“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan.”[1]
Generasi
yang kuat adalah hasil didikan yang baik dari generasi sebelumnya. Sebaliknya,
generasi yang lemah adalah karena gagalnya generasi sebelumnya dalam
mempersiapkan generasi setelahnya dengan pelbagai pendidikan dan pengajaran. Generasi
adalah aset berharga yang harus dipelihara dan dibentuk agar dapat melanjutkan
keberhasilan generasi-generasi sebelumnya. Atau apabila generasi sebelumnya
tidak dapat dikatakan baik, maka seharusnya generasi selanjutnya melakukan
perbaikan.
Tugas
sebuah generasi selain berkarya dan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya
adalah mendidik generasi setelahnya, agar siap menyongsong masa depan.
Nyatanya, ini bukanlah tugas yang mudah. Tidak semua orang yang sukses berhasil
mendidik anaknya untuk menjadi sukses pula. Banyak sekali da’i yang memiliki
keturunan durjana, orang kaya yang anaknya justru hidup di bawah garis
kemiskinan, orang cerdas yang anaknya tidak naik kelas, orang baik yang anaknya
justru menjadi bad boy, bahkan seorang nabi yang mempunyai anak durhaka.
Sebaliknya, banyak pula seorang durjana yang mempunyai anak shalih, orang
miskin yang mempunyai anak kaya raya, orang bodoh yang mempunyai anak cerdas,
bahkan seorang yang musyrik mempunyai anak seorang nabi. Tergantung bagaimana
cara mendidiknya, atau lingkungan hidupnya. Karena bisa jadi anak-anaknya tidak
terdidik di rumah, tetapi lingkungan hidupnya yang justru memberikan pendidikan
kepadanya.
Telah
sampai kepada kita kisah-kisah umat terdahulu. Kisah-kisah yang memuat tentang
generasi-generasi penerus yang buruk dan terlaknat. Kita pernah mendengar
tentang peristiwa pembunuhan saudara kandung yang dilakukan oleh putra Nabi
Adam kepada putranya yang lain. Putra Nabi Nuh tak kalah menghebohkan; tatkala
banjir telah melanda, dan bahtera Nuh mulai berlayar, putranya yang bernama
Qan’an malah enggan menaiki bahtera dan ingin berjuang sendiri tanpa
pertolongan Allah. Kaum-kaum setelahnya justru lebih buruk lagi; Kaum ‘Ad, Kaum
Tsamud, dan Kaum Nabi Luth yang mendurhakai Allah sehingga diturunkan azab
kepada mereka yang lantas memusnahkan mereka secara keseluruhan. Kaum pilihan
Allah, Bani Israil pun tidak jauh berbeda. Ketika mereka ditinggal oleh Nabi
Musa ‘alaihissalam selama empat puluh hari, mereka menuruti Samiri untuk
menyembah patung anak sapi. Padahal ada Nabi Harun ‘alaihissalam yang
memberi peringatan ketika itu.
Setiap
zaman memiliki tantangan yang berbeda. Bila kemarin tantangan zaman adalah
lemahnya umat Islam karena kristenisasi yang dilakukan misionaris, hari ini
adalah penyebaran pemikiran yang perlahan menjauhkan kita dari Islam. Agama
tetap Islam, tetapi pikiran, akhlak, dan perilaku justru bukan Islam sama
sekali. Apabila kita malah acuh tak acuh terhadap kenyataan ini, maka kita akan
menjadi korban dari isme-isme yang ada. Apabila kita tidak menjadi korban,
berarti generasi setelah kita-lah yang akan menjadi korban selanjutnya. Inilah
yang membuat kita harus mempersiapkan generasi.
Generasi
Rabbani
Jikalau
kita gagal dalam mendidik generasi penerus, maka generasi penerus kita terancam
merusak tatanan yang sudah ada, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Maryam:
59. Maka penting sekali untuk menciptakan Generasi Rabbani. Rabbani diambil
dari kata dasar “rabb” yang artinya Tuhan, yakni Allah. Rabbani berarti orang
yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan kehendak Allah. Sayyidina ‘Ali
bin Abi Thalib menyebutkan bahwa Generasi Rabbani adalah generasi yang
memberikan sajian rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka
atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menerangkan
bahwa rabbani itu adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Maka
Generasi Rabbani adalah generasi yang (1) berilmu dan memiliki pengetahuan
tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah, (2) mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya,
dan (3) mengajarkannya.
Mendidik
masyarakat dan generasi penerus untuk menjadi Generasi Rabbani adalah tugas
setiap kita, setiap orang muslim dan mukmin. Al-Qur’an mengajarkannya dalam
beberapa tempat. Salah satunya “Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah
diri kalian dan keluarga kalian dari neraka...”[2]
Ini perintah yang jelas sekali wajib dilaksanakan oleh orang-orang beriman.
Agaknya penting untuk dapat dibahas di sini tentang metode mewujudkan Generasi
Rabbani: Pertama, Ajari mereka untuk bertauhid. Al-Qur’an menceritakan
tentang wasiat yang disampaikan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam ketika hampir
meninggal dunia, Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda)
maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek
moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya.”[3]
Ayat ini mengajarkan kepada kita satu prinsip penting tentang penanaman aqidah
kepada keluarga.
Kedua,
ajarilah mereka melaksanakan shalat dengan benar. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perintahkanlah
anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka
untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia 10 tahun.”[4]
Pada asalnya hukum shalat tidak wajib bagi anak-anak. Akan tetapi, Ibnu Hajar
al-Atsqalani pernah menjelaskannya dalam Fathul Bari’, bahwa ketika ada seorang
anak meninggalkan shalat, sementara
orang tuanya tidak memerintahkannya atau memaksanya maka si anak tidak berdosa,
namun orang tuanya telah melanggar kewajiban. Karena dirinya wajib untuk
memerintahkan anaknya agar melaksanakan shalat.
Ketiga,
beri peringatan keras atau ancaman apabila melakukan maksiat. Tujuannya
adalah agar anak tidak berani melawan orang tua, atau istri melawan suami.
Salah satu ajaran Rasulullah adalah memberikan semacam rambu-rambu di rumah,
agar anggota keluarga segera mengingat azab dan menjauhi maksiat. Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Gantunglah cemeti di tempat yang bisa dilihat penghuni rumah.
Karena ini akan mendidik mereka.”[5]
Keempat, banyak berdoa demi kebaikan keluarga. Salah satunya adalah doa
Nabi Ibrahim Khalilullah dalam mendoakan generasi penerusnya. Tak ayal,
Nabi Ibrahim menjadi bapak bagi para nabi. Kedua anaknya –Isma’il dan Ishaq-
menjadi nabi, dan dari mereka lahirlah nabi-nabi setelahnya. Allah menakdirkan
seluruh nabi setelah Nabiyullah Ibrahim
adalah dari keturunannya. “Ya Allah, jadikanlah diriku dan keturunanku orang
yang bisa menegakkan shalat. Ya Allah, kabulkanlah do’a.”[6]
Nabi
Nuh ‘alahissalam juga pernah berdoa untuk kebaikan keluarganya. Ini
dapat kita praktikkan dalam doa kita. “Ya Allah, ampunilah diriku, kedua
orang tuaku. Ampunilah setiap orang yang masuk rumahku dalam keadaan beriman,
dan kepada seluruh orang mukmin laki-laki maupun perempuan.”[7]
Allah juga mengajarkan, diantara doa orang mukmin adalah, “Ya Rabb kami,
anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”[8]
Selain itu, kita dapat mempersiapkan generasi selanjutnya dengan banyak belajar
dari pesan Luqmanul Hakim yang termaktub dalam QS. Luqman dari ayat 12 hingga
ayat 19.
Demikianlah,
menjadi tugas kita untuk mendidik generasi selanjutnya menjadi Generasi
Rabbani. Agar tidak terlahir generasi buruk nan terlaknat yang justru
menciptakan perpecahan dan kerusakan di muka bumi. Tentunya, kebaikan adalah
impian setiap manusia, dan untuk itulah Al-Qur’an menjelaskan segala yang
berhubungan dengan kehidupan manusia, agar kita dapat belajar darinya dan hidup
dalam kebaikan.
0 comments:
Post a Comment