“Dan aku tidak
pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku” (QS. Maryam: 3). Sebuah kalimat yang meluncur dari lisan seorang
lelaki tua berambut penuh uban yang gundah gulana mengharap kehadiran seorang
anak. Sejatinya mempunyai anak adalah termasuk ketepan-Nya.
Ada yang
ditakdirkan memiliki anak banyak, ada yang ditakdirkan hanya memiliki seorang
anak, ada pula yang ditakdirkan tidak memiliki anak sama sekali. Sayang seribu
sayang, lelaki tua ini adalah seorang nabi yang Allah teteskan karunia padanya.
Tidak memiliki putra, berarti tidak memiliki penerus perjuangan. Tubuh Zakariya
‘alaihissalam telah ringkih, rambutnya sudah memutih, hatinya bersedih,
kemudian berdoa dengan suara lirih.
Zakariya
harus menerima kenyataan bahwa dirinya bersama istrinya belum memiliki anak,
bahkan hingga usia mereka senja. Padahal hal yang sangat mendesak adalah
kebutuhan sosok putra demi melanjutkan berjalannya dakwah yang telah
diperjuangkan oleh Zakariya. Sekalipun kecemasannya telah mencapai titik
maksimal dan kegelisahannya telah membuncah, Zakariya tetaplah seorang hamba
yang santun. Sekalipun ia adalah seorang nabi, harapannya tetap disandarkan
kepada Allah azza wa jalla, tanpa ada prasangka buruk sedikitpun bahwa
doanya tidak akan dikabulkan. Baginya, cukuplah kenyataan bahwa Tuhannya adalah
Dzat yang Maha Mengabulkan doa dan tidak akan pernah mengingkari janji. Zakariya
yakin bahwa rahmat yang sudah dinanti-natikan sejak lama, akan datang dengan
cara yang tidak diduga-duganya.
Terpatrilah
janji Rabb kepadanya. Yakni janji akan menghadirkan seorang lelaki yang tidak
pernah ada lelaki serupa dengan anaknya. Yahya namanya. Kelak Yahya melanjutkan
perjuangan dakwah ayahnya sekaligus meneruskan tongkat estafet kenabian
ayahnya. Meskipun akhir hidup ayah-anak ini cenderung identik menyedihkan. Dibunuh
dengan cara yang sadis oleh orang-orang yang zalim dan mengingkari ajakan
mereka untuk menyembah Allah subhanahu wa ta’ala.
Banyak
sekali orang-orang yang merasa kecewa oleh sebab merasa doanya tidak pernah
dikabulkan. Padahal banyak ibadah yang mereka tunaikan, atau amalan-amalan yang
mereka lakukan sepanjang hidup belum tentu pantas untuk diganjar pahala. Tetapi
seringkali meminta hal yang muluk-muluk untuk segera dikabulkan. Bahkan ada
sebagian orang yang putus asa dan menggantungkan hidupnya kepada sesama
makhluk. Celakalah kita apabila kita termasuk dalam golongan orang-orang ini. Dipikirnya
Tuhan itu sama saja seperti lembaga asuransi; memberikan modal sedikit dan
berharap keuntungan yang banyak. Beramal ala kadarnya, berharap doanya yang
muluk-muluk dikabulkan.
Bercerminlah
kepada Zakariya ‘alaihissalam, hamba shalih nan terpilih sebagai nabi
yang sudah pasti akan masuk surga. Tatkala dirinya berdoa dengan penuh harap,
tetap menunjukkan kesantunan disertai prasangka baik kepada Tuhannya. Alangkah lebih
baik lagi, kita gunakan adab Nabi Adam ‘alaihissalam ketika berdoa
setelah melakukan dosanya di surga. Ia tidaklah meminta, tetapi lebih condong
mengakui kesalahan yang diperbuatnya. Sehingga ia akan merasa menjadi orang
yang paling merugi sedunia, apabila Tuhannya tidak mengampuninya. Tidak akan
ada hamba-Nya yang kecewa dalam berdoa kepada-Nya. Sebab mereka yang beriman
memahami bahwa doa mereka bukanlah tidak dikabulkan, tetapi Allah menghendaki
takdir yang lebih baik baginya.
“Ya
Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri, dan apabila Engkau tidak
mengampuni dan merahmati kami, sungguh kami termasuk dalam golongan orang-orang
yang rugi.”
Masya Allah T.T
ReplyDeleteHidupku adalah seluruh jawaban doa-doaku kepada Allah ... seluruhnya segalanya
ReplyDeletepada waktunya dan pada saat yang tepat ...