Beberapa hari belakangan,
media-media online gencar memberitakan seorang aktor yang sudah keluar dari
Islam (murtad). Aktor yang juga pernah berperan sebagai panutan setiap warga
Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, dalam film Sang Pencerah tersebut terang-terangan
mendeklarasikan dirinya dalam sebuah video yang tersebar di youtube. Sontak
saja publik yang didominasi para netizen ramai membicarakan kemurtadan putra
dari seniman kawakan, Idris Sardi, ini.
Mayoritas
penduduk Indonesia yang notabene beragama Islam, nyatanya masih peduli dengan
kepercayaan yang dianut oleh para public figure yang sering muncul di
layar kaca mereka. Meskipun tidak sedikit muslim awam di negeri ini, tak dapat
dipungkiri bahwa kepercayaan masih menjadi patokan fundamental untuk menilai
kepribadian seseorang. Sebelum berita tentang Lukman Sardi luas dibincangkan,
beredar pula tentang kemurtadan Asmirandah yang dilewati dengan proses penipuan
dan penculikan. Asmirandah beserta suaminya mungkin kalah lihai ketimbang
Lukman Sardi dalam menyembunyikan kebahagiaannya setelah mendapatkan hidayah
dari “Allah yang berbeda”. Lukman Sardi sudah menjalani hidup sebagai “orang
yang mendapat petunjuk” selama kurang lebih enam tahun. Bahkan ia bisa dengan
tenang memerankan sekaligus menginjak-injak tokoh Ahmad Dahlan dalam keyakinan
Kristen-nya. Berbeda dengan Asmirandah yang justru diinjak-injak oleh publik
tak lama setelah menikah dengan suaminya, yang sebelum menikah –pura-pura-
menyatakan diri masuk Islam.
Well,
apabila kita berlarut-larut dalam pembahasan ini, mungkin kaum Liberal akan
mencibir dengan perkataan yang sudah tidak asing lagi, bahkan sudah basi mampir
di telinga kita; “Jangan urusi agama orang lain, agama itu urusan pribadi!”
Namun akan kita jadikan bahasan ini bahasan yang lebih memberikan pelajaran dan
bernilai ilmiah. Seringkali Allah mengorelasikan orang yang beriman dengan
orang yang berpikir atau memiliki wawasan luas. Sedangkan di sisi lain, Allah
seringkali mengaitkan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
atau sebut saja kafir, sebagai orang yang enggan berpikir bahkan mereka
dihinakan sebagaimana hinanya hewan ternak. Allah pun beberapa kali menegaskan
bahwasanya tidak pernah ada paksaan untuk beragama Islam, sekalipun Allah
menegaskan bahwasanya mereka yang mencari agama selain Islam maka serta-merta
tertolak. Dan mereka yang beramal tanpa beriman, maka amalnya tidak berpahala
bak debu yang tertiup angin.
Istilah-istilah
yang dipopulerkan Al-Qur’an semacam ulil albab, ulil abshar, ataupun ulin
nuha yang diterjemahkan sebagai orang-orang yang mempunyai pandangan,
orang-orang yang berwawasan, ataupun orang-orang berakal selalu merujuk kepada
orang-orang yang beriman.“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab (orang
yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi.”[1]
Allah Menyebutkan orang berakal, kemudian dengan akalnya mereka berpikir,
menelaah, hingga meneliti ciptaan Allah adalah orang beriman yang senantiasa
mengingat Allah dalam pelbagai keadaan. Artinya, beriman dan berpikir adalah
dua hal yang tak dapat dipisahkan. Seorang muslim yang beriman, pastilah mereka
berpikir mengapa harus beriman. Mengapa harus Allah, mengapa Allah tak terlihat
wujudnya, mengapa harus shalat, mengapa harus puasa, mengapa harus melakukan
ritual-ritual yang menjadi syarat kenikmatan abadi bernama surga, sedangkan
surga itu belum pernah ia rasakan sama sekali. Maka apabila seorang yang
tadinya beragama Islam, kemudian dengan mudahnya mengganti kepercayaannya,
berarti ia tidak berpikir dengan matang terkait apa yang dianut dan
dipercayanya. Dengan kata lain, ia enggan berpikir.
