Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain.
Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”[1]
Dzulqarnain,
salah satu dari beberapa orang shalih non-25 nabi yang secara istimewa
disebutkan dalam Al-Qur’an secara gamblang. Selain Maryam binti Imran, Zaid bin
Haritsah, Uzair, dan Luqman yang Penuh Hikmah; ada nama Dzulqarnain di sana dan
disebutkan beberapa kali. Kisahnya diceritakan dari ayat 83 hingga 98 dalam QS.
Al-Kahfi. Rupanya memang istimewa pula ceritanya. Dan kita akan terkagum-kagum
pada sosok Dzulqarnain.
Secara
harfiah kata Dzul Qarnayn memiliki arti “Pemilik Dua Tanduk” atau “Ia
yang memiliki Dua Tanduk”. “Dzu” (Bahasa Arab: ذو)
berarti “pemilik”. Ibnu Katsir membahasnya dalam Al-Bidayah wan Nihayah, dan
juga membahasnya sedikit dalam Qishashul Anbiya. Dzul Qarnain adalah seorang raja yang adil nan bijaksana yang telah
menjelajahi bumi dari timur hingga ke barat. Ia adalah seorang mukmin penyebar
agama Allah, melaksanakan sebab-sebab dalam mencapai tujuannya dan mempunyai
banyak keajaiban atas kuasa Allah subhanahu wa ta’ala. Ia mengajak
penduduk negeri-negeri yang ditaklukkannya untuk beriman kepada Allah.[2]
Beberapa pendapat mengenai etimologi dari kata “Dzul Qarnayn”[3] adalah
sebagai berikut:
- Ia pernah meninggal dan hidup kembali setelah mendapat pukulan tepat di kepala bagian kanan dan kiri.
- Rancangan tembok besinya memiliki tanduk.
- Ia bisa melihat dengan jelas di siang hari dan di kegelapan malam.
- Ia pernah hidup selama dua abad sehingga beliau AS dapat disebut “Dzu al-Qarnayn”
“Qarn”
(قرن) berarti: Kekuasaan;
wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Barat hingga Timur; Kuat; dan Berani. Dzulqarnain
adalah sepupu Nabi Khidr ‘alaihissalam dari pihak ibu, hidup sezaman
dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi Luth ‘alaihissalam. Namun
mengenai riwayat kekerabatannya, menjadi perdebatan di kalangan ahli ulama dan
sejarah. Dzulqarnain memiliki nama asli Abu Karb Al-Himyari atau Abu Bakar bin
Ifraiqisy dari Daulah Al-Jumairiyah (115 SM – 552 M) dan kerajaannya disebut
At-Tababi’ah. Menurut Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, Dzulqarnain berasal dari
Mesir[4].
Dan di dalam catatan yang lain mengisahkan bahwa nama aslinya adalah Mush’ab
bin ‘Abdullah keturunan Kahlal bin Saba’. Adapun, mengenai pendapat yang
mengatakan Dzulqarnain adalah The Great Alexander, merupakan kekeliruan yang
sangat jauh menyimpang. Allahu a’lam.
Allah
memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kisah
tentang Dzulqarnain, agar para ahli kitab yang bertanya perihal Dzulqarnain
semakin yakin bahwasanya Muhammad benarlah seorang Utusan Terakhir. Selain itu,
agar kisah tentangnya menjadi pelajaran bagi siapapun yang hendak belajar.
Kisah Dzulqarnain mengandung pelajaran kehidupan yang sungguh tinggi nilainya.
Siapapun yang pernah menggebu-gebu membahas agen tentang agent of change
–agen perubahan- haruslah belajar darinya. Dzulqarnain bukan sekadar agen
perubahan, namun ia lebih layak disebut sebagai direktur perubahan. Jelaslah
jabatan direktur lebih tinggi ketimbang hanya sekadar agen.
