Tak kurang dari ratusan jumlahnya
kata serapan dari bahasa asing dalam kamus Bahasa Indonesia. Hal ini tidak
lepas dari pengaruh penjajahan, invasi, kunjungan kafilah pulau sebrang, hingga
akulturasi sehingga menciptakan bahasa yang tercampur dan beragam perbedaan
antar daerah. Dapat dikatakan Bahasa Indonesia ini terdiri dari berbagai bahasa
yang tercampur. Bahasa Sansekerta dan Melayu –yang sejatinya juga tercampur
Bahasa Arab- dapat kita katakan sebagai bahasa asli Nusantara, dalam arti
bahasa-bahasa tersebut memang dituturkan di Nusantara sebelum didatangi
orang-orang asing dari negeri-negeri yang jauh terpisah samudera.
Bahasa
Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Belanda adalah bahasa yang paling banyak
berperan dalam memperkaya kosakata Bahasa Indonesia. Bahasa Arab pernah menjadi
bahasa dunia dan digunakan sebagai bahasa pengantar antar bangsa yang belum
saling mengenal. Selain itu para kafilah dagang dan ulama dari Arab yang
pastinya menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa sehari-harinya juga turut
memengaruhi corak bahasa Indonesia. Masyarakat, musyawarah, mufakat, ilmu, umat,
mafhum, maklum, kitab, madani, sejarah, ibadah, dan deretan kata-kata lainnya
adalah bagian dari kata-kata serapan ke dalam Bahasa Indonesia. Di samping itu,
nama-nama hari di Indonesia juga berasal dari Bahasa Arab, kecuali Minggu. Bahkan
hingga nama-nama daerah di negeri ini, banyak yang terilhami dari kosakata
Bahasa Arab. Sebut saja Maluku yang asalnya dari Jaziratul Muluk (Tanah
Para Raja). Irian berasal dari kata Urian yang berarti tidak berpakaian.
Andalas, sebutan akrab bagi Pulau Sumatera, diilhami dari keindahan
peradabannya yang mirip dengan negeri nun jauh di barat sana, Andalusia. Pulau
Jawa yang sejak lahir sudah saya tempati ini, juga berasal dari kata Jawi yang
diartikan dengan atas. Sebab posisi Jawa berada di atas bila disesuaikan dengan
peta para pelancong Arab masa dahulu. Penyebutan daerah ini bukan hanya berlaku
di Nusantara, namun juga hingga ke negeri di sekitarnya. Salah satunya adalah Manila,
ibukota Filipina yang sejatinya berasal dari kata Amanillah yang
bermakna ‘dalam lindungan Allah’.[1] Hal
ini menunjukkan pengaruh Arab yang sangat besar bagi perkembangan peradaban
Indonesia di masa mendatang.
Inggris
pernah menjajah Indonesia, sebelum Belanda memulai penjajahannya yang sangat
lama di Nusantara. Bila menilik sejarah, watak penjajah yang satu ini agak
unik. Semua negeri jajahan Inggris menjadikan penduduknya menguasai Bahasa
Inggris, bahkan setelah mereka merdeka -tapi tidak terjadi pada Indonesia, oleh
sebab diperbodoh dan diperbudak Belanda tiga abad lebih. Hingga hari ini,
Bahasa Inggris masih menjadi bahasa dunia. Penuturnya adalah penutur bahasa
paling banyak di muka bumi. Hingga negeri-negeri bekas jajahannya semacam
Singapura, Malaysia, Hongkong, dan India menjadikan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar. Indonesia tidak luput dari pengaruh bahasa mereka. Fesyen,
syuting, aplikasi, komputer, kalkulator, botol, adalah sederet kata yang
terserap dari Bahasa Inggris. Hingga seringkali kita sulit membedakan mana kata
yang asli Indonesia dan mana kata yang serapan dari Bahasa Inggris.
