“Assalamu’alaykum. Besok rapat di masjid kampus jam 16.00. Harap on
time! Sebab ini penting untuk menentukan hidup-matinya dakwah di kampus kita.” Sebuah pesan singkat baru saja masuk ke ponsel Bunga (nama
disamarkan). Sejurus kemudian tanpa basa-basi, Bunga membalas pesan tersebut, “Wa’alaykumussalam.
Maaf, saya izin...”
Agaknya tidaklah
asing kejadian seperti di atas. Izin tanpa alasan yang jelas. Hal seperti ini
biasa terjadi di lingkup organisasi, baik di kampus, sekolah, ataupun
organisasi di luar institusi resmi. Seolah-olah memang tidak ada niat untuk
hadir, atau memang diniatkan tidak hadir. Namun karena bingung mencari alasan
yang logis, atau karena memang sudah terlalu sering meramu alasan, sehingga
malu untuk beralasan lagi.
Perlu dibedakan
antara meminta izin dengan pemberitahuan. Banyak sekali orang yang menyatakan
izin tidak hadir, tetapi sejatinya yang disampaikan hanyalah pemberitahuan. “Maaf
saya tidak bisa hadir. Karena saya harus mengerjakan tugas. Kamu tahu kan,
dosen saya seperti apa? Killernya bukan main!” Inilah contoh pemberitahuan.
Sedangkan izin sejatinya adalah meminta persetujuan, bukan sekadar
pemberitahuan.
Meminta izin
adalah hal yang juga diatur dalam Islam. Adabul isti’dzan (adab meminta
izin) seringkali dilupakan oleh umat Islam, terutama mereka yang bergabung
dalam jamaah. Jika kita perhatikan, Al-Qur’an menyebut tentang adab meminta
izin tak kurang dari dua kali. Misalnya saja dalam QS. An-Nuur ayat ke-27
tentang izin masuk rumah orang lain, ““Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya.” Atau di dua ayat setelahnya, tentang
anak yang harus meminta izin ketika hendak memasuki kamar orang tuanya, “Dan
apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta
izin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” Beberapa hadis
juga mengatur tentang cara meminta izin. Salah satu hadis menyebutkan tentang
keutamaan adabul isti’dzan ini. “Sesungguhnya minta izin itu
dijadikan ketentuan karena untuk menjaga pandangan mata.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Masih dalam surah
yang sama, Al-Qur’an juga mennjelaskan tentang adab meminta izin. Namun kali
ini lebih spesifik. Yakni izin meninggalkan forum. “Sesungguhnya yang
sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan
yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum
meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu
(Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya,
maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah
izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan
untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti
panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah
telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan
berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah
Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS.
An-Nuur: 62-63).
Ibnu Katsir menjelaskan
dalam kitab tafsirnya bahwa ayat ini sebagai pelajaran yang Allah turunkan
kepada para hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana Allah telah memerintahkan untuk
meminta izin ketika hendak meninggalkan majelis dan tidak membubarkan diri
sebelum mendapatkan izin dari Rasulullah. Allah mengajarkan tentang adabul
isti’dzan. Kaidah ini termasuk ke dalam salah satu kaidah yang amat penting
dalam konteks ‘amal islami, terutama dalam ‘amal jama’i (amal
kolektif). Karena dala ‘amal jama’i memerlukan bersatu-padunya antar
elemen di dalamnya, yakni pemimpin (qiyadah), yang dipimpin (jundi)
dan sistem (manhaj). Sehingga hadirnya kaidah ini adalah sebagai indikator
sebuah jama’ah sesuai jalurnya atau tidak. Sekaligus sebagai tes atau ujian
bagi seorang jundi dalam berjamaah.
Setali tiga uang
dengan Ibnu Katsir, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi (juga) dalam kitab
tafsirnya, Aisarut Tafasir, menyatakan bahwa dalam ayat ini ada
pengajaran bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang
beriman, sekaligus menyinggung orang munafik. Allah mengabarkan bahwa orang
yang meminta izin (kepada Nabi), adalah mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Sedangkan orang-orang yang tidak beriman dan masuk dalam kategori
munafik, adalah mereka yang ngeloyor pergi tanpa meminta izin terlebih
dahulu. Padahal saat itu adalah forum penting yang membahas kemaslahatan umat.