Kelebihan dari
Allah Berupa Sebab Kemenangan
Dzulqarnain
memiliki kelebihan yang dikhususkan oleh Allah kepadanya. Allah memberikan
kekuasaan di muka bumi, dan memberi karunia berupa segala sebab atau sarana
untuk mencapai segala sesuatu yang dituju oleh Dzulqarnain. “Sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi.”[5]
Maksudnya, Allah azza wa jalla Memberikan kekuasaan dan memantapkan
pengaruhnya di segenap penjuru bumi, dan ketundukan kepadanya. “Dan Kami
telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun
menempuh suatu jalan.”[6]
Maksudnya, Allah Memberikan sebab-sebab yang menyampaikan kepada kedudukan yang
dicapainya itu. Sebab-sebab itu membantunya untuk menaklukkan berbagai negeri,
memudahkannya mencapai tempat-tempat yang paling jauh yang didiami manusia. Dia
menggunakan sebab-sebab yang telah Allah berikan, sesuai dengan apa yang
dibutuhkan.[7]
Karena tidak setiap orang yang mempunyai sebuah sebab (untuk mencapai sesuatu),
kemudian dia mau menjalaninya. Dan tidak setiap orang pula mempunyai kemampuan
untuk menjalani sebab itu. Sehingga, ketika terkumpul antara kemampuan untuk
menjalani sebab yang hakiki dan (kemauan) menjalaninya, tercapailah tujuan. Dan
bila keduanya -kemampuan dan kemauan- atau salah satunya tidak ada, maka tujuan
tidak akan tercapai.
Director of
Change
Dzulqarnain
yang diberi kekuasaan oleh Allah, serta segala sebab untuk menggapai sesuatu
yang dituju, sangat mudah untuk menjalankan aktivitasnya. Menempuh perjalanan
yang singkat antara penghujung timur dan penghujung barat muka bumi. Dimanapun
ia singgah, ia akan menaklukkan tempat tersebut dan berhasil menjadikan mereka
beriman kepada Allah azza wa jalla. Petualangan pertama –yang dikisahkan
dalam QS. Al-Kahfi- Dzulqarnain adalah ke negeri di ujung barat. “Hingga
apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari
terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapat segolongan umat.
Kami berkata: “Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan
terhadap mereka.”[8]
Ketika singgah di kaum tersebut, Dzulqarnain diberikan keleluasaan oleh Allah
untuk berlaku sesuka hatinya. Namun Dzulqarnain lebih memilih untuk memperbaiki
keadaan kaum tersebut, dan mengajak mereka semua untuk beriman. Padahal bisa
saja Dzulqarnain menaklukkan mereka dan memperlakukan mereka sebagai budak.
Tetapi apa yang dipilih oleh Dzulqarnain adalah sebaik-baik pilihan di antara
dua pilihan yang Allah tawarkan. “Sungguh beruntung bagi orang yang
mensucikannya (memilih jalan kebaikan).”[9]
Petualangannya
pun berlanjut hingga ke bagian bumi sebelah timur. Kaum yang ditemukannya
adalah kaum terbelakangan yang tidak memiliki rumah. Atau memiliki rumah tetapi
tidak permanen dan tidak memiliki atap. Di tempat ini pula Dzulqarnain
lagi-lagi memberikan pencerahan kepada kaum tersebut. Setelah itu Dzulqarnain
bersama pasukannya kembali berjalan hingga tiba di antara dua buah gunung dan
menemukan suatu kaum primitif.[10]
Kaum ini hampir tidak mengerti perkataan manusia pada umumnya ketika pada saat
itu.
Dzulqarnain
diberikan sarana keistimewaan oleh Allah berupa kecakapan lisan, sehingga kaum
tersebut dapat berkomunikasi dengan Dzulqarnain dengan baik. Kemudian
dikeluhkanlah oleh kaum tersebut perihal Ya’juj dan Ma’juj (Gog and Magog) yang
meresahkan rakyat sekitar. Lalu diputuskanlah untuk membangun sebuah dinding
pemisah antara kaum tersebut dengan Ya’juj dan Ma’juj agar tidak mengganggu
penduduk serta berbuat kerusakan di muka bumi. Betapa senangnya kaum tersebut,
hingga mereka rela untuk memberi upah kepada Dzulqarnain. Mendengar hal
tersebut, Dzulqarnain menolaknya secara halus. Sebab ia bukanlah orang yang
cinta harta, tetapi mencintai kebenaran dan beriman kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Apa yang menjadi jawaban Dzulqarnain, adalah sebaik-baik jawaban
bagi orang yang membantu saudaranya yang kesusahan; “Apa yang dikuasakan
oleh Rabbku kepadaku adalah lebih baik.”[11]
Jadilah rakyat kaum tersebut bergotong-royong untuk membantu Dzulqarnain
membangun tembok pemisah yang terbuat dari besi tembaga.
