Apabila kita melihat berita-berita
di media arus utama, kadang kita akan menemukan sesuatu yang identik di antara
media-media tersebut. salah satu yang identik tersebut adalah: memberikan citra
positif sesedikit mungkin dan memberikan citra negatif sebanyak muslim kepada
(umat) Islam. Menuduh aktivis muslim sebagai biang keladi perpecahan, menuduh
kurikulum agama dan kegiatan rohis di sekolah-sekolah sebagai pengkaderan
teroris, hingga mengambinghitamkan jumlah muslim Indonesia yang mayoritas lalu
memberi stempel intoleran.
Faktanya,
pasca peristiwa 11 September 2001, runtuhnya gedung World Trade Centre, Barat
merancang makar baru yang mengarahkan pandangan publik bahwasanya pelaku dari
peristiwa tersebut adalah sekelompok muslim yang menyerukan jihad. Lantas
beberapa saat setelah peristiwa tersebut, praktis kini media dan publik yang
pro terhadap media-media tersebut menisbatkan label teroris kepada umat Islam.
Tentu saja umat Islam di sini yang gandrung bicara jihad, berjanggut lebat, di
keningnya terdapat bercak-bercak hitam, bercelana di atas mata kaki bagi
laki-laki, dan bagi perempuan mengenakan kerudung besar, apalagi bila ditambah
mengenakan cadar. Penggembosan umat Islam terbesar terjadi di lini media.
Kasus-kasus
penggusuran gereja beserta jamaahnya, haramnya mengucap selamat natal dan
valentine, pemberlakuan Perda Syariah, hingga poligami yang dilakukan para
tokoh ormas ataupun partai Islam menjadi isu seksi untuk dibahas yang semakin
menguatkan pandangan bahwa umat Islam di Indonesia yang notabene mendominasi
secara kuantitas memang intoleran, suka kekerasan, dan mendiskriminasi kaum
perempuan. Opini-opini serampangan semakin bertebaran ketika muncul
komunitas-komunitas dan beberapa gagasan yang semakin memperkeruh suasana. Yang
teranyar, isu “Islam Nusantara” sempat membuat keresahan, hingga para tokoh
agama pun bereaksi atas gagasan tersebut. Salah satunya Mamah Dedeh yang
terang-terangan menolak gagasan “Islam Nusantara” dalam sebuah acara kontes
da’i yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta dalam negeri.
Berita-berita
yang semakin menyudutkan umat Islam tak kurang-kurangnya beredar di media-media
arus utama, membuat umat Islam sendiripun akhirnya mempercayai berita-berita
tersebut. Sehingga apa yang diinginkan memang tercapai di masa sekarang. Banyak
sekali muslim yang tidak bangga pada agamanya sendiri. Justru menghujat
agamanya sendiri di khalayak ramai, termasuk di dalam kelas-kelas perkuliahan.
Padahal,
fakta di lapangan membantah semua yang digembar-gemborkan media arus utama. Umat
Islam di tempat-tempat yang mana mereka berposisi sebagai minoritas, justru
tertindas dan tidak diberikan hak hidup yang layak. Kita tidak mungkin
melupakan orang-orang Rohingya yang telah menduduki Myanmar sejak lama
terombang-ambing di laut lepas karena tidak diterima kehadirannya oleh
negerinya sendiri. Rakyat muslim Pattani di Thailand bagian selatan sempat
diguncang oleh kezaliman pemerintah negara mereka sendiri. Muslim Uyghur di
Tiongkok, kini merasakan keadaan “hidup segan mati tak mau” karena serba
dilarang untuk menjalankan perintah agamanya. Beberapa negara Eropa bahkan
melarang perempuan muslimah menggunakan hijab, sebagai simbol ketaatannya
kepada Tuhan Yang Maha Menciptakan. Menariknya, apabila kita mau sedikit saja
meneliti sejarah, maka kita juga seharusnya menangis mendengar kekejaman
Christopher Columbus yang membantai segenap warga Indian di Amerika, sebab pada
kenyataannya mayoritas yang dibantai justru muslim. Serangkaian pembantaian
kepada umat Islam yang minoritas di beberapa tempat, tak pernah total diekspos
media arus utama. Entah apakah berita tersebut kurang menarik, ataukah memang
umat Islam tidak dianggap sebagai manusia pada umumnya yang harus mendapatkan
hak hidup yang layak serta kebebasan beribadah menjalankan perintah agama.
Kabar
terakhir yang masih hangat, adalah penistaan terhadap umat Islam yang sedang
melaksanakan Shalat ‘ied di Kabupaten Tolikara, Papua. Di hari kemengannya,
umat Islam Karubaga justru mendapatkan musibah yang tak pernah diharapkan
seumur hidup mereka. Ditimpuki, dan mushola mereka dibakar. Sungguh pelecehan
yang sangat tidak bisa ditoleransi, terlepas dari alasan apapun yang
menyebabkan penduduk beragama Kristen setempat melakukan hal tersebut. Warga
muslim Indonesia tentunya belum lupa dengan serangkaian pembantaian yang
terjadi dalam tragedi Poso dan Ambon, serta peristiwa-peristiwa penistaan umat
Islam lainnya. Tentu saja hal ini memunculkan tanda tanya besar. Siapakah
sebenarnya yang intoleran?
Setelah
tempo hari saat memasuki Bulan Ramadhan,
umat Islam digelitik oleh menteri agamanya sendiri tentang himbauannya agar
warung-warung makan tetap buka, dan umat Islam yang berpuasa harus menghormati
yang tidak puasa, kini pertanyaan tersebut akan selalu muncul; siapakah yang
sebenarnya intoleran? Ketika umat Islam belum juga lupa dengan komentar unik
sang wakil presiden atas suara tilawah Qur’an yang disetel dengan pengeras
suara di masjid-masjid itu mengganggu serta menimbulkan polusi suara,
seharusnya pertanyaan itu harus selalu dimunculkan; siapakah sebenarnya yang
intoleran? Di daerah-daerah minoritas muslim di Indonesia, umat Islam sulit
sekali berkembang. Perizinan pembangunan masjid dipersulit, azan tak boleh
dikumandangkan, pengajian-pengajian dan ibadah lainnya dibatasi, hingga
larangan menggunakan jilbab bagi perempuan muslimah. Anehnya, ini terjadi di
negara yang mayoritas muslim. Lagi-lagi, siapakah yang sebenarnya intoleran?
Satu
frasa yang seolah-olah sudah menjadi kesepakatan publik dewasa ini. Yakni;
“Asalkan Bukan Islam”, kita singkat saja ABI. Siapapun boleh membantai orang,
asalkan bukan Islam. Muslim yang mengganggu ketentraman publik, sebutlah ia
teroris. Non-muslim yang melakukan pembantaian atau yang lainnya, tidak boleh
disebut teroris, tetapi cukuplah mereka hanya disebut “pelaku kriminal”. Kalau
ada seorang ustadz yang poligami, tuduhlah ia sebagai orang yang mata
keranjang, karena nabinya pun mengajarkan untuk main perempuan. Tetapi kalau
ada seorang muslim abangan atau non-muslim yang poligami, maka sebut saja itu
sebagai gaya hidup. Atau justru apabila mereka selingkuh dengan beberapa
perempuan, anggap saja itu karena mereka memang ada masalah rumah tangga. Bila
ada seorang muslim berlaku buruk, memang karena agama Islam mengajarkan
keburukan. Tetapi bila ada seorang non-muslim berlaku buruk, maka anggap saja
memang sifatnya seperti itu, agama tidak menentukan sifat seseorang.
Demikianlah
yang terjadi hingga detik ini. ABI: Asalkan Bukan Islam atau Anything But
Islam, telah mendarah daging bagi segenap media untuk menekan umat Islam
agar tidak kembali kepada kejayaannya yang terjadi berabad-abad lalu. Dan umat
Islam ternyata menikmati saja keadaan ini.
Anything but not islam?
ReplyDelete