Pentingnya mengevaluasi dan berkaca diri selalu diajarkan oleh para
tetua dan tentunya dalam literatur-literatur agama. Islam saja mengajarkan agar
kita melihat dan memperbaiki diri kita untuk menyongsong masa depan. Tak
tanggung-tanggung, oleh sebab pentingnya mengevaluasi diri, maka perbuatan
tersebut disejajarkan dengan ketakwaan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.[1]
Apapun yang
terjadi, apapun yang kita hadapi, pastilah terkandung berbagai hikmah di
dalamnya. Namun, hanya mereka yang mau berpikir yang dapat menyingkap tabir
hikmah yang terdapat pada setiap kejadian. Adapun menyingkap hikmah dalam
setiap kejadian, tidaklah semudah para motivator bertarif mahal berbicara.
Tidaklah mudah ketika kepala kita ditimpuk batu lalu bersabar. Tidak, tidak
semudah kata-kata motivator. Saya hampir yakin, apabila mereka ditimpuk batu,
mereka juga akan terkesiap dan emosi. Meskipun mereka dibayar untuk mengatakan
bahwa kita harus sabar bila tertimpa musibah. Kita harus sabar ketika cinta
kita bertepuk sebelah tangan. Kita harus sabar dan sabar dan sabar dan sabar.
Bicara memang mudah, apalagi berbicara dalam rangka menghakimi kesalahan orang.
Sedangkan beraksi itu butuh tenaga berkali-kali lipat lebih banyak dibanding
sekadar bicara layaknya motivator.
Dewasa ini,
berbagai keganjilan terjadi di tengah-tengah umat. Makanan yang semakin hari
semakin tidak higienis, propaganda-propaganda liberal dan ajaran sesat yang
semakin merajalela, pembajakan iman yang dilakukan oleh kaum beragama yang
tidak bertanggung jawab, hingga penyesatan lewat tontonan dan bacaan.
Sasarannya hampir identik; generasi muda. Terutama generasi muda umat Islam.
Tujuannya jelas; menjauhkan umat Islam dari kebanggaan terhadap agama mereka.
Menjauhkan umat Islam dari budaya Islam sendiri. Ketika mereka sudah melupakan
ajaran-ajaran Islam, maka status sebagai muslim yang melekat bukan lagi masalah
yang besar bagi musuh-musuh Islam. Keadaan inilah yang ingin dicapai, agar musuh-musuh
Islam dapat membunuh Islam lewat penganut-penganutnya sendiri.
Apa yang harus
kita lakukan? Jelaslah yang harus kita lakukan adalah beraksi. Beraksi semampu
kita. Beraksi sejauh pemahaman kita. Namun yang banyak dilakukan oleh kita
sekarang hanyalah bereaksi tapi minim beraksi. Dengan mudahnya kita mencela
Syiah, misalnya. Ada film yang diproduksi oleh produsen terindikasi Syiah,
serta merta banyak yang menuduh itu propaganda Syiah dalam menyesatkan umat.
Ada buku yang memotivasi untuk pacaran, maka kita sebut hal ini adalah
liberalisasi yang dilakukan kepada para anak muda. Ketika kebebasan umat Islam
berbicara dibungkam, ketika liberalisasi merajalela, ketika media Islam
dibredel, adakah kita sebagai umat Islam beraksi untuk memperbaiki keadaan?
Kebanyakan dari kita hanya mengutuk keadaan. Menyumpah-serapahi
kejadian-kejadian yang terlintas di depan mata kita, tanpa pernah kita berkaca;
jangan-jangan semua kerusakan di muka bumi ini terjadi disebabkan minimnya aksi
yang kita lakukan. Alih-alih beraksi, justru banyak dari kita yang lebih senang
menyalahkan orang lain yang berada di pihak yang berseberangan dengan kita.
Kita seperti memiliki hobi baru; menyalahkan orang.
Jangan salahkan
mereka yang menyesatkan umat lewat tulisan-tulisan mereka, tetapi salahkanlah
diri kita yang enggan menuliskan kebenaran. Jangan salahkan mereka yang menyebarkan
pemikiran-pemikiran merusak umat, tetapi salahkanlah diri kita yang malas
mempelajari pemikiran-pemikiran yang lurus dan benar. Jangan salahkan mereka
yang merusak generasi muda lewat tayangan atau film-film, tetapi salahkanlah
diri kita yang tidak mau membuat atau membantu memajukan film-film bernafaskan
Islam. Mengapa pemikiran sesat itu bisa tersebar? Sejatinya itu karena kita
yang terus tinggal diam melihat kemungkaran. Padahal dakwah itu hukumnya wajib
bagi mereka yang melihat kemungkaran. Thus, Apakah kita masih tidak
melihat kemungkaran di zaman yang serba semrawut ini? Kesalahan kita adalah
minim beraksi, namun lebih senang bereaksi dan menyalahkan orang lain yang
jelas-jelas berada di pihak musuh. Sayangnya hanya sedikit yang menyadari untuk
beraksi. Hanya sedikit yang menyadari kesalahan diri sendiri. Kiranya benar apa
yang pernah diutarakan sastrawan kenamaan, Ajip Rosidi, beberapa kurun silam,
bahwa sebetulnya yang menjadi penyakit bagi bangsa dewasa ini adalah lalai
dalam mengakui kesalahan sendiri.[2]
Walhasil, menyalahkan orang lain adalah konsekuensi logis dari lalai mengakui
kesalahan sendiri.
0 comments:
Post a Comment