam Today yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Beriman Tanpa Rasa Takut. Namun, kedatangan
keduanya, justru disambut dengan ‘gegap gempita’ oleh beberapa ormas Islam.
Dihujat, dan acara-acara yang mengundang Manji sebagai pembicara dibubarkan.
Kedatangan keduanya dalam rangka mempromosikan bukunya yang berjudul Allah,
Love, and Liberty. Manji bahkan dibawa ke kantor polisi saat menghadiri
bedah bukunya di komunitas Salihara di Pejaten. Komunitas Salihara ini tempat
kongkownya manusia-manusia liberal. Tokoh-tokoh ‘muslimah liberal’ Indonesia
seperti Nong Darol Mahmada (mantan pemakai kerudung) dan Siti Musdah Mulia
(guru besar UIN Syarif Hidayatullah) adalah pengagum berat Irshad Manji. Bahkan Musdah Mulia mengatakan, bahwa homoseksual, lesbi, dan bisesksual itu diakui
dalam Islam. Sungguh gila.
Mengultuskan
‘Ulama’ Mereka
Banyak
pula tokoh-tokoh orientalis yang berusaha meliberalisasi Islam dari luar.
Mereka secara serius mempelajari Islam hanya untuk mencari-cari kesalahannya.
Mereka belajar bahasa Arab dan segala ilmu yang mendukung mereka untuk
mempelajari Islam. Tak sedikit di antara mereka yang justru terbawa oleh
kedamaian Islam dan akhirnya memeluk Islam. Namun banyak juga di antara mereka
yang justru semakin membenci Islam karena sulitnya mereka dalam menangkap
ajaran-ajaran Islam yang selalu memancing pemeluknya untuk berpikir. Barangkali
mereka tidak tersiram segarnya hidayah dari Allah, wallahu a’lam.
Mereka
terus-menerus mengatakan bahwa Al-Qur’an yang sekarang kita pegang ini adalah hasil
permainan politik ‘Utsman bin Affan. Karena mereka anggap ‘Utsman melakukan
keputusan nepotisme dengan mengangkat saudara-saudaranya jadi pejabat. Begitu
juga dengan Al-Qur’an, mereka katakan itu hasil egoisme dari Khalifah ‘Utsman bin
Affan. Jangankan para ulama, para sahabat, bahkan Nabi pun, mereka tak
segan-segan untuk menghina.
Namun
anehnya, mereka mengultuskan para ‘ulama’nya. Apa yang dikatakan orang-orang
semacam Nasr Hamid Abu Zayd, Irshad Manji, Jalaluddin Rakhmat, Nurcholish
Majid, dan kawan-kawan mereka anggap selalu benar tanpa celah sedikitpun. Ini
bentuk kekonyolan dan ‘kecurangan’ mereka. Mereka katakan tak boleh mengklaim
kebenaran sepihak, tetapi mereka sendiri yang berlaku seperti itu. Mereka bilang tidak boleh
langsung percaya begitu saja kepada para ulama, karena mereka juga manusia.
Padahal mereka juga manusia, dan omongan itu lebih pantas tertuju kepada diri
mereka sendiri. ‘Ulama’ mereka memusuhi kita umat Muslim yang berusaha menjalankan
syariat dengan benar. Mereka melabeli kita dengan ‘islam fundamentalis’ atau
‘islam radikal’. Jadi, kalau sekarang banyak yang bertanya-tanya darimana
sebenarnya asal-usul istilah-istilah baru dalam Islam, salahkanlah mereka para
liberalis. Islam ya Islam. Tanpa embel-embel di belakang namanya, hanya
satu dan takkan tergantikan.
Barangkali kita juga harus berkaca pada diri kita sendiri. Boleh jadi kita juga
sudah menjadi liberal tanpa kita sadari. Kita juga masih harus belajar dan
mengkaji Islam lebih dalam di samping mempelajari cara menangkal liberalisasi
dalam Islam. Jangan sampai kita malah tertular virus mereka, di kala kita
menjauhi mereka sebagai ancaman berbahaya. Paling tidak, kita harus membaca dan
berguru. Membaca itu penting, tetapi adanya guru gak kalah penting juga.
Terkadang kita bisa salah menafsirkan makna dari buku yang kita baca. Jangan
pula langsung percaya dengan segala informasi yang kita dapatkan dari berbagai
media. Kita harus mengutamakan prinsip tabayun, atau menggali informasi secara
mendalam kepada suatu masalah dan mencari sumbernya. Supaya kita tidak disesatkan
oleh informasi yang kita dapatkan secara mudah dan gratis.
Melihat
ini semua, mungkin kita bisa mengambil hikmah bahwa Allah menurunkan ujian kita
berupa manusia-manusia liberal yang justru akan membuat kita semangat
mempelajari Islam lebih dalam lagi. Agar anak-cucu kita terjaga dari virus
berbahaya ini. Selain itu, kita juga bisa terinspirasi dari orang-orang liberal
dan para orientalis karena sikap kritis mereka. Mereka juga semangat
mempelajari Islam, bahkan lebih semangat dari kita yang muslim. Kita malah
masih saja berleha-leha dan terlena dengan segala kenikmatan semu dunia. Malah lebih parah lagi,
kita merasa sudah menguasai ilmu-ilmu agama. Padahal ilmu kita belumlah
seberapa. Ulama-ulama hijrah dari kota ke kota, negara ke negara hanya untuk
belajar, dan bukan dalam waktu yang singkat.
Semoga kita tak pernah lelah untuk
belajar, dan senantiasa saling mengingatkan dengan kebenaran, kesabaran, serta
kasih sayang.'Isy Kariiman aw Mut Syahiidan
0 comments:
Post a Comment