Tembok
yang selesai dibangun begitu kokoh dan tinggi. Hingga Ya’juj dan Ma’juj tidak
akan sanggup memanjat ataupun melubangi tembok tersebut, hingga waktu yang
telah ditentukan. Tembok itu juga menjadi ghaib, sehingga kita tidak mengetahui
keberadaannya hingga hari ini. Para ulama dan sejarawan memunculkan pendapat yang
berbeda-beda terkait hal ini. Apa yang harus kita yakini adalah bahwasanya
tembok itu benar adanya, dan akan hancur sebagai pertanda Hari Kiamat bersamaan
dengan meluncurnya Ya’juj dan Ma’juj dari tembok tersebut. “Hingga apabila
dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, lalu mereka turun dengan cepat dari
seluruh tempat yang tinggi.”[12]
Pada akhirnya, hanya keimananlah imbalan yang diharapkan oleh Dzulqarnain
terhadap kaum tersebut. Tanpa ada rasa jumawa sedikitpun, setelah menyelesaikan
pekerjaannya, Dzulqarnain pun berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari
Tuhanku.”[13]
Kisah
Dzulqarnain yang cukup singkat diceritakan oleh Al-Qur’an seyogianya memberikan
pelajaran bagi kita akan sebuah makna yang tinggi dalam kehidupan. Bahwasanya
ketika mendapat kekuasaan, haruslah diiringi dengan rasa penuh syukur. Bukan
malahs sebaliknya, yakni menyalahgunakan kekuasaan yang kita miliki. Ada
beberapa pelajaran tentang director of change yang dapat kita ambil dari
kisah Dzulqarnain tersebut. Pertama, kekuasaan adalah karunia dari Allah
yang harus disyukuri. Cara bersyukur yang diperlihatkan Dzulqarnain adalah dengan
menjadi bermanfaat bagi orang banyak. Menggunakan otoritas dan kekuasaannya
untuk melayani rakyat, memperbaiki keadaan manusia yang tidak mendapat
kehidupan layak, juga memberi pertolongan bagi siapapun yang membutuhkan tanpa
pamrih dan minta pujian. Sebagaimana Sulaiman ‘alaihissalam yang juga
mendapat berbagai kenikmatan dan kemudahan dari Allah. Nabi Sulaiman tidak
merasa bangga, namun justru merendah dan tetap menginjak bumi. Ia menganggap
segalanya adalah pemberian dari Allah yang sewaktu-waktu dapat menguji
keimanannya. “Ini termasuk karunia Rabbku untuk menguji aku apakah aku
bersyukut ataukah kufur (akan nikmat-Nya).”[14]
Kedua, kepekaan yang
terbangun ketika melihat orang yang kesusahan harus selalu dimiliki oleh
siapapun. Terlebih lagi dia adalah seorang pemimpin. Dan Dzulqarnain memiliki
hal ini. Dzulqarnain sangat peka terhadap problematika umat yang terjadi.
Melihat realita dan kemudian memberikan solusinya yang telah Allah ilhamkan
kepadanya. Hari ini, kita banyak sekali melihat aktivis muslim yang justru
menambah masalah ketika menawarkan solusi. Terkadang gagal dalam membaca
realita, sehingga gagal pula dalam memberikan solusi. Salah satu faktornya
adalah karena tidak mencari referensi solusi dari segala permasalahan ke tempat
yang benar. Padahal ada Al-Qur’an yang menyediakan solusi bagi setiap
permasalahan kehidupan.
Ketiga,
pemimpin yang baik adalah pemimpin yang cerdas dan baik budi pekertinya. Ketika
kedua elemen ini disatukan, maka akan menciptakan ketentraman bagi negerinya.
Ditambah lagi, kecerdasannya tersebut haruslah aplikatif, harus dapat
memberikan solusi dan kesejahteraan rakyat. Inilah yang dicontohkan oleh
Dzulqarnain. Sehingga ketika dirinya dipuji dan dipuji oleh penduduk bumi
hingga penduduk langit sekalipun, dirinya tidak lantas menjadi sombong ataupun
jumawa. Ia tetap menginjak bumi, tanpa lupa untuk bersyukur dan terus
berdakwah, mengajak orang-orang kepada kebenaran dan beriman kepada Allah.
