Cuaca terik seakan menyapa mereka
dengan bersahabat dan penuh keramahan. Kala itu, bulan suci Ramadhan menemani
aktivitas mereka yang tidak seperti biasanya, yang tentram aman nan damai di
sebuah kota bermasyarakat madani. Perjuangan suci, atau populer dengan sebutan
jihad, dijalankan oleh mereka yang di dalam hatinya sudah tertanam iman yang
kuat. Perang kali ini adalah perang besar pertama yang akan diikuti oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama orang-orang beriman yang
terdiri dari kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Medan perang yang berlokasi di
Badar, menjadi saksi bisu sejarah yang akan terkenang sepanjang masa. Di
sinilah penentuan apakah agama yang dibawa oleh Muhammad akan eksis, atau punah
saat itu juga.
Rasulullah
membawa serta 313 prajurit dengan bendera putih di depan yang dibawa oleh
Mush’ab bin Umair, dua bendera hitam di depan Nabi yang diusung oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Sa’d bin Mu’adz.[1]
Dengan keyakinan akan kebenaran Islam di benak pasukan muslim, dan dendam
kesumat di benak pasukan kafir Quraisy. Diawali dengan duel yang dimenangkan
pasukan muslim. Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah bersama Walid bin Utbah dari
pihak Quraisy maju menentang duel yang diladeni oleh para kerabat Rasul; Hamzah
bin Abdul Muththalib, Ubaidah bin al-Harits bin Abdul Muththalib, dan Ali bin
Abi Thalib bin Abdul Muththalib. Tak berapa lama, ketiga perwakilan Quraisy
segera ditumbangkan oleh para kerabat Nabi. Ubaidah yang terluka langsung
dibopong oleh Hamzah. Kekuatan moral bertambah, melihat duel yang dimenangkan
oleh kaum muslimin. Terjadilah peperangan yang sengit dan dimenangkan oleh kaum
muslimin.
Ada
beberapa hal menarik yang terjadi dalam peperangan. Salah satunya adalah ketika
pasukan muslim merasa ditemani oleh ‘prajurit bayangan’ yang berjubah putih dan
menyerang kafir Quraisy. Ditambah pula dengan semangat menggebu-gebu kaum
muslimin seakan-akan ada kekuatan tambahan dalam diri mereka. Maka Allah
merekam kisah bersejarah ini di dalam Al-Qur’an:
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan
tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min,
dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”[2]
Bukan
mereka yang membunuh, melainkan ada yang menggerakkan tangan mereka untuk
membunuh. Bukan mereka yang melempar, melainkan ada yang menggerakkan tangan
mereka untuk melempar.
Tak
jarang kita merasakan kemudahan dalam berbuat kebaikan. Tak jarang kita
merasakan keringanan untuk melangkahkan kaki kita ke tempat ibadah. Tak jarang
pula kita merasakan harta kita cukup banyak untuk bersedekah. Namun juga tak
kalah jarang manakala kita merasa kemudahan berbuat kebaikan adalah atas andil
kita sendiri. Tak jarang pula kita merasakan keringanan langkah kita ke tempat
ibadah oleh sebab fisik yang rajin yang berolahraga. Bahkan tak jarang pula
kita merasakan harta kita yang banyak disebabkan oleh kita yang gigih dan giat
bekerja dalam meraup keuntungan dunia. Malangnya, hal-hal tersebut pula yang
membuat amalan kita yang sedemikian banyak menjadi musnah bak debu tertiup
angin.
Tiada
hal yang akan terjadi tanpa seizin Yang Maha Kuasa. Bumi mungkin akan
bertabrakan dengan Planet Mars apabila tidak ada yang mengaturnya. Bahkan lalu
lintas akan terjadi kekacauan jikalau tidak ada traffic light ataupun
polisi lalu lintas. Akankah kita akan menjadi manusia serupa Qarun yang
menganggap hartanya dapat membeli apapun termasuk surga? Seringkali kita tidak
menyadari bahwa ada Dzat Yang Maha Menggerakkan tangan kita. Ada Dzat Yang Maha
Mengendalikan hati kita. Ada Dzat Yang Maha Berkehendak, sehingga hal yang
mustahil ketika dipandang logika, menjadi hal yang nyata terjadi di depan mata
kita.
Sungguh,
bukanlah kita bergerak untuk berdakwah, melainkan ada yang menggerakan kita
untuk berdakwah. Bukanlah tangan kita yang terlalu ringan untuk berinfak,
melainkan ada yang lebih mempunyai wewenang untuk menggerakkan tangan-tangan
kita. Bukanlah kita yang terlalu cerdas dalam menyerap pelajaran, tetapi ada
yang lebih cerdas yang menguasai segala pelajaran yang menyingkapkan hikmahnya
kepada kita. Sungguh, segala hal pasti ada yang mengaturnya. Namun kita
terlalu bodoh dan seringkali lengah untuk membenarkan keberadaan dan andil-Nya.
Yaa muqalabbil qulub...tsabit qulubana ala fii dini'
ReplyDeleteWahai yang maha membolak-balikan hati.. tetapkanlah hati kami ini dalam agamaMu...