“Unzhur maa
qaala wa laa tanzhur man qaala”
(Perhatikan apa yang dikatakan, bukan perhatikan siapa yang berkata)
demikianlah pesan yang masyhur disampaikan oleh Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib. Kira-kira
maknanya ialah kita bisa mendapatkan nasihat dari siapapun. Baik ia seorang
anak kecil, orang tak dikenal, bahkan ahli maksiat pun asalkan apa yang
disampaikan itu baik, maka kita harus mengamini nasihat tersebut. Tidak masalah
siapa yang menyampaikan, yang terpenting adalah apa yang disampaikan.
Namun
hari ini, kenyataannya berbalik 180 derajat. Banyak orang yang lebih dahulu
melihat siapa yang berbicara, bagaimana penampilannya, bagaimana rupanya,
hingga bagaimana gaya bicaranya. Hal ini seringkali berlaku di majelis-majelis
ilmu. Banyak sekali orang yang mengikuti majelis ilmu atau kajian-kajian hanya
mempertimbangkan siapa ustadznya. Yang penting ustadznya, konten kajiannya
urusan belakangan. Kaidahnya berubah jadi "Unzhur man qaala wa laa tanzhur maa qaala".
Seringkali
terjadi hal ini. Misalkan sebuah kajian dengan tema “Menjadi Muslim Sejati”
diadakan dan pembicaranya adalah Ustadz A hadirinnya sepi, dan di waktu lain
kajian dengan tema yang sama diadakan dan pembicaranya adalah Ustadz B justru
ramai. Padahal Ustadz A ini sudah teruji kualitasnya, ilmunya tidak diragukan
lagi, namun karena kurang populer dan kurang beken, banyak orang yang meragukan
kajiannya. Sedangkan Ustadz B ini lebih muda, lebih beken, lebih ganteng, lebih
aktif di media sosial ketimbang Ustadz A. Sekalipun ilmunya belum terlalu
teruji, kualitasnya masih kalah jauh dibanding Ustadz A. Popularitas memang
seringkali dapat mengalahkan kualitas.
Tidak
jarang ditemukan ada majelis ilmu yang penyampainya justru tidak kompeten. Kajiannya
bertema Sejarah Para Nabi, tapi yang menjadi pembicara adalah seorang Ustadz
lulusan Tafsir yang nyatanya sang ustadz jarang bersentuhan dengan pelajaran
sejarah terutama yang berkaitan dengan para nabi sebelum Rasulullah ﷺ.
Akhirnya substansi dari tema kajian tersebut tak dapat
tersampaikan. Lagi-lagi alasannya adalah kalau yang menjadi pembicara ustadz
yang lebih kompeten justru kajiannya akan sepi. Sebab ustadz yang kompeten
kurang populer. Di sisi lain, ustadz yang menerima undangan kadang tak kuasa
untuk menolak. Maka pihak yang mengundang haruslah memahami tujuan kajian
tersebut untuk apa. Agar majelis yang diadakan benar-benar tepat sasaran.
Sedikitpun
tulisan ini bukan untuk menyerang salah satu pihak, apalagi menyindir salah
seorang ulama. Bukan. Sungguh penulisnya jauh lebih hina daripada yang diserang
dan disindir. Justru penulisnya sedang menasihati diri dan semoga nasihat
kepada dirinya juga menjadi nasihat kepada diri yang lain. Agaknya hal ini
penting untuk ditulis. Semata-mata ingin mengembalikan sesuatu kepada kaidah
awalnya. Apabila ada yang berbicara, maka simaklah baik-baik konten
pembicaraannya. Kalau memang tidak baik atau ngawur, silakan
ditinggalkan. Jangan kita potong pembicaraan orang lain sebelum ia selesai
berbicara, hanya karena kita tidak menyukainya, atau hanya karena reputasinya
buruk di mata orang banyak. Memang dalam Islam, masalah penerimaan dalil-dalil
dan riwayat, haruslah disampaikan oleh orang yang terpercaya (tsiqah). Akan
tetapi adab unzhur maa qaala wa laa tanzhur man qaala janganlah kita
tinggalkan. Sebuah pelajaran akan kita dapatkan dari setiap ciptaan Allah. Dan hanya
mereka yang beriman-lah yang mau memikirkan dan menerimanya.
0 comments:
Post a Comment