Seperti biasa
aku diam tak
bicara
Hanya mampu
pandangi
Bibir tipismu
yang menarik...
Penggalan
lagu Iwan Fals yang hingga kini masih sering saya senandungkan. Lagu ini
sungguh memiliki tempat tersendiri di hati saya; di masa lalu. Mungkin bagian
lirik dua baris terakhir di atas bisa diganti, “hanya mampu pandangi bibir
gubernurmu yang......” (silakan isi sendiri titik-titiknya).
Seharian
ini (Kamis 19/3/15) saya melihat berbagai tautan di media sosial yang semuanya
mengarah pada penayangan video yang kontennya sama, namun hanya redaksinya yang
berbeda-beda. Ternyata video tersebut berisi wawancara seorang gubernur yang
memimpin di Tanah Jawa, tapi sungguh tak memiliki adab layaknya para pemijak Tanah
Jawa. Saya bukan ingin bermain ras, tetapi nyatanya memang gubernur ini
melancong dari tanah seberang hanya untuk numpang hidup sebagai orang gede.
Hebatnya lagi si gubernur ini mendapat tampuk seseran dari gubernur sebelumnya.
Tetapi tingkah polahnya dalam memimpin seolah ingin menyatakan bahwa dunia
miliknya sendiri, yang lain hanya ngontrak. Sedetik pun tiada saya beri
kesempatan bagi lisan ini untuk tidak mengucap istighfar melihat entengnya mulut si gubernur
yang notabene hanya numpang hidup di ibukota.
Manalah
pantas seorang pemimpin sampai hati berkata tidak pantas di hadapan jutaan
rakyatnya. Benar saja, provinsi yang dia pimpin memang diduduki oleh orang-orang
kota. Sekalipun banyak yang miskin, tetapi mereka jauh lebih mengenal teknologi
daripada saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok negeri. Umpatan-umpatan
yang sejak kecil saya pun diharamkan mengucapnya oleh kedua orang tua saya –yang
notabene asli kelahiran Bumi Sriwijaya dan bukan orang Jawa-, mudah sekali dia
ucapkan. Begitu mudahnya bibir si gubernur melontarkan kata benda yang
seharusnya keluar lewat dubur. Mohon maaf, apakah mulut si gubernur memang tak
berbeda dengan dubur?
Beberapa
kali video saya putar. Saya masih tidak percaya, hingga host acara stasiun TV
tersebut menunjukkan mimik wajah malu sembari menegur si gubernur bahwa acara
ini disiarkan langsung. Si gubernur bersikeras tidak ada kata yang pantas
diucap untuk mengumbar kejelekkan orang yang ia maksud selain produk dubur
tersebut. Lagi-lagi saya mohon maaf, apakah seorang pemimpin yang sudah
mengenyam pendidikan S2 ini tidak memiliki diksi lain dalam mengumbar keburukan
orang? Atau memang isi pikirannya hanya produk-produk dubur itu saja?
Sedikit
mengingat pemimpin di masa lampau, di masa kejayaan Islam. Aduhai, lagi-lagi di
masa kejayaan Islam. Ada pemimpin yang tidak mau menggunakan fasilitas
negaranya semodel Umar bin Abdul Aziz. Ada pemimpin yang tidak berbeda jauh
penampilannya dengan ajudannya setipe Umar bin Khaththab. Ada pemimpin yang
perawakannya tidak berbeda jauh dengan prajuritnya segagah Shalahuddin
al-Ayyubi. Ada pemimpin yang berada di depan ketika rakyatnya terancam sehebat
Sulaiman al-Qanuni. Dan semoga Allah rahmati Nabi Musa ‘alaihissalam,
manusia tangguh tetapi lisannya rusak –secara harfiah. Teramat miris, hati
terasa teriris. Di negeri saya ada pemimpin yang tangguhpun tidak, tetapi
lisannya jauh lebih rusak.
Sekarang
ada pemimpin yang gagap nyatanya hanya pelayan partai. Ada pemimpin beragama
Islam tapi alergi dengan istilah yang dibawa Islam. Ada lagi pemimpin yang bibir
tipisnya busuk. Kiranya kurang afdhal apabila sehari saja tidak
berkata-kata kotor. Duhai, ini negeri apa? Rakyat ibukota jadi seakan terbiasa
menatap bibir tipis si gubernur. Akankah mereka hanya mampu pandangi bibir
tipis si gubernur yang busuk?
0 comments:
Post a Comment