Ada sebuah filosofi yang sering digunakan dalam penyelesaian
masalah. Yakni “selesaikan yang besar dahulu kemudian yang kecil akan
mengikuti.” Filosofi ini biasanya digambarkan dengan ember yang harus diisi
berbagai material di dalamnya. Adapun material yang tersedia adalah bebatuan
berukuran besar, batu-batu berukuran lebih kecil, kerikil, dan pasir. Dengan
memasukkan batu yang berukuran besar terlebih dahulu, maka materi-materi yang
lain akan mudah dimasukkan. Batu kecil, kerikil, serta pasir akan masuk ke
ember dengan melewati celah-celah kecil yang disisakan oleh bebatuan besar
tadi. Intinya; utamakan yang besar.
Dalam hal lain,
misalnya seorang pecinta coklat ditawarkan dan harus memilih antara dua batang
coklat, dengan merk dan rasa yang sama. Namun yang satu berukuran besar, dan
yang satunya berukuran kecil. Agak mustahil rasanya jika ia tidak memilih yang
besar. Atau apabila Anda dipekerjakan di sebuah perusahaan, kemudian mendapat
tawaran gaji dengan kisaran empat hingga enam juta rupiah. Hampir pasti Anda
memilih batas maksimalnya, yakni enam juta rupiah. Dalam beberapa hal,
melupakan hal-hal yang besar justru akan berakibat buruk pada diri kita, bahkan
lingkungan kita.
Ketika ada sebuah
bus yang berhenti melintang di jalan utama, pasti akan memicu kemacetan.
Seandainya yang berhenti hanya sebuah mobil berukuran sedang yang notabene jauh
lebih kecil daripada bus, pasti tidak akan terjadi kemacetan yang panjang dan
lama. Toh mobilnya bisa didorong ke pinggir jalan. Sebuah kereta api yang batal
melakukan perjalanan secara otomatis akan menghambat jadwal perjalanan kereta
pada hari tersebut, lain halnya apabila yang batal melakukan perjalanan hanya
sebuah bus kota yang hendak berangkat dari terminal. Pasti lebih mudah mengatasi
masalah keberangkatan bus ketimbang kereta api.
Namun, apakah
pernah terpikir oleh Anda, bahwa ada sebuah agama yang amat sangat memerhatikan
hal-hal kecil? Dan hal-hal kecil inilah justru yang sangat memengaruhi
kehidupan seorang penganutnya.
Islam mengajarkan
segala hal; dari yang paling kecil, hingga yang paling besar. Dari hal yang
paling rumit, hingga hal yang paling remeh. Dari kancah pemerintahan, hingga
kancah rumah tangga. Makan, minum, cara berbicara, cara berpenampilan, gaya
hidup, bahkan masuk kamar kecil pun diatur adab-adabnya. Lantas, apakah hanya
karena itu kemudian Islam dianggap sebagai agama yang amat memerhatikan hal-hal
kecil.
Baiklah.
Sebelumnya harus kita pahami, terkadang kita tidak menyadari bahwa di sekitar
kita banyak sekali hal-hal kecil yang sering menyentil. Ada sebuah hadis yang
berbunyi begini, “Sebutlah nama Allah (baca basmalah), dan makanlah dengan
tangan kananmu, serta makanlah dari makanan yang dekat dengan kamu.” (HR.
Muslim). Satu hal yang dapat dipertanyakan, mengapa harus tangan kanan? Mengapa
harus baca basmalah? Mengapa harus memulai menyantap dari makanan yang paling
dekat dengan kita? Ternyata dalam hadis (riwayat Muslim) yang lain, disebutkan
bahwasanya setan ikut makan bersama kita apabila kita tidak membaca basmalah.
Berat ya? Cuma gara-gara gak pake bismillah, makannya bareng setan. Ini
hal kecil yang sungguh menyentil. Bila kita tidak memerhatikannya, justru
berdampak besar bagi diri kita.
Lalu di kancah negara, apabila seorang pemimpin
tidak menggunakan syariat Islam sebagai landasan bernegara, apakah lantas
negaranya jadi negara setan? Atau kepemimpinannya berubah jadi kepemimpinan
setan? Tentu tidak. Bahkan telah disepakati beberapa ulama, bahwa pemimpin yang
fasik namun kuat lebih diutamakan ketimbang pemimpin yang shalih namun lemah.
Lalu bagaimana bila pemimpinnya zalim? Islam tetap memerintahkan para
pemeluknya untuk menaati pemimpin. Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syar’iyyah-nya
menerangkan bahwa taat pada pemerintah adalah bagian dari aqidah. Ini hal besar.
Kancah negara itu perkara besar, namun juga ada toleransi besar di dalamnya.
Selain itu, nyatanya golongan yang besar itu
justru berpotensi masuk neraka ketimbang golongan yang kecil. “Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
(QS. Al-An’am-116). Lagi-lagi membuktikan bahwa yang besar belum tentu gahar,
dan yang kecil justru menyentil. Golongan yang kecil seringkali dicap aneh.
Akan tetapi justru Allah memutuskan bahwa golongan yang kecil inilah yang masuk
surga. Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat,
niscaya benar-benar akan aku (Iblis) sesatkan keturunannya (Adam as), kecuali
sebahagian kecil." (QS. Al-Israa: 72). Golongan kecil inilah yang
lolos dari godaan iblis dikarenakan mereka senantiasa ber-ittiba’ kepada
ajaran dan sunnah Rasul-Nya.
Lalu, sebenarnya apa inti dari pembicaraan ini?
Simpel saja, hanya mengingatkan agar kita tidak pernah melupakan hal-hal kecil.
Ingatlah, angka 99 tidak akan menjadi 100 tanpa kehadiran angka 1 yang
melengkapinya. Hal-hal besar tidak akan terjadi tanpa ada hal-hal kecil yang
menopangnya. Masih banyak manusia di dunia ini –terutama umat Islam- yang
meremehkan hal-hal kecil dalam hidupnya. Makan/minum sambil berdiri,
makan/minum menggunakan tangan kiri, makan/minum tanpa baca basmalah, melupakan
doa sebelum tidur, shalat tidak di awal waktu (dan berjamaah di masjid bagi
laki-laki), atau hal-hal apapun yang banyak dianggap remeh orang-orang. Bahkan
di antara hal-hal kecil yang sering dilupakan tersebut, beberapa ahli kesehatan
sudah pernah menelitinya dan menyatakan kebenaran ajaran Islam dalam mengatur
pola hidup umatnya. Islam mengatur semua hal remeh tersebut agar kita sebagai
umat Islam mengatur kehidupan dengan baik, dan ini berpengaruh pada
kemaslahatan umat. Lihatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
tidak pernah mengalami sakit. Ya, itu semua karena beliau menjaga pola hidupnya
dengan baik, yang sebagian besar diremehkan orang banyak.
0 comments:
Post a Comment