Hari Ahad kemarin, saya membaca tulisan dari Mbak Asma Nadia
tentang Fikih Permusuhan.[1] Menarik.
Awalnya saya enggan berkomentar, lebih tepatnya enggan membaca. Apalagi memang
saya cukup malas untuk membaca artikel-artikel yang disebarkan lewat aplikasi whatsapp.
Saya sudah cukup kagum dengan tulisan Mbak Asma. Terlebih pecinta novel manapun
di Indonesia tahu, tak kurang dari puluhan buah novel sudah beliau tulis,
mayoritas best seller dan beberapa sudah diangkat ke layar lebar dan
sinema elektronik. Tetapi ketika saya baca artikelnya, saya langsung tak
habis-habisnya mengernyitkan dahi.
Tulisan yang
diawali dengan mengutip pendapat seorang teman dari Mbak Asma –yang hingga
sekarang saya belum tahu siapa teman yang dimaksud, pun saya belum tahu
keberadaan temannya, apakah temannya memang benar-benar nyata atau hanya teman
khayalan- tentang fikih yang seharusnya sudah ada karena diperlukan sejak lama.
Fikih Permusuhan katanya. Terdengar indah memang. Apalagi ditambah dengan fakta
bahwa umat Islam hari ini seakan tidak mampu menentukan musuhnya dengan baik. Kenyataannya
memang begitu. Namun, yang membuat saya mulai mengernyitkan dahi ialah di dalam artikel tersebut tertulis, “Jika ingin menghukum penjahat dari sekian
banyak yang ada, utamakan pelaku yang kejahatannya paling berbahaya. Daripada
mengkritik karya Islam secara terbuka, lebih baik kritisi karya jahiliyah yang
jauh lebih buruk.” Oh, ternyata Mbak Asma sedang misah-misuh karena ada
foto cover film yang baru akan tayang menampilkan laki-laki dengan perempuan –yang
menurut mbak Asma setelah tabayun- seolah-olah berpelukan. Film tersebut
berjudul “Surga Yang Tak Dirindukan” yang diadaptasi dari novel karya Mbak Asma
dengan judul yang sama.
Terlihat tak ada
yang salah dengan cover tersebut. Namun ketika Mbak Asma menyebut bahwa itu
adalah karya Islam, maka mau tidak mau umat Islam juga bereaksi atas foto
penghinaan tersebut. Mengapa saya sebut penghinaan? Ya, jelas penghinaan. Nyata
atau hasil editan photoshop, foto itu tetaplah mengandung dan mengundang
fitnah. Juga tidak sesuai dengan syariat Islam. Saya berkesimpulan, tulisan Mbak Asma di Republika Online tentang ‘Fikih’
Permusuhan ini adalah komentar untuk melindungi produksi film tersebut agar
tidak diganggu oleh komentar-komentar miring terkait cover filmnya.
Kiranya perlu kita
bahas masalah apa itu fikih di sini. Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia;
baik berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah mahdhah maupun ghairu
mahdhah (muamalah), berupa tindak pidana maupun perdata, masalah akad atau
pengelolaan, dalam syariat Islam semuanya masuk dalam wilayah hukum.
Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan sebagian
tidak. Tetapi syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang
hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang mujtahid dengan
perpaduan kecerdasan, keshalihan, pemahamannya terhadap dalil dan tanda-tanda
hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak dijelaskan
tersebut. Dari kumpulan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan tindakan
manusia yang diambil dari nash-nash (teks) yang ada atau dari
pembentukan hukum berdasarkan dalil syarat yang tidak ada nashnya, muncullah
Ilmu Fiqh.
Fiqih menurut bahasa
bermakna: tahu dan paham. Sedangkan menurut istilah, banyak ahli fiqih (fuqaha’)
mendefinisikan berbeda-beda tetapi mempuyai tujuan yang sama, yakni ilmu yang
menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang berhubungan dengan segala
tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari
nash-nash yang ada, atau dengan mengistinbath dalil-dalil yang berkaitan dengan
syariat Islam.
Dalam perjalanan
sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip
hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran
maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan
realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru
bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan
Hadits Nabi.
Sampai di sini
saja, kita dapat mengetahui bahwasanya memunculkan fikih baru tidaklah semudah
membalik telapak tangan. Tidak lantas ketika kita melihat hal yang tidak sesuai
kemudian kita harus buat fikihnya. Didudukkan dulu permasalahannya; fikih itu
apa, dan masalahnya apa. Barulah kita bisa menentukan apa yang menjadi
solusinya. Bukan sekadar uthak-athik gathuk ada masalah ‘begini’,
kemudian harus ada hukum baru yang ‘begitu’. Ulama tidak hanya mengandalkan
kecerdasannya menganalisis suatu masalah. Keshalihan mereka juga menjadi ‘sertifikat’
akan predikat ulama yang mereka emban. Lagipula, tentang permusuhan, dalam Islam jelas ada dalil yang mengatur kita untuk memusuhi sesiapa yang harus dimusuhi, dan berkawan dengan sesiapa yang patut dijadikan kawan. Jadi, seharusnya usulan tentang 'fikih' permusuhan ini sudah tertolak.