Kantor,
adalah salah satu kata –yang paling saya ingat- sebagai kata serapan dari
Bahasa Belanda. Di samping berandil dalam membentuk mental penduduk Indonesia
menjadi penduduk bermental budak, Belanda juga berhasil membodohi Indonesia
dengan kenyataan hingga sekarang masih menggunakan hukum produk Belanda. Padahal
Belanda sendiri sudah memperbaharui hukumnya. Bukan seperti peradaban Arab atau
Inggris yang ketika memasuki suatu negeri memberikan pendidikan khusus untuk
menjadi bangsa yang lebih maju, Belanda justru memberikan pendidikan khusus
bagi Indonesia agar menjadi bangsa yang selalu terdepan dalam kebodohan. Hasilnya,
masih bisa kita nikmati hingga sekarang. Entah apa yang mereka perbuat, hingga
banyak pemimpin di Indonesia berprilaku menjajah negeri sendiri.
Belum
lama ini, kabar menarik datang dari seorang pimpinan tertinggi kedua di republik
ini. Setelah saya pernah menonton sebuah video yang memperlihatkan seorang
presiden yang tidak mengetahui dengan baik usia anaknya, sekarang berita yang
cukup menggelikan muncul lagi –di samping berita-berita carut-marutnya negeri
ini atas hasil ulah para petinggi yang kurang kompeten mengurus negara. Wakil
Presiden Jusuf Kalla meminta istilah-istilah Arab di Bank Syariah diganti
dengan bahasa Indonesia agar Bank Syariah lebih dekat ke ekonomi Islam ala
Indonesia daripada ekonomi Islam ala Timur Tengah. Misalnya istilah mudarabah,
wakalah, dan istilah-istilah Arab lainnya. Wajarlah kalau aktivis-aktivis Islam
bereaksi atas hal ini. Dan jangan salahkan mereka kalau pada akhirnya menghina
sang wapres.
Dengan
kenyataan yang telah saya paparkan di atas, bahwasanya Bahasa Indonesia dewasa
ini sudah menyerap kosakata dari berbagai bahasa, apakah masih relevan untuk
mengganti istilah yang sesungguhnya tak terlalu urgent untuk diganti? Apalagi dalihnya
hanyalah dalih tidak rasional. Lagi-lagi bahas ‘ala Indonesia’. Mengapa tidak
ada bank ala Indonesia? Toh istilah kliring, kredit, debet juga bukan istilah
murni dari Indonesia. Banyak istilah bahasa Inggris di sana, bahkan ‘bank’ juga
bukan istilah Indonesia. Tidakkah kata-kata tersebut diganti untuk menciptakan
bank yang murni Indonesia? Atau menjauhkan negara ini dari pengaruh barat dan inggrisisasi?
Terlalu
banyak istilah asing yang masuk dan diterima sebagai bahasa nasional di negeri
ini. Lalu mengapa selalu istilah Arab yang harus diganti? Dalihnya selalu
menghindari arabisasi atau naifnya ingin menciptakan 'Islam ala Indonesia'.
Kali ini komentar memuakkan datang dari wapres yang –dulunya- saya anggap
negarawan yang cukup cerdas. Dan saya usulkan agar nama istrinya diganti saja dari
yang aslinya bernama Mufidah (dalam Bahasa Arab artinya bermanfaat) menjadi Ibu
Bermanfaat, anak-anaknya bisa saja diganti (dari Solichin) menjadi Orang Baik,
anak pertamanya lebih baik diganti (dari Muchlisa) menjadi Perempuan yang
Tulus-Murni, mungkin juga nama putrinya Chaerani diganti menjadi Putri yang
Baik. Saya kira usulan ini adil bagi Pak JK. Agar keluarga Pak JK tidak terlalu
identik dengan Timur Tengah, dan tercipta nuansa yang murni Indonesia dalam
keluarga Pak JK.
0 comments:
Post a Comment