Keributan demi keributan silih berganti mengiringi keberadaan pemerintah Indonesia yang baru. Semenjak dilantiknya jajaran pimpinan negeri yang baru, isu-isu positif maupun negatif senantiasa bermunculan. Tak pelak, hal ini membuat popularitas presiden beserta jajaran menterinya menanjak signifikan. Mulai dari menteri yang merokok di lingkungan istana, menteri yang marah-marah terhadap petinggi sebuah perusahaan penerbangan, hingga presiden yang salah sebut tempat lahir pendahulunya sendiri. Kritik-kritik menohok yang dilayangkan rakyatnya, tampaknya tak membuat pemerintah kehilangan kepercayaan diri untuk muncul lagi dan lagi di hadapan publik.
Belum banyak berganti bulan, sudah beredar lagi berita tentang risihnya Wapres Jusuf Kalla dengan bisingnya suara kaset ngaji yang disetel di masjid-masjid. Menurutnya dengan disetelnya kaset ngaji tersebut, alih-alih mendapat pahala, justru menimbulkan kebisingan dan polusi suara. Sebelum ini, Wapres sudah berhasil membuat umat Islam geger dengan pendapatnya yang menginginkan penghilangan arabisasi khususnya dalam istilah-istilah yang digunakan dalam bidang ekonomi syariah di Indonesia. Entah beberapa waktu yang akan datang, kerisihan apa lagi yang akan dikeluhkan oleh Sang Wapres.
Lain Wapres lain pula menterinya. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin lagi-lagi melontarkan pernyataan kontroversial. Cecuitnya di jejaring sosial media twitter memberi izin bagi pemilik warung makan untuk tetap buka pada siang hari. Sebagai bentuk penghormatan kepada orang-orang yang tidak berpuasa, maka makan siang hari di depan umum pada Bulan Ramadhan adalah hal yang sah-sah saja. Dengan dalih toleransi, umat Islam kembali dipaksa mengalah kepada keadaan di lapangan, bahwasanya banyak sekali orang yang tidak berpuasa di luar sana yang patut mendapat penghormatan. Sebuah kenyataan yang terbalik; siapa yang harus dihormati dan siapa yang harus menghormati.
Well, sepertinya ini kenyataan yang cukup bagus. Manakala jajaran pemerintah mampu kompak satu suara. Namun sayang seribu sayang, mereka kompak dalam kebodohan dan kenaifan. Mereka itu muslim, tetapi pernyataan-pernyataan mereka seolah menganaktirikan umat Islam. Toleransi itu sepatutnya dilakukan oleh yang minoritas untuk menghormati yang mayoritas. Di negeri minoritas muslim, umat Islam harus rela bersusah payah menyesuaikan syariat Islam dengan budaya yang ada. Di daratan Eropa, umat Islam harus rela menelan ludah pada bulan Ramadhan karena di sana mereka kaum minoritas. Sehingga mereka tidak bisa memaksakan orang-orang untuk menghormati umat Islam yang sedang menunaikan ibadah puasa. Karena umat Islam minoritas, sehingga yang minoritas harus mengikuti aturan yang mayoritas. Atau tak perlu jauh-jauh, di Bali, umat Islam minoritas. Ada larangan berjilbab bagi karyawan, tidak ada aturan khusus di bulan Ramadhan, dan ketika Hari Raya Nyepi, semua aktivitas harus direduksi, atau bahkan kalau bisa ditiadakan demi menghormati umat Hindu yang sedang Nyepi. Apakah keberadaan orang yang tak Nyepi diakui? Sedangkan umat Islam adalah penduduk terbanyak kedua setelah umat Hindu di sana. Siapa yang harus bertoleransi? Yang minor ataukah yang mayor?
Negeri tetangga macam Myanmar atau Thailand menjadi contoh ketika umat Islam yang berstatus minoritas di sana ditindas dan tidak diberi kesempatan hidup yang layak. Umat Islam di negeri minoritas muslim harus rela ditindas. Umat Islam di negeri mayoritas muslim, harus rela bertoleransi. Jadi, siapakah yang sejatinya toleran, dan siapakah yang sejatinya intoleran? Benarlah apa yang dikatakan oleh M. Natsir ketika mengungkapkan sifat Islam dalam sebuah tatanan masyarakat, “Kalaupun besar tidak melanda. Kalau pun tinggi malah melindungi.”
Jangan lihat Islam dari tingkah FPI yang diberitakan secara serampangan oleh media mainstream. Kalian harus lihat ketika mereka mengadakan bakti sosial tanpa harus diliput lensa media. Jangan lihat Islam dari tingkah orang-orang PKS yang menurut media mainstream, mereka sok alim tapi gandrung korupsi. Kalian harus lihat ketika ada gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan bencana alam lainnya, mereka adalah kader-kader partai yang bersiap-siaga tanpa pamrih membantu saudaranya yang kesusahan sebab terkena bencana. Tapi mereka tidak butuh diliput kamera media dalam beramal baik. Lihatlah Islam dari ajarannya. Lihatlah Islam dari kacamata Islam, bukan kacamata Barat, apalagi kacamata media mainstream.
Kepada seluruh penduduk non-muslim di Indonesia, saya ucapkan selamat, kalian tinggal di negeri paling toleran sedunia. Dimana pemimpinnya muslim, tapi tidak bangga dengan keislamannya dengan berlagak toleran. Dimana pemimpinnya bergelar akademik mentereng, tetapi pilon dalam melakoni kepemimpinannya.
Belum banyak berganti bulan, sudah beredar lagi berita tentang risihnya Wapres Jusuf Kalla dengan bisingnya suara kaset ngaji yang disetel di masjid-masjid. Menurutnya dengan disetelnya kaset ngaji tersebut, alih-alih mendapat pahala, justru menimbulkan kebisingan dan polusi suara. Sebelum ini, Wapres sudah berhasil membuat umat Islam geger dengan pendapatnya yang menginginkan penghilangan arabisasi khususnya dalam istilah-istilah yang digunakan dalam bidang ekonomi syariah di Indonesia. Entah beberapa waktu yang akan datang, kerisihan apa lagi yang akan dikeluhkan oleh Sang Wapres.
Lain Wapres lain pula menterinya. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin lagi-lagi melontarkan pernyataan kontroversial. Cecuitnya di jejaring sosial media twitter memberi izin bagi pemilik warung makan untuk tetap buka pada siang hari. Sebagai bentuk penghormatan kepada orang-orang yang tidak berpuasa, maka makan siang hari di depan umum pada Bulan Ramadhan adalah hal yang sah-sah saja. Dengan dalih toleransi, umat Islam kembali dipaksa mengalah kepada keadaan di lapangan, bahwasanya banyak sekali orang yang tidak berpuasa di luar sana yang patut mendapat penghormatan. Sebuah kenyataan yang terbalik; siapa yang harus dihormati dan siapa yang harus menghormati.
Well, sepertinya ini kenyataan yang cukup bagus. Manakala jajaran pemerintah mampu kompak satu suara. Namun sayang seribu sayang, mereka kompak dalam kebodohan dan kenaifan. Mereka itu muslim, tetapi pernyataan-pernyataan mereka seolah menganaktirikan umat Islam. Toleransi itu sepatutnya dilakukan oleh yang minoritas untuk menghormati yang mayoritas. Di negeri minoritas muslim, umat Islam harus rela bersusah payah menyesuaikan syariat Islam dengan budaya yang ada. Di daratan Eropa, umat Islam harus rela menelan ludah pada bulan Ramadhan karena di sana mereka kaum minoritas. Sehingga mereka tidak bisa memaksakan orang-orang untuk menghormati umat Islam yang sedang menunaikan ibadah puasa. Karena umat Islam minoritas, sehingga yang minoritas harus mengikuti aturan yang mayoritas. Atau tak perlu jauh-jauh, di Bali, umat Islam minoritas. Ada larangan berjilbab bagi karyawan, tidak ada aturan khusus di bulan Ramadhan, dan ketika Hari Raya Nyepi, semua aktivitas harus direduksi, atau bahkan kalau bisa ditiadakan demi menghormati umat Hindu yang sedang Nyepi. Apakah keberadaan orang yang tak Nyepi diakui? Sedangkan umat Islam adalah penduduk terbanyak kedua setelah umat Hindu di sana. Siapa yang harus bertoleransi? Yang minor ataukah yang mayor?
Negeri tetangga macam Myanmar atau Thailand menjadi contoh ketika umat Islam yang berstatus minoritas di sana ditindas dan tidak diberi kesempatan hidup yang layak. Umat Islam di negeri minoritas muslim harus rela ditindas. Umat Islam di negeri mayoritas muslim, harus rela bertoleransi. Jadi, siapakah yang sejatinya toleran, dan siapakah yang sejatinya intoleran? Benarlah apa yang dikatakan oleh M. Natsir ketika mengungkapkan sifat Islam dalam sebuah tatanan masyarakat, “Kalaupun besar tidak melanda. Kalau pun tinggi malah melindungi.”
Jangan lihat Islam dari tingkah FPI yang diberitakan secara serampangan oleh media mainstream. Kalian harus lihat ketika mereka mengadakan bakti sosial tanpa harus diliput lensa media. Jangan lihat Islam dari tingkah orang-orang PKS yang menurut media mainstream, mereka sok alim tapi gandrung korupsi. Kalian harus lihat ketika ada gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan bencana alam lainnya, mereka adalah kader-kader partai yang bersiap-siaga tanpa pamrih membantu saudaranya yang kesusahan sebab terkena bencana. Tapi mereka tidak butuh diliput kamera media dalam beramal baik. Lihatlah Islam dari ajarannya. Lihatlah Islam dari kacamata Islam, bukan kacamata Barat, apalagi kacamata media mainstream.
Kepada seluruh penduduk non-muslim di Indonesia, saya ucapkan selamat, kalian tinggal di negeri paling toleran sedunia. Dimana pemimpinnya muslim, tapi tidak bangga dengan keislamannya dengan berlagak toleran. Dimana pemimpinnya bergelar akademik mentereng, tetapi pilon dalam melakoni kepemimpinannya.
kita ambil hikmahnya saja dan tetap berpikir dijalan yang menurut kita benar dan tidak saling menyalakan satu sam lain.
ReplyDelete