Islam
adalah agama yang mengajak penganutnya untuk berpikir. Dengan berpikir, maka
seseorang dapat bertambah keimanannya. Salah satu dari bukti bahwa Islam itu
benar, yaitu tidak ada kontradiksi antar satu ayat dengan ayat lain dalam kitab
sucinya, yakni Al-Qur’an. Hal ini tidak dapat diketahui apabila seorang muslim
tidak menggunakan akalnya untuk berpikir. Kejadian-kejadian alam yang
bersesuaian dengan Al-Qur’an, juga tidak akan dapat diidentifikasi apabila
seorang muslim tidak menggunakan akalnya untuk berpikir. Bertentangan dengan
logika atheis, bahwasanya apabila seseorang semakin berpikir, maka ia semakin
tak mempercayai adanya tuhan. Dalam Islam justru sebaliknya, semakin seseorang
berpikir maka ia semakin beriman. Hingga kini, hanya Islam satu-satunya agama
yang tidak tersentuh revisi dan menghargai serta mengajak pemeluknya berpikir
secara kontinyu. Diperkuat pula oleh peringatan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dalam hadis shahih yang mewajibkan setiap muslim untuk
belajar dan menuntut ilmu. “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.[2]
Terlebih Allah menaikkan derajat orang-orang yang menuntut ilmu; “niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kaluan dan orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”[3]
Ayat ini pun jelas sekali mengorelasikan antara beriman dengan berilmu. Iman
tak dapat kokoh tanpa ditopang ilmu. Sebaliknya, ilmu tidak akan menjadi
sesuatu yang dapat memberi kebahagiaan manakala tiada keimanan padanya.
Di
sisi yang lain, orang-orang yang enggan menggunakan akalnya untuk berpikir,
atau malas belajar justru mendapatkan tempat yang hina di sisi Allah. “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) Neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami
(ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat) Allah. Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (daripada binatang ternak). Mereka
itulah orang-orang yang lalai.”[4]
Dalam ayat tersebut secara jelas Allah menghinakan mereka dan menyamakan
derajat mereka dengan binatang ternak, bahkan lebih buruk lagi. Sebabnya,
mereka tidak mempergunakan karunia yang Allah berikan untuk beribadah. Mereka
lebih memilih kufur dan mengingkari ayat-ayat ataupun tanda-tanda kekuasaan
Allah. Padahal mereka diberi hati, untuk mengendalikan segala indra mereka,
tetapi tidak dipergunakan untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah. Mereka
diberi mata untuk membac dan meneliti, namun tidak dipergunakan untuk membaca
dan meneliti tanda-tanda kekuasaan Allah. Mereka juga diberi telinga, untuk
mendengarkan keindahan ayat-ayat Al-Qur’an, namun tidak pula dipergunakan untuk
mendengarkannya. Maka derajat mereka sama dengan binatang ternak, bahkan lebih
hina lagi. Karena binatang ternak masih bersujud kepada Allah, sedangkan mereka
tidak.
Allah
tidak memaksa manusia untuk beriman, Allah hanya mengajak manusia berpikir
untuk memilih pilihan yang baik. “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari yang sesat.”[5]
Hanya mereka yang berpikir yang dapat mengidentifikasi mana jalan yang benar
dan mana jalan yang sesat. Maka sekali lagi kami katakan, bahwa Islam adalah
agama yang mengajak sekaligus menghargai pemeluknya yang berpikir. Ditawarkan
kepada manusia yang haq dan bathil, dan manusia hanya tinggal memilihnya. Orang
yang cerdas, tanpa perlu diajak, pastilah ia memilih kebaikan dan kebenaran.
Hidup
ini memang menawarkan banyak pilihan. Dan hanya mereka yang mempergunakan
akalnya-lah dapat memilih pilihan terbaik. Dan katakanlah: “Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman. Dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang yang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung
mereka.[6][7]
Tidaklah heran apabila mereka yang menggunakan akal pikirannya, maka mereka
akan memilih beriman. Sekalipun jalan yang mereka lalui pastilah terjal dan
banyak sekali hambatannya. Sebab mereka meyakini bahwa surga yang Allah
janjikan pasti adanya. Maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang
beruntung. “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Beruntunglah bagi yang mensucikannya. Merugilah bagi yang
mengotorinya.”[8]
Demikianlah
adanya orang-orang yang murtad, mereka terlena oleh kenikmatan semu yang
berlalu di hadapan mereka. Sedangkan Islam menawarkan kenikmatan abadi di akhir
cerita bagi setiap orang-orang yang beriman. Wajib menjadi pelajaran bagi kita
atas orang-orang tersebut. Pun wajib menjadi pelajaran bagi kita atas
orang-orang yang menyatakan diri masuk Islam. Maka teruslah berpikir dan
belajar, agar senantiasa menjadi manusia seutuhnya dan mengokohkan iman yang
utuh dalam diri kita.
[1]
Ali-Imran (3): 190-191
[2] HR. Ibnu
Majah
[3]
Al-Mujadilah (58): 11
[4] Al-A’raaf
(7): 179
[5]
Al-Baqarah (2): 256
[6] Al-Kahfi
(18): 29
[7] Ayat ini
pernah saya bahas dalam kultwit #AlKahfiers Series. Dapat dilihat di https://storify.com/ITJJogja/silakan-beriman-silakan-kafir
[8]
Asy-Syams (91): 8-10
0 comments:
Post a Comment