Lebih dari separuh hidup kita
dipenuhi dengan aktivitas bernama ‘perjalanan’. Selain beristirahat, manusia
juga butuh dan pasti melakukan perjalanan. Bahkan orang buta sekalipun, mereka
juga melakukan perjalanan. Saya beropini demikian didasarkan pada aktivitas
saya sendiri. Dalam satu pekan, saya bisa menghabiskan waktu saya di tengah
perjalanan. Kendati hanya terbatas di dalam negeri.
Sekolah,
kuliah, kerja, beribadah, rekreasi, semuanya membutuhkan aktivitas perjalanan.
Barangkali segelintir orang tidak mendapati aktivitas sekolahnya diiringi
perjalanan, sebab ia ambil homeschooling. Ada juga yang pekerjaannya
adalah pengusaha rumahan, sehingga tidak perlu repot-repot berangkat ke kantor.
Atau seorang marbot masjid yang tidak perlu berjalan ketika panggilan shalat
tiba. Namun, aktivitas manusia normal pasti diisi dengan perjalanan. Pasti
mereka belanja, pasti mereka berinteraksi dengan lingkungan. Pasti mereka butuh
sinar matahari. Pasti mereka butuh perjalanan untuk menggapai tujuannya.
Para
ulama zaman baheula melakukan perjalanan bermil-mil jauhnya hanya untuk
mendapatkan secercah ilmu. Imam Bukhari berjalan berminggu-minggu hanya untuk
mengejar satu hadis. Tentunya kita tak perlu menirunya. Sebab zaman sekarang
sudah ada pesawat, kapal laut, mobil, sepeda motor, ataupun kereta api yang
harga tiketnya sekarang meroket. Apapun itu, kita membutuhkan perjalanan.
Perjalanan
yang meminta porsi terbesar dalam hidup kita, secara tidak langsung
berkontribusi dalam membentuk dan mengubah kehidupan kita. Perjalanan akan
mengubah sikap, mental, serta pola pikir kita. Bagaimana kita menyikapi
perjalanan, adalah cerminan dari bagaimana kita menyikapi hidup.
Hampir
semua alat transportasi umum di Indonesia –khususnya di Pulau Jawa- telah saya ‘cicipi’.
Dari mulai becak hingga pesawat. Bahkan bemo yang kehadirannya sudah punah dari
DKI Jakarta beberapa tahun silam juga pernah saya naiki. Alat transportasi umum
semacam helicak, oplet, dan alat transportasi umum jadul lainnya belum
sempat saya tumpangi. Oleh sebab kelahiran saya yang mepet tahun
2000-an.
Kereta
api adalah alat transportasi yang paling sering saya naiki –selain sepeda
motor. Kereta api kelas apapun sudah pernah saya tes kebolehannya. Zaman SLTP-SLTA,
saya sering keliling Jakarta menaiki KRL (Kereta Api Listrik) tanpa AC yang
hanya bertarif Rp1500. Itupun kalau ingin bayar! Tak jarang saya mlipir
duduk di pintu kereta yang terbuka karena memang sengaja dibiarkan terbuka –atau
mungkin karena sudah rusak-, supaya tidak ditagih bayaran oleh kondektur
kereta. Penampilan yang saya kenakan sangat mendukung ketika naik kereta. Celana
belel, sandal jepit, rambut berantakan, kulit gosong, membuat
orang-orang kemungkinan menyangka saya hanya sebagai bocah penjajak koran yang
dagangannya sudah ludes terjual, atau mungkin tukang minta-minta yang membawa
sebendel amplop lusuh guna diedarkan ke seluruh penumpang kereta dalam satu
gerbong. Tolong jangan mencoba membayangkan penampilan saya pada saat itu! Karena
ku yang dulu bukanlah ku yang sekarang! Hehehe.