Lucunya adalah
manakala Mbak Asma menganjurkan kita semua untuk tabayun kepada
pihak-pihak yang berwenang dalam film tersebut, termasuk kepada Laudya Chintya
Bella dan Fedi Nuril yang menjadi ‘pelaku’ utama foto terebut. Tetapi sayang
seribu sayang, Mbak Asma seakan tidak tabayun dengan mengatakan Taliban
tidak paham ‘fikih’ permusuhan, ataupun mengatakan bahwa Dunia Arab bungkam
terhadap invasi Israel ke Palestina. Mohon maaf, Mbak Asma sudah khatam berapa
kitab fikih, atau sudah berapa kali talaqqi dengan para fuqaha sehingga
dengan mudahnya mengatakan para Taliban itu tidak paham ‘fikih’ permusuhan? Sudahkah
tabayun untuk mengetahui keadaan sebenarnya? Atau apakah Mbak Asma
benar-benar tahu bahwa Dunia Arab benar-benar tidak mengulurkan bantuan kepada
Palestina? Mbak Asma seharusnya tahu, bahwa apabila negara-negara Arab
menampakkan sikap mendukung Palestina itu sama saja dengan tindakan bunuh diri!
Bahkan mereka sudah mengulurkan bantuannya jauh lebih banyak daripada mulut
kita yang seringkali mencibir.
Baiklah kita
kembali kepada permasalahan foto cover film “Surga Yang Tak Dirindukan”. Barangkali
banyak fans Mbak Asma yang kecewa dengan sikap Mbak Asma yang justru membela
habis mereka yang jelas-jelas mengundang fitnah. Mbak Asma pastilah tahu,
bentuk sayangnya Allah kepada Rasulullah juga diejawantahkan dalam bentuk
terguran. Pasti Mbak Asma tahu betul ketika Allah menurunkan wahyu “’abasa
watawallaa”. Ya, ketika itu Nabi ditegur oleh Allah karena lebih mengurusi
orang Quraisy yang belum tentu tertarik akan keindahan Islam ketimbang meladeni
si buta yang sangat mencintai Islam, Abdullah bin Ummi Maktum. Begitupun bentuk
sayangnya para fans kepada Mbak Asma. Semata-mata hanya ingin melihat ‘karya
Islami’ itu benar-benar islami. Jika memang novel tersebut ditujukan untuk
dakwah, maka ketika diangkat menjadi film, haruslah bernilai dakwah juga. Artinya,
semua individu, dari mulai sutradara, produser, hingga aktor-aktrisnya berarti
bertindak sebagai da’i. Sepatutnya yang dikejar adalah keridhoan Allah, bukan
semata-mata keuntungan berlipat. Sepatutnya pula menunjukkan akhlak yang
benar-benar islami.
Ketika saya googling
dengan keyword “foto film surga yang tak dirindukan”, saya menemukan foto
serupa ketika belum diedit. Nyatanya di sana juga terlihat berdekatan dan
bersentuhan. Adegan-adegan filmnya juga menunjukkan Fedi Nuril dan Laudya yang
notabene bukan mahram –berarti mereka haram bersentuhan- justru bersentuhan dan
beradegan layaknya suami-istri sungguhan. Apakah tidak bisa diusahakan agar
yang memerankan adalah suami-istri sungguhan? Atau minimal mahramnya. Mengapa tidak?
Kan ini ditujukan untuk dakwah. Toh Mbak Asma sudah menyinggung bahwa ini karya
Islam.
Kalau ditanya,
mengapa lebih semangat ngurusin orang Islam yang berkarya daripada ngurusin
orang yang terang-terangan berbuat jahat? Ya jawabannya jelas, kami peduli
dengan sesama muslim yang memegang teguh keislamannya. Agar mereka tidak
terjerumus ke dalam lubang nista. Kami tidak tega melihat saudara kami terkena
fitnah hanya karena hal yang menurut publik adalah hal sepele. Apalagi kalau
memang mau mengadakan fikih baru, kita semua harus paham dalam kaidah ushul
fiqh, ada yang namanya sadd adz-dzari’ah, yakni menutup pintu-pintu
masuknya dosa. Dengan kata lain, sadd adz-dzari’ah lebih menghendaki
adanya mudharat (tidak bermanfaat) ketimbang mafsadat (kehancuran).
Salah satu sadd adz-dzari’ah adalah memberikan pemain peran suami-istri
kepada suami-istri sungguhan. Atau jangan bikin cover film yang mengandung
dan mengundang fitnah. Bukankah ini membuka pintu banyak dosa? Yang berkomentar
jadi berdosa karena su’uzhan sebelum tabayun, yang dikomentari –pihak
film- juga berdosa karena melakukan hal yang menimbulkan fitnah.