Pemimpin yang cerdas tetapi tidak shalih, berpotensi menyalahgunakan
kekuasaannya untuk memuaskan hawa nafsunya, sehingga menyengsarakan bangsa.
Sebaliknya, pemimpin yang hanya shalih tetapi tidak cerdas, hanya akan
memberikan kegamangan dan ketidakstabilan negara. Karena ia tidak dapat
memberikan solusi dan inovasi demi kemajuan bangsanya sendiri. Selain itu, dia
tidak dapat menularkan keshalihannya kepada seluruh penjuru negeri, karena
ketidakcakapannya berpikir dan bertindak cepat dalam memimpin.
Keempat,
direktur perubahan selalu memberikan pengaruh kepada lingkungannya. Dengan pengaruh
tersebut, maka pada gilirannya akan menciptakan iklim yang lebih baik dan
kondusif ketimbang sebelumnya. Maka kehadiran mereka selalu dinanti. Dzulqarnain
senantiasa memberikan pengaruh kepada setiap tempat kaum yang disinggahinya. Ia
bukan hanya sekadar penakluk, tapi juga pencerah bagi kaum-kaum yang
ditemuinya. Oleh sebab itu, ketika sebuah kaum menerima kedatangannya, bukan
kekhawatiran yang mereka rasakan, melainkan harapan besar akan datangnya
pembaharuan.
Kelima,
kata adalah tombak, dan bahasa adalah ujung tombaknya. Ketika kata-kata yang
kita gunakan tidak menggunakan bahasa yang baik, maka akan sulit dimengerti
oleh mereka yang mendengarkan. Maka target dari sebuah pembicaraan justru tidak
tercapai. Dzulqarnain mencontohkan bahwasanya bahasa adalah senjata dakwah. Kita
dapat diterima oleh masyarakat yang kita datangi apabila kita dapat memahami
bahasa yang mereka gunakan, dan kita pun menyampaikan dengan bahasa yang mereka
pahami pula. Akan sulit bagi kita diterima masyarakat dengan budaya Jawa yang
kental apabila kita menggunakan bahasa dan budaya Minang dalam berdakwah dan
menyampaikan ilmu. Maka seorang direktur perubahan, akan mempelajari setiap
bahasa yang berkembang dan menggunakannya untuk mencuri hati para obyek dakwah
dan pendengarnya.
Demikianlah
hal-hal tersebut dikisahkan oleh Allah. Agar setiap manusia senantiasa berpikir
dan mengambil pelajaran dari segala hikmah yang terserak di muka bumi. Dan sebaik-baik
kisah adalah kisah yang diceritakan dalam Al-Qur’an. “Maka ceritakanlah
kisah-kisah itu agar mereka berpikir!”[15]
[1] Al-Kahfi
(18): 83.
[2] Ibnu
Katsir. Al-Bidayah wa An-Nihayah.
[3] Ibnu
Katsir. Qishashul Anbiya.
[4] Abu
Bakar Jabir al-Jazairi. Tafsir al-Aisar.
[5] Al-Kahfi
(18): 84.
[6] Al-Kahfi
(18): 84-85.
[7]
Abdurrahman As-Sa’di. Taisir Al-Karimirrahman.
[8] Al-Kahfi
(18): 86.
[9]
Asy-Syams (91): 9.
[10] Para
ahli tafsir mengatakan bahwa ia berjalan dari negeri timur ke arah utara.
[11]
Al-Kahfi (18): 95.
[12]
Al-Anbiyaa (21): 96.
[13]
Al-Kahfi (18: 98.
[14] An-Naml
(27): 40.
[15] Al-A’raaf
(7): 176.
Maaf koreksi sedikit. Ada yg janggal disini tentang kisah hidup raja Dzulqarnain. Disebutkan kerajaannya berumur dari 115 SM – 552 M. 115SM berari 115 tahun sebelum kelahiran Nabi Isa As. Sedangkan info ini kontradiksi dengan Dzulqarnain yg hidup sejaman Nabi Ibrahim As. Kita tahu nabi Isa adalah keturunan Nabi Ibrahim setelah beberapa nabi. Apakah mungkin 115 tahun adalah jarak yang tepat antara nabi Isa dan nabi Ibrahim. Padahal sebelum nabi Isa ada nabi Ishak, nabi Ya'qub, nabi Yusuf, nabi Musa, nabi Daud, nabi Sulaiman. Tampaknya janggal.
ReplyDelete