Kemudian ayat ini juga bermaksud untuk mengingatkan Rasul apabila ada orang
beriman yang meminta izin karena suatu urusan, maka hendaklah memberinya izin.
Dengan catatan, urusan orang tersebut memang benar-benar penting (udzur
syar’i) yang tidak mungkin ditinggalkan. Kemungkinan bila urusannya ditinggalkan
adalah kerugian yang besar yang terjadi padanya dan orang lain. Atau opsi
pemberian izin lainnya adalah apabila orang tersebut memang tidak terlalu
dibutuhkan dalam forum tersebut.
Adabul
isti’dzan adalah suatu bentuk ketaatan seorang jundi pada qiyadah-nya.
Ketaatan jundi pada qiyadah dalam suatu instruksi yang diberikan,
ketika menemui suatu udzur dalam pemenuhannya. Sebagaimana memang patut
seorang jundi mengamalkan prinsip sami’na wa atho’na kepada qiyadah
sebagai konsekuensi bai’at atau pengakuan sang jundi terhadap qiyadah-nya.
Semakin baik seorang jundi dalam menyampaikan izin terhadap suatu
perintah menandakan seberapa taatnya seorang jundi pada qiyadah-nya.
Maka adab meminta
izin yang baik adalah menyampaikan izin kepada seorang qiyadah ketika
hendak meninggalkan suatu pertemuan atau majelis. Poin ini menunjukkan betapa
pentingnya izin itu disampaikan ketika dalam memenuhi suatu pertemuan atau juga
bisa diartikan sebagai sebuah perintah dalam jamaah menemukan suatu halangan
yang tidak bisa diabaikan atau udzur syar’i. Hal ini dilakukan
sebagai bentuk penghormatan pada qiyadah dan pada pertemuan atau
perintah itu sendiri. Kemudian adalah hak seorang qiyadah untuk
memberikan izin kepada yang mengajukan izin. Seorang qiyadah berhak
untuk memberikan izin kepada yang mengajukan dengan mempertimbangkan beberapa
hal. Seorang qiyadah hendaknya mencermati apakah udzur yang
diajukan sebagai alasan izinnya termasuk ke dalam udzur yang syar’i
atau tidak. Jelasnya, apakah udzur yang dimaksud karena ada satu hal
penting syar’i yang hendak dipenuhi terlebih dahulu atau tidak. Jika urusannya
ditinggalkan apakah akan menimbulkan kerugian besar yang terjadi padanya dan
orang lain? Dalam hal ini berlaku pengamalan prinsip dalam Fiqh Awlawiyat
atau Fikih Prioritas. Manfaat di atas mudharat, dan mudharat di
atas mafsadat (kehancuran).
Selain itu, seorang
qiyadah diperintah oleh Allah dalam ayat tersebut agar memohonkan
ampunan kepada Allah terhadap mereka yang dikabulkan perizinannya. Ini adalah
sebagai pelajaran bahwa seorang qiyadah hendaknya dapat menghargai
kepentingan seorang jundi. Manakala kepentingan mendasar seorang jundi
harus didahulukan daripada perintah dari sang qiyadah. Yang terakhir,
Allah menunjukkan kepada Rasul dan orang-orang beriman, bahwa orang yang tidak
mau meminta izin, mencari-cari alasan untuk meninggalkan forum, ataupun hanya
melakukan pemberitahuan alih-alih meminta izin dengan cara yang baik yang
benar, adalah mereka yang imannya dipertanyakan dan dapat dicap sebagai orang
munafik.
Percaya atau tidak
percaya, adabul isti’dzan adalah bukan hanya cerminan ketaatan kita
kepada jamaah. Tetapi lebih dari itu, ia adalah cerminan dari iman kita kepada
Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana kita meminta izin, berarti adalah bagaimana kita
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Semakin banyak alasan untuk bisa meluluskan
izinnya, semakin banyak alasan untuk tidak beriman tetapi berkeinginan masuk
surga. Apabila hanya melakukan pemberitahuan, alih-alih meminta izin dengan
cara yang baik dan benar, berarti hanya melakukan deklarasi bahwa “saya beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya” tetapi tidak benar-benar mengakuinya. Semoga kita
terhindar dari sifat munafik dan kufur kepada-Nya. Semoga setelah ini tidak ada
lagi kejadian seperti yang dialami si Bunga.
Allahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment