“Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu?” Sebuah pribahasa yang bermakna bahwa hati tidaklah dapat diukur sebagaimana kedalaman air laut, sebab hati berada di titik terdalam diri anak manusia. Ia bersemayam di tempat paling tersembunyi. Hanya pemilik hati dan Pencipta hati yang tahu tentang isinya, tentang apa yang dirasakan.
Nyatanya setiap manusia memiliki hati, dan setiap hati menyimpan perasaan. Perasaan yang dipupuk dengan baik, maka akan menumbuhkan pikiran dan akhlak yang baik. Setiap manusia juga berbeda-beda. Di antara mereka ada yang senang terang-terangan dengan perasaannya. Namun ada pula yang menutup rapat-rapat ekspresi perasaannya, agar tidak ada yang mengetahui apa yang di dalam hatinya kecuali hanya dirinya sendiri.
Teringat Zaid bin Haritsah, seorang budak yang diangkat anak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Perintah turun untuk menikahkan Zaid dengan Zainab bint Jahsy. Zainab, seorang perempuan yang terpandang, berparas menawan, dan berkedudukan tinggi di mata pemuka Quraisy. Zainab tidak mengindahkan perintah Rasul untuk menikah dengan Zaid yang secara rupa tak menawan, secara nasab tak mengagumkan, bahkan statusnya yang mantan budak, membuat Zaid semakin rendah di mata Zainab. Setelah melalui negosiasi yang alot, hati Zainab pun luluh dan rela dipersunting Zaid.
Waktu demi waktu berlalu, rumah tangga yang tak ditumbuhi perasaan rela satu sama lain, membuat konflik seringkali meruncing. Zaid yang rela merendahkan harga dirinya di hadapan Zainab, belum sanggup menaklukkan hati Zainab. Zaid yang selama ini menjaga sikap, tak mampu menjaga perasaan Zainab agar mencintai suaminya. Perceraian pun tak terelakkan. Satu penyebab yang membuat perceraian mereka tak terelakkan adalah gagalnya salah seorang di antara mereka untuk menjaga perasaan.
Boleh pula kami ceritakan kembali tentang Abu Dzar yang berkata tak pantas kepada saudaranya sesama sahabat Rasul, Bilal bin Rabah. “Wahai Budak Hitam!” seketika Bilal mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Rasul mengatakan bahwa itulah sisa kejahiliahan dalam diri Abu Dzar al-Ghiffari. Setelah meminta maaf, Abu Dzar menyodorkan kepalanya untuk diinjak oleh Bilal, sebagai ganti kesalahannya terhadap Bilal. Kisah singkat ini berakhir indah, sebab tak dinyana Bilal sudah memaafkan perbuatan tak mengenakkan Abu Dzar. Kisah ini menjadi teladan bagi kita, bahwasanya siapapun akan berbuat salah, termasuk berucap tak pantas kepada saudaranya sendiri. Maka dari itu, maafkanlah perbuatan-perbuatan buruk yang datang kepada kita. Sebab memaafkan akan menjaga perasaan, dan menjaga perasaan adalah sebaik-baik persambungan tali persaudaraan.
Melihat keadaan ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang tidak punya apa-apa untuk hidup di Madinah ketika baru tiba dari perjalanan hijrah, Sa’id bin Rabi menawarkan separuh hartanya untuk ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Tak ingin tanggung-tanggung dalam berbuat kebaikan, ia pun menawarkan agar ibn ‘Auf memilih salah seorang dari istrinya, mana yang dia sukai, akan diceraikan dan apabila telah habis iddahnya, silakan dinikahi. Ndilalah ‘Abdurrahman hanya minta ditunjukkan di mana letak pasar bagi penduduk Madinah. Tak lama sesudah itu, beliau sudah kembali membawa minyak samin, gandum, dan barang lain untuk hidup sehari-hari di Madinah. Bagi ‘Abdurrahman bin ‘Auf, menjaga perasaan Sa’id bin Rabi jauh lebih penting daripada harta dan istri. Bagi Sa’id bin Rabi’, menjaga perasaan saudaranya yang berhijrah karena Allah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, jauh lebih penting ketimbang ‘hanya’ menjaga harta dan istrinya. Ketidaktegaan Sa’id dan optimisme ibn ‘Auf menjadi teladan bagi siapapun yang ingin belajar menjaga perasaan saudaranya.
Terakhir, teladan tentang menjaga perasaan datang dari Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib. Setelah percekcokkan pemerintahan ayahnya dengan kubu Muawiyah bin Abu Sufyan, tampuk kekuasaan khalifah diwariskan kepada Hasan. Tanpa berlama-lama, Hasan memutuskan untuk memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan berbaiat kepadanya. Nyatanya kekuasaan dan kepercayaan diri Hasan sebagai pemimpin, masih kalah penting tinimbang menjaga perasaan Muawiyah yang semangatnya sedang menggebu-gebu untuk memperbaiki pemerintahan yang justru goyah di tangan ‘Ali. Lebih dari itu, Hasan memilih untuk menjaga perasaan rakyat, agar tidak bingung dengan siapa berbaiat serta menentramkan negeri yang berpotensi timbul konflik berkepanjangan.
Menjaga perasaan haruslah menjadi agenda wajib bagi siapapun yang ingin menjalin tali persaudaraan. Mejaga perasaan haruslah menjadi prioritas utama bila ingin bekerjasama dalam tim. Menjaga perasaan adalah hal terperting manakala kita mempertanyakan persatuan umat di tengah huru-hara akhir zaman ini. Semoga perasaan kita selalu terjaga, sehingga kita mampu untuk menjaga perasaan saudara kita.
Nyatanya setiap manusia memiliki hati, dan setiap hati menyimpan perasaan. Perasaan yang dipupuk dengan baik, maka akan menumbuhkan pikiran dan akhlak yang baik. Setiap manusia juga berbeda-beda. Di antara mereka ada yang senang terang-terangan dengan perasaannya. Namun ada pula yang menutup rapat-rapat ekspresi perasaannya, agar tidak ada yang mengetahui apa yang di dalam hatinya kecuali hanya dirinya sendiri.
Teringat Zaid bin Haritsah, seorang budak yang diangkat anak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Perintah turun untuk menikahkan Zaid dengan Zainab bint Jahsy. Zainab, seorang perempuan yang terpandang, berparas menawan, dan berkedudukan tinggi di mata pemuka Quraisy. Zainab tidak mengindahkan perintah Rasul untuk menikah dengan Zaid yang secara rupa tak menawan, secara nasab tak mengagumkan, bahkan statusnya yang mantan budak, membuat Zaid semakin rendah di mata Zainab. Setelah melalui negosiasi yang alot, hati Zainab pun luluh dan rela dipersunting Zaid.
Waktu demi waktu berlalu, rumah tangga yang tak ditumbuhi perasaan rela satu sama lain, membuat konflik seringkali meruncing. Zaid yang rela merendahkan harga dirinya di hadapan Zainab, belum sanggup menaklukkan hati Zainab. Zaid yang selama ini menjaga sikap, tak mampu menjaga perasaan Zainab agar mencintai suaminya. Perceraian pun tak terelakkan. Satu penyebab yang membuat perceraian mereka tak terelakkan adalah gagalnya salah seorang di antara mereka untuk menjaga perasaan.
Boleh pula kami ceritakan kembali tentang Abu Dzar yang berkata tak pantas kepada saudaranya sesama sahabat Rasul, Bilal bin Rabah. “Wahai Budak Hitam!” seketika Bilal mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Rasul mengatakan bahwa itulah sisa kejahiliahan dalam diri Abu Dzar al-Ghiffari. Setelah meminta maaf, Abu Dzar menyodorkan kepalanya untuk diinjak oleh Bilal, sebagai ganti kesalahannya terhadap Bilal. Kisah singkat ini berakhir indah, sebab tak dinyana Bilal sudah memaafkan perbuatan tak mengenakkan Abu Dzar. Kisah ini menjadi teladan bagi kita, bahwasanya siapapun akan berbuat salah, termasuk berucap tak pantas kepada saudaranya sendiri. Maka dari itu, maafkanlah perbuatan-perbuatan buruk yang datang kepada kita. Sebab memaafkan akan menjaga perasaan, dan menjaga perasaan adalah sebaik-baik persambungan tali persaudaraan.
Melihat keadaan ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang tidak punya apa-apa untuk hidup di Madinah ketika baru tiba dari perjalanan hijrah, Sa’id bin Rabi menawarkan separuh hartanya untuk ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Tak ingin tanggung-tanggung dalam berbuat kebaikan, ia pun menawarkan agar ibn ‘Auf memilih salah seorang dari istrinya, mana yang dia sukai, akan diceraikan dan apabila telah habis iddahnya, silakan dinikahi. Ndilalah ‘Abdurrahman hanya minta ditunjukkan di mana letak pasar bagi penduduk Madinah. Tak lama sesudah itu, beliau sudah kembali membawa minyak samin, gandum, dan barang lain untuk hidup sehari-hari di Madinah. Bagi ‘Abdurrahman bin ‘Auf, menjaga perasaan Sa’id bin Rabi jauh lebih penting daripada harta dan istri. Bagi Sa’id bin Rabi’, menjaga perasaan saudaranya yang berhijrah karena Allah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, jauh lebih penting ketimbang ‘hanya’ menjaga harta dan istrinya. Ketidaktegaan Sa’id dan optimisme ibn ‘Auf menjadi teladan bagi siapapun yang ingin belajar menjaga perasaan saudaranya.
Terakhir, teladan tentang menjaga perasaan datang dari Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib. Setelah percekcokkan pemerintahan ayahnya dengan kubu Muawiyah bin Abu Sufyan, tampuk kekuasaan khalifah diwariskan kepada Hasan. Tanpa berlama-lama, Hasan memutuskan untuk memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan berbaiat kepadanya. Nyatanya kekuasaan dan kepercayaan diri Hasan sebagai pemimpin, masih kalah penting tinimbang menjaga perasaan Muawiyah yang semangatnya sedang menggebu-gebu untuk memperbaiki pemerintahan yang justru goyah di tangan ‘Ali. Lebih dari itu, Hasan memilih untuk menjaga perasaan rakyat, agar tidak bingung dengan siapa berbaiat serta menentramkan negeri yang berpotensi timbul konflik berkepanjangan.
Menjaga perasaan haruslah menjadi agenda wajib bagi siapapun yang ingin menjalin tali persaudaraan. Mejaga perasaan haruslah menjadi prioritas utama bila ingin bekerjasama dalam tim. Menjaga perasaan adalah hal terperting manakala kita mempertanyakan persatuan umat di tengah huru-hara akhir zaman ini. Semoga perasaan kita selalu terjaga, sehingga kita mampu untuk menjaga perasaan saudara kita.
0 comments:
Post a Comment