Ini soal amanah. Ketika ada
kepercayaan dari orang banyak yang menghampiri pundak kita. Kita harus
mengembannya. Kita harus memapahnya. Bahkan bila harus berdarah dan bernanah
kita membopongnya, maka lakukanlah. Tidak ada amanah di luar batas kemampuan
kita. Hanya seringkali kita merasa diri kita terlalu lemah. Celakalah kita!
Padahal Tuhan Menciptakan kita dalam sebaik-baik bentuk, dan tidak pernah
menurunkan ujian melebihi batas kemampuan kita. Apakah kita akan mengingkari
janji-Nya? Pundak kita akan selalu kuat mengemban amanah, namun bisikan setan
terkutuk yang senantiasa melemahkan. Jika tidak mampu membuat setan menangis
karena godaannya gagal, setidaknya jangan sampai membuat setan-setan itu
tertawa. Mudah bukan? Karena ini soal amanah. Ini soal kepercayaan. Adakah
orang di dunia ini yang rela dikhianati kepercayaannya? Maka, embanlah amanah
itu!
Ketika
Allah bertanya kepada Neraka Jahannam, “Apakah kau sudah penuh?”[1]
Serta-merta Jahannam menjawab, “Masihkah ada tambahan?” Ini soal amanah.
Jahannam paham betul apa itu amanah dan bagaimana mempertanggungjawabkannya.
Amanahnya adalah menampung semua orang yang ingkar kepada Tuhannya, dan
Jahannam melaksanakan tugasnya dengan baik. Ketika Tuhannya Melontarkan
pertanyaan perihal amanahnya, Jahannam tidak mengeluh, justru bertanya
kalau-kalau ada tambahannya.
Saat
itu, Abu Bakar ash-Shiddiq sudah ingin mencukupi amanahnya sebagai pemimpin
negara. Ia melihat Umar bin Khaththab sebagai orang yang pantas menggantikan
posisinya. Disampaikanlah hajatnya kepada Umar. Siapapun sudah menebak reaksi
Umar setelah ditawarkan untuk menjadi khalifah, pasti menolak. Dengan tegas
Umar mengatakan bahwa dalam dirinya tidak sedikitpun terbersit hasrat untuk
menjadi pemimpin negara. Panah insting kepemimpinan Abu Bakar tepat sasaran.
Memang itulah yang dicari. Yakni orang yang tidak memiliki hasrat akan jabatan
pimpinan. Umar-lah orangnya. Sejarah telah mencatat kegemilangan Umar dalam
memimpin negara. Umar mengemban amanah yang ia sendiri tak pernah menginginkannya.
Amanah besar memang harus diemban oleh orang-orang yang tidak berhasrat
padanya. Agar mereka menyadari, bahwa amanah adalah kepercayaan. Kepercayaan
adalah tanggung jawab. Tanggung jawab adalah hasil teguran. Bukankah amanah
besar adalah teguran dari Yang Maha Besar? Sebab Tuhan akan menilai
pertanggungjawaban mereka sebagai manusia dari amanah yang mereka emban.
Lelaki
ini adalah orang yang memiliki trauma berperang. Ketika usianya menginjak
kisaran 27 tahun, ia ikut berperang ke Mesir bersama pasukan yang dipimpin oleh
pamannya, Asaduddin Syirkuh. Walaupun tidak kalah, nyatanya ia membuat blunder,
sehingga membahayakan dirinya dan pasukannya sendiri. Setelah kejadian
tersebut, ia menyatakan tidak ingin lagi berperang. Tak dinyana, beberapa tahun
kemudian, jabatan kepemimpinan mampir kepada dirinya. Rakyat menaruh
kepercayaan padanya. Hingga kini, kita tak pernah kehabisan literatur dan
referensi terkait data tentang dirinya ataupun kepemimpinannya yang
gilang-gemilang. Dialah Shalahuddin al-Ayyubi. Shalahuddin tak pernah berambisi
untuk menjadi pemimpin. Shalahuddin hanya melakukan apa yang bisa dilakukan,
dan melaksanakan segala yang dipercayakan kepadanya. Karena ini soal amanah.
Bukan masalah kau tertarik atau tidak tertarik. Amanah bukan bagi mereka yang
mau, amanah tidak diperuntukkan bagi mereka yang meminta. Tetapi amanah selalu
jatuh kepada orang yang tepat.
Ketika
seorang suami melakukan poligami, dapat dipastikan banyak suara sumbang yang
akan mengiringi perbuatannya. Seolah-olah perbuatan tersebut adalah perbuatan
yang licik, kontroversi, dan bukti bahwa seorang suami tidaklah setia. Akan tetapi,
semua ocehan buruk itu pastilah tidak berdasar. Apabila mereka memelajari
sejarah Sang Nabi Terakhir, terbantahlah semua pendapat miring mereka. Kesembilan
istri yang memiliki watak berbeda-beda, berhasil dikontrol dengan baik oleh
Muhammad bin Abdullah tanpa menzalimi salah satunya. Dengan harta yang
seadanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuktikan bahwasanya
keadilan tidaklah utopis, dan kesetian bukanlah terletak dari aspek bagaimana
dia hanya mencintai seseorang. Tetapi kesetiaan adalah bagaimana memberi cinta
kepada orang-orang yang tepat. Sebab sejatinya, cinta sama halnya dengan ilmu. Ia
takkan habis bila dibagi, justru ia akan bertambah ketika dibagi. Cinta adalah
amanah. Tugas kita adalah mencintai orang yang benar dan tepat. Tidak mungkin
kita hanya mencintai satu orang di dunia ini. Maka janganlah mengkhianati
cinta, karena mengkhianatinya sama halnya dengan mengkhianati amanah. Jangan menyalahgunakan
cinta, karena menyalahgunakannya sama juga dengan menyalahgunakan amanah.
Dibesarkan
seorang ibu yang tegar tanpa bekal apapun, membuatnya menjadi pemuda yang
tangguh, tegar, menerima apa adanya, dan santun. Suatu ketika, datanglah Sang
Ayah yang baru pertama kali ini ditemuinya. Tanpa basa-basi, Sang Ayah
menyampaikan satu amanah dari Tuhannya untuk menyembelihnya. Tak dinyana,
pemuda yang bernama Isma’il ini langsung menyetujuinya dan merelekan lehernya
untuk disembelih oleh ayahnya. Kontan saja Ibrahim ‘alaihissalam
sumringah karena tak ada penolakan dalam diri anak pertamanya. Setelah disembelih,
ternyata Tuhan berkehendak lain. Isma’il digantikan dengan kibas berkualitas
baik, dan itulah dalil disyariatkannya qurban. Tak ada keraguan sedikitpun
dalam diri Isma’il ketika ayahnya menyampaikan amanah dari Tuhannya. Sekalipun ia
belum pernah bertemu ayahnya sebelumnya. Karena Isma’il yakin, setiap amanah
adalah musibah. Menyikapi amanah dengan tulus, tegar, ikhlas dan dilandasi ketakwaan,
maka musibah tersebut akan berujung berkah.
Ini
soal tanggung jawab, ini soal janji, ini soal musibah berujung berkah, ini soal
amanah. Siapapun yang hidup, akan mengemban amanah. Siapapun yang mengabdi,
akan mengemban amanah. Hanya mereka yang menggunakan pikiran dilandasi
keimanan, ketulusan, dan ketegaran-lah yang dapat menunaikannya dengan benar.
Barakallah waa innalillahi.. untuk amanah yg baru di emban.
ReplyDeleteSemangat bertugas pak ketumsat :D
Smg dikuatkan
Aamiin.
DeleteTerimakasih doanya