Islam adalah sebuah agama yang
menyeluruh, lengkap, dan melengkapi. Karena kelengkapannya, Islam tidak luput
dari mengajarkan umatnya untuk mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Apa yang
harus diajarkan kepada anak-anak adalah bagaimana mereka kembali kepada
fitrahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasalam: “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah). Maka orang
tuanya-lah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi…”
(HR. Bukhari).
Seringkali
kita melihat di sekitar kita, banyak orang tua yang begitu bangga ketika
mengetahui anaknya mendapat nilai sempurna dalam ujian pelajaran matematika di
sekolahnya atau menjadi juara di kelasnya karena prestasi akademik si anak.
Tetapi justru tenang-tenang saja ketika anaknya yang sudah semakin besar dan
dewasa masih terbata-bata membaca Al-Qur’an. Padahal Allah berpesan agar kita
tetap dalam fitrah kita sebagai manusia, yaitu tetap berpegang teguh pada
Islam. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.
Ar-Ruum: 30).
Peran
besar orang tua bagi anak-anaknya adalah menjadikan anaknya tetap pada
fitrahnya, yaitu tetap dalam keislamannya. Begitu banyak pesan-pesan Allah dan
Rasul-Nya dalam mendidik anak. Begitupula dengan buku-buku tentang nasihat
mendidik anak yang tidak jarang kita temui di berbagai toko buku di lingkungan
kita.
Menarik
jika kita menyimak beberapa nasehat Luqman al-Hakim kepada anak-anaknya. Hingga
nasehatnya pun diabadikan oleh Allah ke dalam kitab suci Al-Qur’an di dalam
surah yang sama dengan namanya; Luqman, surah ke-31. Luqman bukanlah seorang
rasul apalagi seorang nabi, tetapi Allah menciptakan Luqman menjadi manusia
yang penuh hikmah dalam setiap perbuatan dan perkataannya. Termasuk teladan
dalam memberi nasehat kepada anak. Tentunya, bukan kapasitas sebagian besar
dari kita untuk menjadi orang tua seperti Luqman. Akan tetapi, pastilah ada
hikmah tersembunyi dari setiap ayat-ayat yang diturunkan Allah.
Adalah
sangat penting bagi orang tua untuk mengajarkan banyak hal kepada anaknya.
Setidaknya orang tua sering-sering memberi nasihat kepada anaknya. Agar selalu
tertanam keimanan dan akhlaqul karimah
dalam diri si anak. Di antara pesan-pesan tersebut, selanjutnya akan dipaparkan
pesan-pesan apa saja yang perlu diberikan kepada anak.
Pesan
Bertauhid kepada Anak
Bagi mereka yang rajin membaca dan mengkhatamkan
Al-Qur’an, akan sangat familiar dengan nasehat Luqman al-Hakim yang tertulis
dalam Al-Qur’an surah Luqman. Nasehat yang pertama adalah: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar.” (Luqman: 13). Pesan pertama Luqman yang terekam dalam al-Qur’an
kepada anaknya adalah agar anaknya tidak mempersekutukan Allah. Sebab,
kesyirikan adalah kezaliman yang sangat besar. Oleh karena itu, ketika turun ayat
yang berbunyi, “Orang-orang yang beriman tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman.” (QS. Al-An’aam: 82). Maka terasa beratlah hal itu bagi
para sahabat Rasulullah. Lalu mereka bertanya, “Siapakah di antara kami yang
imannya tak dikotori kezaliman?” Maka Rasulullah saw menjawab, “Hal itu
maknanya tidak seperti itu. Bukankah kau telah mendengar perkataan Luqman, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar.’” (Muttafaq ‘alaih).
Hal
yang paling penting diajarkan kepada anak-anak adalah jangan sampai mereka
mempersekutukan Allah. Karena hal ini akan mempengaruhi segala tindakan dari
hidup yang dijalaninya. Ketika iman di dalam hatinya sudah tertancap kuat, secara
tidak langsung akan memperbaiki akhlak serta semangatnya dalam memperjuangkan
Islam. Tidak terkecuali dengan semangatnya menuntut ilmu. Itulah mengapa
nasihat Luqman diawali dengan pesan untuk tidak menyekutukan Allah. Bukan
mendirikan shalat dahulu, atau berakhlak baik dahulu. Karena ketauhidan adalah
pengantar dari segala pendidikan. Maka nasihat Luqman kepada anaknya diawali
dengan larangan berbuat syirik, baru kemudian mendirikan shalat, amar ma’ruf
nahi munkar, bersabar, dan berakhlak baik.
Pesan
bijak lainnya, akan kita dapatkan dari Nabi Muhammad saw. Ketika Rasul berpesan
kepada sahabat sekaligus anak dari pamannya, Ibnu Abbas r.a. yang ketika itu
Ibnu Abbas masih kecil dan sedang beranjak besar.[1]
Nabi bersabda, “Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa
kata ini sebagainasihat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan
menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan
berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada
Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh
umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu
melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu
itu. Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakaimu sedikitpun
kecuai atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah
kering.” (HR. at-Tirmidzi).
Dari
hadis tersebut dapat kita lihat bahwa tauhid adalah kunci penting untuk
membaguskan akhlak anak-anak. Betapa pentingnya tauhid, sehingga kita wajib
mengajarkannya sejak dini, sebagaimana Luqman kepada anaknya, atau Nabi kepada
anak pamannya. Betapa perasaan tauhid akan memunculkan muraqabah
(perasaan selalu diawasi oleh Allah swt). Ketika perasaan muraqabah sudah
tertanam di hatinya, maka otomatis seorang anak akan menjadi yang lebih santun,
tawakkal, dan ikhlas. Mereka akan memahami dengan sendirinya, bahwa perbuatan
sekecil apapun akan diawasi dan dihitung oleh Allah. Jikalau keyakinan ini kita
tanamkan sejak dini, tak pelak akan lahir semangat untuk berbuat kebaikan tanpa
harus mengharap pujian atau sanjungan dari orang lain.
Pesan
Untuk Berbakti Kepada Orang Tua
Berbakti
kepada orang tua, adalah hal yang sangat penting bagi anak-anak. Karena Allah
menyejajarkan perintah berbakti kepada orang tua dengan berbakti kepada Allah.
Allah berfirman: “Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
dari keduanya atau kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
jangan sekali-kali kamu berkata ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa: 23).
Islam
adalah agama yang menjunjug tinggi penghormatan kepada orang tua. Karena orang
tua (ibu) yang melahirkan anaknya, kemudian berpayah-payah dalam membesarkan
dan mendidik anaknya menjadi anak yang berguna bagi lingkungan sekitarnya. Jika
perintah untuk tidak mempersekutukan Allah disejajarkan dengan perintah
berbakti kepada orang tua, berarti menyakiti orang tua adalah sama halnya
dengan menyakiti Allah. Berkata “ah”
saja dilarang, apalagi sampai menghina atau melecehkan mereka.
Ketika
kita membicarakan bakti kepada orang tua, kita akan akrab dengan kata birrul walidain. Birrul walidain adalah salah
satu perintah Allah kepada para hamba-Nya. Birrul
walidain berasal dari dua kata, birru
dan al-walidain. Imam Nawawi ketika
mensyarahkan Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata birru mencakup makna bersikap baik,
ramah dan taat yang pada umumnya tercakup dalam budi pekerti yang baik (husnul khuluq). Sedangkan walidain adalah kedua orang tua,
termasuk kakek-nenek, ataupun orang tua yang sudah beperan dalam membesarkan
dan mendidik anak. Secara umum, birrul
walidain adalah sikap dan perbuatan baik kepada orang tua dengan
memuliakannya, menghormatinya, bersikap baik, dan senantiasa memberikan
pemeliharaan yang terbaik bagi orang tua. Perintah berbuat baik kepada orang
tua, akan kita temukan di tiga belas tempat, termasuk ayat tersebut (Al-Israa:
23). Ini menunjukkan betapa pentingnya berbakti kepada orang tua, sehingga
Allah berkali-kali mengingatkan dalam al-Qur’an.
Pesan
Untuk Mengajarkan Perkataan yang Baik
Kerap
kali saya miris, ketika dikejutkan dengan perkataan-perkataan “tidak
berpendidikan” yang diucapkan seorang anak ketika bermain dengan teman
sebayanya, bahkan dengan orang yang lebih tua sekalipun. Perkataan yang baik,
akan membentuk pribadi yang baik, sebaliknya perkataan yang buruk akan membentuk
pribadi yang buruk. Peran orang tua harus digalakkan dalam membentuk pribada
anak yang pandai berkata baik, dan “tidak mengerti” perkataan yang jelek.
Ajarkan
mereka kalimat-kalimat thayyibah dalam setiap tindak-tanduk hidupnya. Ajarkan
beristighfar ketika lalai, mengucap “masyaa
Allah” ketika kagum, atau ajarkan berkata “subhanallah” ketika melihat kemungkaran. Bukan semata menjadikan
mereka bersih dari perkataan kotor, tapi juga senantiasa mendatangkan pahala
dalam hidup mereka. Orang yang terbiasa berkata-kata baik, akan menjadi magnet
dalam lingkungannya. Ia akan didekati banyak orang, dan sedikit memiliki musuh.
Tentang
ini, Allah menegaskan, bahwa perintah berkata yang baik disejajarkan perintah
ketakwaan. Artinya, bertakwa kepada Allah erat kaitannya dengan berkata-kata
yang baik. Dapat disimpulkan, berarti orang-orang yang perkataannya buruk dan
kotor, bukanlah termasuk orang-orang yang bertakwa. “Dan hendaklah orang-orang takut jikalau di belakang haru mereka
meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan
mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang
benar.” (QS. An-Nisaa: 4).
Ayat
tersebut memberikan kepada kita gambaran, bahwa pribadi anak yang takwa akan
menghilangkan kekhawatiran kita terhadap generasi yang lemah dan penakut. Cara
membangun ketakwaan itu sendiri salah satunya dapat dibangun lewat mendidik
anak untuk senantiasa berkata yang baik, jujur, tidak menipu, dan benar.
Berkata baik atau diam.
Pesan-pesan
tersebut di atas, bukanlah sekadar pesan yang bisa dilupakan sewaktu-waktu
ketika sang anak sudah beranjak dewasa. Akan tetapi, pesan-pesan tersebut jika
dicamkan baik-baik oleh sang anak, akan memberikan jalan lurus bagi anak untuk
menjalani hidupnya. Ketika sang anak mengalami futhur (lemah), pesan-pesan bijak tersebut dari orang tuanya, akan
menjadi penamba semangat dan pelipur lara baginya.
Jadikanlah Anak Sebagai
Manusia Biasa
Teringat
akan nasihat Ali bin Abi Thalib r.a.: “Jadilah
manusiaa paling baik di sisi Allah, (tetapi) jadilah manusia paling buruk dalam
pandangan dirimu, (dan) jadilah manusia biasa di hadapan orang lain.”
Pada
awalnya, Islam memandang kedudukan manusia dalam posisi yang sama. Kemudian
terjadilah perbedaan derajat di mata Allah ketika manusia melakukan
perbuatannya di dunia. Allah tinggikan derajat mereka yang bertakwa, Allah
tinggikan derajat mereka yang menuntut ilmu, Allah tinggikan derajat mereka
yang menjunjung tinggi ajaran dan sunah nabi-Nya. Sebaliknya, Allah jatuhkan
mereka yang munafik, Allah jerumuskan ke neraka orang yang mempersekutukannya,
Allah hinakan mereka yang enggan atau malas menuntut ilmu.
Terkadang
kita lupa, dalam mendidik anak, haruslah memperhatikan kondisi dan potensi sang
anak. Jangan sampai kita membebankan ekspektasi dan amanah yang berlebihan
kepada anak. Jangan sampai anak merasa jenuh, merasa tidak disayang, sehingga
sang anak mencari “ketenangan” di tempat lain. Khawatirnya, justru mereka
mencari ketenangan di tempat-tempat maksiat, atau tempat-tempat yang dibenci
Allah lainnya. Na’udzubillahi min dzalik.
Sudah
semesetinya, kita menjadikan anak-anak bercita-cita untuk menjadi manusia biasa
dengan segala kemanusiabiasaannya. Yaitu manusia yang sesuai dengan fitrahnya.
Kita harus menjaga fitrah anak-anak agar jangan sampai menjadi manusia yang
durhaka kepada orang tua dan Tuhannya. Manusia biasa adalah manusia yang
bertindak sesuai dengan fitrahnya. Mereka berkata benar, berbakti kepada orang
tua, dan tidak mempersekutukan Allah.
Anak
yang sesuai dengan fitrahnya, akan menjadi muslim yang pemberani dan senantiasa
memperjuangkan panji Islam di atas panji-panji lainnya. Secara tidak langsung,
dengan medidik anak menjadi manusia biasa yang sesuai fitrahnya, berarti kita
menghasilkan generasi baru yang berbudi pekerti luhur dan memperjuangkan Islam
dengan segenap harta dan jiwanya.
[1] Mohammad Fauzil Adhim. Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan.
Yogyakarta: Pro-U Media. 2012.
Referensi
Al-Qur’an al-Kariim.
Adhim, Mohammad Fauzil. Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan.
Yogyakarta: Pro-U Media. 2012.
Adhim, Mohammad Fauzil. Saat Berharga Untuk Anak Kita.
Yogyakarta: Pro-U Media. 2009.
Adhim, Mohammad Fauzil. Segenggam Iman Anak Kita. Yogyakarta:
Pro-U Media. 2013.
Asy-Syahari, Majdi Muhammad. Pesan-Pesan Bijak Luqmanul Hakim. Depok:
Gema Insani Press. 2005.
Husaini, Adian. Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab.
Jakarta & Depok: Cakrawala Publishing & Adabi Press. 2012.
Nugroho, Eko Novianto. Menjadi Laki-Laki. Depok: Gema Insani
Press. 2013.
0 comments:
Post a Comment