Ketika
status saya ‘naik’ menjadi mahasiswa, transportasi kereta yang sering saya
gunakan beralih ke kereta jarak jauh. Berbagai kelas juga sudah pernah saya
coba, dari ekonomi hingga eksekutif. Rute Stasiun Lempuyangan (dan sesekali
Stasiun Yogyakarta atau lebih dikenal dengan Stasiun Tugu) – Stasiun Pasar
Senen (dan sesekali Stasiun Gambir –yang konon berkelas internasional itu)
adalah rute yang paling rajin saya tumpangi. Beragam pengalaman menarik yang
saya lewati di dalamnya. Kereta ekonomi paling murah sekelas Progo, Gaya Baru
Malam, ataupun Bengawan dengan kapasitas gerbong yang cenderung dipaksakan,
selalu mengajarkan saya agar senantiasa bersabar dan ikhlas. Pelayanan yang tak
memuaskan, toilet yang kotor plus ‘sedap’ aromanya, hingga penumpang yang tak
tahu aturan, adalah sederet fakta yang harus saya terima. Mungkin karena
rata-rata penumpang yang menaiki kereta kelas ini adalah kalangan menengah ke
bawah sehingga tata-krama dan pendidikan mereka untuk memahami aturan sebagai
penumpang itu sangat kurang. Bukan berarti saya mengatakan kalangan menengah ke
bawah itu bodoh semua. Sama sekali bukan. Namun kenyataan yang ada di dalam
gerbong kereta memang berbicara seperti itu. Walau di antara mereka ada pula
kaum borjuis berkocek tebal yang tidak mau rugi untuk sekadar menaiki kereta
dengan kelas di atas ekonomi. Pelbagai tingkah unik nan menyebalkan seringkali
mereka tunjukan. Dari mulai memindahkan ‘rumah’nya ke kereta, hingga tidur di
lorong yang mengakibatkan orang kesulitan untuk berjalan melewatinya.
Tahu
maksudnya memindahkan rumah ke kereta? Jangan-jangan Anda termasuk dalam
golongannya. Mereka itu yang membawa banyak barang bawaan, meletakannya di besi
penyangga barang yang terletak di atas bangku penumpang (jujur, saya lupa
namanya) sehingga penuh dan penumpang lain tidak bisa meletakkan barangnya di
sana. Belum cukup, mereka juga meletakkan barang-barangnya sesuka hati mereka. Pernah
sekali ketika sedang emosi, ditambah beratnya barang yang saya bawa, sambil
geram saya ‘ngamuk’, “Pak, pindah rumah ya? Bisa gak (barang) ini dipangku
aja? Ini kereta, bukan rumahmu. Saya juga bayar di sini!”. Hingga sekarang
saya masih merasa berdosa atas kejadian tersebut. Selain hal-hal menyebalkan
itu, saya juga punya pengalaman menarik.
Acapkali
saya diajak –atau kadang mengajak- ngobrol penumpang di samping saya. Pernah saya
sebangku dan ngobrol dengan seorang pengusaha –lagi-lagi saya lupa namanya-
yang sudah malah melintang di kancah nasional maupun internasional. Beberapa kali
menjadi narasumber di sebuah stasiun televisi ternama di Indonesia. Sudah dapat
banyak pelajaran darinya, sebagian ongkos ditanggung pula olehnya. Beliau tertarik
mengajak saya ngobrol setelah beliau melihat saya membuka mushaf dan
membacanya beberapa lembar. “Wah hebat. Masih muda, rajin baca qur’an”. Ujarnya
sejurus setelah saya rampung tilawah. Pengalaman lainnya ketika saya menumpang
kereta kelas bisnis Senja Utama Yogya. Kebetulan di samping saya seorang gadis
berparas ayu berusia dua tahun lebih tua dari saya. Kami asyik mengobrol
berjam-jam, diawali pertanyaan ‘penting’ tentang pemberhentian kereta hingga
masalah yang tidak penting sama sekali; curhat. Bagi saya, ini ujian. Ujian yang
dibalut dengan ‘kenikmatan’, hahaha. Oh, ada satu lagi yang jauh lebih ‘nikmat’.
Ketika itu saya menaiki kereta kelas ekonomi Bogowonto. Di samping saya duduk
seorang –lagi-lagi- gadis yang –lagi-lagi- berusia beberapa tahun di atas saya.
Kemudian tanpa disadari –karena ketika itu saya dalam keadaan setengah
tertidur- dengan kepercayaan penuh ia tidur dengan menyandarkan kepalanya di
bahu saya. Entah ini musibah atau anugerah. Yang jelas saya pelan-pelan
memindahkan posisi bahu saya dan berusaha untuk segera tidur, ia mengerti dan
memindahkan posisi kepalanya.
Ini
hanya sekelumit cerita perjalanan di dalam kereta, perjalanan dengan
transportasi lainnya mungkin akan saya ceritakan lain waktu. Intinya adalah
bagaimana kita menyikapi perjalanan adalah cerminan dari bagaimana kita
menyikapi hidup. Sama seperti perjalanan, dalam hidup pasti ada masalah,
kejadian menyenangkan atau menyebalkan, dan lain sebagainya. Semuanya berkumpul
menjadi satu. Anda boleh saja marah-marah melihat tingkah orang yang
membersamai perjalanan Anda. Tapi saya sarankan baiknya Anda mensyukuri dan
menikmati perjalanan saja. Mereka ibarat masalah dalam hidup kita. Jika kita
mengedepankan ego, barangkali mereka akan memusuhi kita. Jika kita mau
berlapang dada dan membuka ramah-tamah, barangkali mereka akan berbaik hati
kepada kita, atau bisa jadi mereka adalah sumber rezeki yang Allah turunkan
pada kita. Pun dengan masalah dalam hidup. Masalah akan sangat mengganggu jika
kita hanya mengeluh dan marah-marah. Lain halnya ketika kita mencoba tenang,
dan mencoba menyelesaikannya satu per-satu. Pasti akan terasa lebih ringan dan
indah.
Garis
akhir dari hidup kita adalah kematian. Lahir dan matinya kita, telah Allah
tentukan sebelum kita hidup di dunia. Sedangkan apa yang terjadi selama kita
hidup inilah yang dapat kita ubah takdirnya. Untuk itu nikmatilah perjalan
hidup ini. Penuhilah dengan ibadah, kesabaran, keikhlasan, dan rasa syukur
kepada Sang Maha Pencipta. Jangan beri celah sedikitpun bagi kita untuk
melakukan dosa. Kecelakaan mungkin datang kapan saja. Kereta yang berjalan
tenang, bisa saja keluar dari jalur bila relnya ada yang rusak. Pun halnya
dengan hidup kita. Masalah dan kematian bisa datang kapan saja tanpa kita
ketahui penyebabnya. Kapten Algren dalam salah satu adegan penutup film The
Last Samurai berkata, “Jangan tanyakan bagaimana ia mati, tapi
tanyakanlah bagaimana ia menjalani hidup.” Ketika kaisar bertanya perihal
kematian Katsumoto Moritsugu.
Terakhir,
hidup ibarat pelangi yang terdiri dari pelbagai warna sehingga menjadikannya
indah bila dipandang. Dan perjalanan, adalah salah satu dari warna itu. Ia akan
memberikan warna terindah ketika kita meniatkan perjalanan sebagai ibadah dan
semata untuk menggapai ridho-Nya. Itulah mengapa agama mengajarkan doa sebelum
memulai perjalanan. Sungguh perjalanan adalah bagian terbesar dalam hidup kita
dan bahan terpenting dalam merajut pelangi kehidupan.
Baiklah,
saya harus memulai perjalan lagi.
Setuju banget, Kak Zaky! Belajar banyak dari perjalanan :') Kuliah kan pulang pergi, banyak yang bilang "ngekos aja, sih. Tua di jalan tau." Tapi........ seru aja. Banyak pengalaman, banyak belajar.
ReplyDelete