Era globalisasi memungkinkan siapapun untuk mendapatkan
berita-berita teranyar dan terpanas. Dahulu kita hanya mengandalkan surat kabar
dan radio untuk menunggu berita terbaru. Itupun jarak waktu antara kejadian
dengan turunnya berita ke media cukup lama. Bisa saja kejadian siang ini,
beritanya baru turun esok hari, atau bahkan dua hari ke depan. Hari ini, akses
berita terlampau mudah. Portal berita online bertebaran dimana-mana. Publik dimanjakan
oleh kemudahan mengakses informasi, dan mereka dapat memilih dan memilah
sendiri berita yang diinginkan.
Terdapat tiga kata
kunci pada judul pembicaraan kali ini. Terlihat tidak ada keterkaitannya sama
sekali. Namun, mari kita uraikan tiga masalah tersebut satu per satu.
Ya, para
Manusia Perahu yang terdiri dari orang-orang Myanmar muslim dan Bangladesh,
terombang-ambing di laut lepas. Bangsa-bangsa yang mereka lalui enggan turun
tangan. Syukurlah Tuhan memberi keajaiban kepada mereka dengan memberi petunjuk
kepada manusia-manusia berhati baik di Aceh sana untuk menolong saudaranya. Kini,
mereka diperlakukan sebagai manusia. Tidak seperti di tempat kelahiran mereka. Bahkan
mereka mendapatkan bantuan dari berbagai pelosok negeri. Banyak aktivis dan
lembaga muslim yang melakukan penggalangan dana, lembaga-lembaga kemanusiaan,
hingga pemerintah Turki pun mengulurkan bantuan. Tak ayal, senyum mengembang
dari bibir-bibir kering mereka. Mata mereka yang berhari-hari meneteskan air
mata harapan, kini berganti dengan linangan air mata kebahagiaan.
Berita tentang
eksekusi mati Presiden Mesir yang terpilih secara sah dan fair Dr.
Muhammad Mursi juga menjadi headline di berbagai media, tak terkecuali
di Indonesia. Tak pelak, portal-portal online yang memihak umat Islam
menggembar-gemborkan berita eksekusi mati tersebut. Manusia manapun yang masih
memiliki hati nurani, pasti merasa kasihan kepada Mursi dan merasa kesal
terhadap rezim kudeta Assisi. Bagaimana tidak, tanpa duduk perkara yang jelas,
Mursi dikudeta, dijebloskan ke penjara bertahun-tahun, hingga kini mendapat
vonis eksekusi mati. Ketika video putusan pengadilan tersebar, kita semua dapat
melihat tak ada penyesalan ataupun ekspresi ketakutan di wajah Mursi. Seolah yang
terlihat hanyalah kelegaan atas segala masalah yang menderanya selama ini. Mengingatkan
kita akan sikap Nabi Yusuf ‘alaihissalam yang lebih memilih penjara
daripada tipu daya serta cobaan yang menderanya. “Wahai Tuhanku! Penjara lebih
aku sukai daripada ajakan mereka” (QS. Yusuf: 34).
Lalu kita akan
bicarakan masalah aktivis lapar. Ya, mereka adalah aktivis mahasiswa yang
semakin tidak jelas aktif dalam hal apa. Sikap menggebu-gebu yang akan
menggulingkan kezaliman pemerintah, sekejap sirna dalam jamuan makan malam. Aksi-aksi
yang dilakukan gerakan-gerakan mahasiswa bak debu tertiup angin. Berlelah-lelah
suarakan bukti kezaliman rezim baru seakan tidak ada artinya. Manakala saudara
sesama aktivis yang duduk sebagai eksekutif di kampus malah menjual diri mereka
dalam jamuan makan malam. Sebegitu laparkah mereka sehingga langsung puas hanya
dengan jamuan makan malam? Mahasiswa-mahasiswa kelas eksekutif ini pun tanpa
malu-malu makan malam di atas penderitaan rakyat. Seakan putus urat malunya,
mereka berfoto narsis selepas acara.
Well,
sudahkah Anda temukan korelasi dari tiga topik pembicaraan kali ini? Terlalu rumit
memang untuk menemukan benang merahnya. Namun satu hal yang membuat ketiga topik
tersebut memilik keterkaitan, yakni “Kezaliman yang Dilazimkan”.
Kezaliman orang-orang berkepala plontos di negeri jiran telah
menelantarkan saudara-saudara mereka sendiri yang notabene berstatus
kewarganegaraan yang sama. Sayangnya, mereka tidak dicap teroris, hanya karena
mereka tidak berjenggot, mereka tidak berteriak “Allahu Akbar”, dan yang paling
penting adalah mereka bukan muslim. Jadi, lazim-lazim saja apabila mereka
membantai dan menelantarkan orang muslim.
Kezaliman rezim
dengki yang telah mengudeta presiden yang terpilih secara sah dan fair
telah menistakan orang-orang shalih. Orang-orang yang tidak pernah terbersit
dalam hatinya untuk melukai orang lain dengan otoritasnya. Namun para pendengki
mengudeta disebabkan oleh rasa benci dan dengkinya kepada umat Islam. Sayangnya
mereka tidak dicap teroris. Sekalipun mereka berjenggot dan beragama Islam,
tetapi karena mereka menistakan orang Islam yang memimpin secara benar dan
berkuasa secara benar, maka sikap zalim yang mereka lakukan sudah cukup untuk
dikatakan lazim.
Terakhir,
kezaliman rezim baru melenakan para aktivis lapar. Jurus jamuan makan malam
terbukti jitu untuk menyurutkan semangat ogah-ogahan mereka untuk membela rakyat.
Barangkali setelah dipikir-pikir, mahasiswa eksekutif ini juga bisa
dikategorikan sebagai rakyat, berarti jamuan makan malam ini dapat pula
dianggap sebagai proses menyejahterakan rakyat. Mereka tidak peduli saudaranya
sesama aktivis berlapar-lapar dan berhaus-haus melakukan aksi untuk berusaha
menurunkan rezim zalim.
Beginilah zaman
kehidupan kita. Zaman dimana kezaliman menjadi sesuatu yang lazim. Kekuasaan menjadi
tolak ukur kesuksesan. Menyuarakan syariat dan meneriakkan takbir, menjadi ciri
bahwa seseorang dapat dikatakan teroris. Siapapun boleh naik, siapapun boleh
maju, siapapun boleh sejahtera, asalkan bukan Islam.
akhir zaman...
ReplyDelete