Hidup ini memang beragam. Manusia
yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk, nyatanya memiliki ciri khas
masing-masing. Dari segi fisik, pikiran, psikologi, sifat, mental, dan
sebagainya. Mereka berbeda. Banyak yang bilang, perbedaan itu pelangi. Berlainan
warnanya, namun berpadu menciptakan sebuah harmoni. Memunculkan warna baru yang
sedap dipandang mata. Perbedaan yang menyejukkan. Satu hal yang dapat kita
pelajari, bahwa perbedaan mengajarkan kita untuk bekerjasama. Ya, bekerjasama.
Bukan bekerja bersama.
Sebuah bangunan akan terselesaikan
dengan baik apabila arsitek, mandor, dan kuli bangunan menciptakan sebuah
kerjasama yang apik. Kerjasama adalah saling bekerja dengan pekerjaan yang
berlainan untuk menggapai satu tujuan. Lain halnya dengan bekerja bersama;
yakni bekerja melakukan satu pekerjaan dalam satu waktu. Mereka berbeda.
Saya penikmat sepakbola sejak kecil.
Saya penggemar berat Manchester United. Ketika menginjak usia 7 tahun saya
sudah bisa mengerti dan menjelaskan peran Gary Neville di sisi kanan pertahanan
MU. Sama baiknya ketika saya menjelaskan peran Roy Keane sebagai gelandang
‘pengangkut air’ serta peran Paul Scholes sebagai pengatur permainan –playmaker.
Manakala orang-orang lebih senang membicarakan Ruud van Nistelrooy sebagai mesin
gol MU, atau naik-turun performa kiper MU di era tersebut, saya justru lebih suka
memperhatikan pemain-pemain di lapangan tengah itu. Saya beri nama mereka “Invisible
Hero”. Mereka adalah pahlawan yang tak terlihat, atau mungkin lebih
tepatnya tidak ada yang ingin melihat. Cetak gol? Bukan keahlian mereka.
Umpan-umpan manis? Itu pekerjaan sayap kiri dan kanan. Melakukan penyelamatan
gemilang di depan gawang? Itu lebih pantas dikerjakan oleh kiper dan bek, bukan
gelandang. Mereka bekerja sebagai penyeimbang permainan. Apabila mereka lemah,
maka akan terganggu suplai bola dari belakang ke depan, serta akan hilang
koordinasi di antara keduanya.
Lalu apa hubungannya dengan judul di
atas? Bukan, bukan maksud saya memaksa kalian untuk memahami sepak bola –bagi
yang tidak paham- atau memaksa kalian menyukai Manchester United –sekalipun
kalian fans Chelsea, City, Liverpool, atau klub pecundang lainnya.
Begini, kadang kita terlalu melihat
mereka yang lihai berbicara sebagai orang yang cerdas, dan penentu keberhasilan
sebuah organisasi. Maka tidak jarang orang seperti ini ditunjuk sebagai
pemimpin. Padahal faktanya di lapangan, ia gagap beraktivitas. Pembicaraannya
pun kosong tanpa wawasan. Hanya pintar bicara. Tong kosong nyaring bunyinya.
Kita tidak pernah memperhatikan para konseptor dalam organisasi, atau mereka
yang bekerja dalam kesunyian. Tanpa ada kamera yang mengintai, tanpa ada
siapapun yang menceritakan kerja hebatnya. Tanpa kita sadari, mereka juga punya
andil menyukseskan organisasi. Bahkan andilnya sangat besar. Kita luput.
Kita
sering menganggap bagusnya bangunan adalah hasil kerja keras arsitek semata.
Kita tidak pernah berpikir tentang pengaduk semen yang dengan telaten mencampur
semen, batu, dan pasir hingga semen siap menjadi tembok yang kokoh. Kita tidak
pernah berpikir siapa yang membuat batu bata –yang harganya sangat murah bila
dibandingkan lelahnya bekerja sebagai pembuat batu bata-, sehingga kita bisa
melihat bangunan yang kokoh.
Kadang
kita lupa untuk memuji mereka yang bekerja dalam kesunyian. Kadang kita lupa
menghargai kerja mereka yang ikhlas mewakafkan harta dan jiwanya untuk
pekerjaan yang sering kita anggap remeh. Kadang perhatian kita luput dari
mereka yang banting-tulang demi keberhasilan kita.
Jangan
lupakan mereka yang sejatinya bekerja untuk kita. Bila kita lupa pada mereka,
maka kerja kita pun akan dilupakan. Hal buruknya, bukan dilupakan oleh penduduk
bumi, namun dilupakan oleh penduduk langit.
0 comments:
Post a Comment