Oh ya, daripada
repot-repot buat ‘fikih’ permusuhan, apakah tidak lebih elok kita buat Fikih
Perfilman? Supaya film (islami) yang dibuat benar-benar islami, tidak melanggar
syariat, apalagi menimbulkan fitnah. Atas semua ini, saya harap Mbak Asma Nadia
membaca tulisan saya. Sebab saya bukanlah siapa-siapa untuk menegur Mbak Asma
dengan menghubungi langsung. Barangkali teguran saya takkan digubris. Saya masih
menghargai cara para ulama dahulu dalam berdebat; yakni mengomentari tulisan
dengan tulisan. Ke depannya, saya mendoakan Mbak Asma terus menelurkan karya-karya
yang bagus dan menggugah, serta memperjuangkan dakwah Islam lewat caranya
sendiri.
Duh... Mbak Asma
Nadia...
Setelah baca tulisan mbak Asmanadia, kesimpulannya beliau belum sembuh lukanya akibat dikritik di film sebelumnya, ditambah lagi dengan kritikan baru.
ReplyDeletePadahal, kritikan itu tanda ummat menyayanginya. Ya, meski gak mudah menerima kritikan. Tapi semoga Allah lembutkan hati Mbak Asmanadia kemudian Allah muliakan dengan kesabaran-kesabarannya dalam berusaha berdakwah.
Aamiin
Aamiin
Deletetulisan keren,
ReplyDeletemantab akh... :D Abdullah Bin Ummi Maktum, jadi inget DM 2 heheheh :D
ReplyDeletecoba tulisannya dikirim langsung ke mbak asma, jgn disebar2 kemana2.pasti bikin mbak asma malu dan skit hati.gitu seharusnya menasehati.lgsg sampaikan ke beliaunya langsung
ReplyDeleteLha jenengan nyampaikan ke saya di blog, harusnya lewat jaringan yang lebih pribadi.
DeletePun sebelum tulisan ini saya publish, saya kirimkan terlebih dahulu ke orang yang akan menyampaikan tulisan ini.
Saya kira ini bukan hanya menyangkut pribadi Mbak Asma, saya menanggapi gagasan Mbak Asma. Karena gagasannya dipublish, saya juga harus publish counter-nya dong :)
entah kenapa aku sempat mikir kalau film Surga ini lebih asyik kalau pemerannya adalah Dude Herlino dan Alyssa. mereka beneran suami istri, mau pelukan dan dijadiin poster segede gaban juga gak masalah.
ReplyDeletemungkin masalahnya adalah Dude udah "ketuaan" untuk menjalani karakter yang diinginkan?
anyway, aku kenal mbak Asma. karakter beliau memang demikian ketika menanggapi sebuah masalah, terutama yang berkaitan dengan karyanya. postingan ini bagus, aku juga berharap mbak Asma membacanya. mungkin ketika tanggapan mbak Asma ditulis, pengalaman terdahulunya membekas lekat.
Saya juga berpikiran begitu. Tapi saya yakin, andaikan film ini di bawah kendali penuh Mbak Asma, pasti akan sesuai dengan pikiran kita. Setidaknya, tidak akan memunculkan kontroversi sebagaimana yang ada sekarang.
DeleteJangan argumentum ad hominem ah :D
DeleteJangan saling senggol juga ah :D
ini keren.. semuanya jelas. dan entah kenapa, saya sangat setuju!
ReplyDeletebeginilah seharusnya sikap seseorang yang ingin karyanya menjadi sebuah karya yang berlarfazkan dakwah. Salute bang!
Setuju akh!
ReplyDeleteEntah kenapa saya pribadi rada gimana gitu semenjak mba Asma klarifikasi "yg ga penting" soal syiah yang menyangkut dirinya dengan Haidar Bagir. Semenjak itu sampe cover film ini, emosinya jadi tidak stabil 😢
Saya berlangganan Republika dan membaca utuh tulisan Mbak Asma Nadia. Jika yang bermasalah adalah kata "fikih", saya melihat Mbak Asma telah cukup berhati-hati mengangkat istilah tersebut dengan penambahan tanda petik. Yang bermakna penggunaan kata fikih hanyalah sebagai kiasan. Istilah fikih permusuhan sendiri dilontarkan teman Mbak Asma. Saya sepakat film Islami punya tanggung jawab moril, namun saya juga melihat semangat yang dibangun dari tulisan Mbak Asma, bahwa umat Islam perlu lebih mengapresiasi kehadiran film-film Islami kendatipun dalam perjalanannya tentu masih jauh dari kata sempurna. Sebagaimana dakwah, semuanya tentu harus melalui tahap demi tahap, dan itu diharapkan adanya kesabaran (terus berupaya) dari kita semua. Saling mengapresiasi. :-)
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete