Banyak orang bilang, “Jangan melihat
seseorang dari agamanya, tetapi lihatlah dari akhlaknya.” Tak sedikit pula yang
berkata, “Bunda Theressa, Nelson Mandela, Dalai Lama, dan tokoh non-muslim
lainnya itu orang baik. Mana mungkin orang sebaik mereka tidak masuk surga?
Allah pasti adil.” Banyak lagi lontaran kalimat-kalimat serupa dengan itu. Namun,
benarkah demikian kenyataannya? Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam nyatanya tetap diputuskan masuk neraka oleh Allah, sekalipun Abu
Thalib adalah salah seorang yang paling gigih membela dan melindungi dakwah
Rasulullah. Benarkah Allah tidak adil?
Dalih
para liberalis yang bertebaran adalah menyangkut sebuah ayat, “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan Shabi'in, barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk
mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas
mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan
berduka-cita.[1]
Pendapat kaum liberal bahwa asalkan Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in[2]
beriman dan beramal shalih, maka mereka akan tetap mendapat pahala dan masuk
surga. Padahal tidaklah seperti itu maknanya. Sebelum kita membahas ayat ini,
ada beberapa ayat yang perlu kita sorot untuk membantah tafsiran liberalis terhadap ayat tersebut.
Salah satunya, Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”[3]
Ayat ini menerangkan tentang amal. Bahwa amal shalih hanya daapt dilakukan
ketika seseorang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Syaikh
Abu Bakar Jabir al-Jazairi memaparkan tentang ayat 62 QS. Al-Baqarah adalah
menerangkan bahwasanya setiap orang beriman tidak terikat oleh penyebutan atau
pelabelan.[4] Namun,
substansi dari orang yang beriman adalah kepercayaannya terhadap Allah,
Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadha
dan Qadr. Adapun ayat itu memang berkaitan dengan dakwah Islam kepada orang
Yahudi. Dalam rangka ta’liful qulub (pelunakan hati) ketika berdakwah,
maka kaidah ini diperbolehkan. Akan tetapi, dalam rangka syiar kepada kaum
muslim, hal ini –yakni pendapat bahwa yang penting substansi beriman, bukan
pelabelannya- tidak dapat dijadikan tolok ukur. Selain itu, ada pula yang
berpendapat bahwa orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in disejajarkan derajatnya
dengan orang yang beriman, karena disebut bersamaan dalam ayat tersebut.
Pendapat ini juga serta-merta tertolak. Sebab sudah menjadi kebiasaan bahasa
dalam Al-Qur’an yang menyebutkan orang beriman di awal ayat-ayat yang
menyebutkan tentang perbuatan baik. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan
keunggulan orang beriman di atas segala kaum.[5]
Ini
hanya salah satu pendapat dari seorang ulama untuk membantah pendapat yang
mengatakan bahwa orang kafir tetap mendapat pahala dan masuk surga. Bantahan terhadap
pendapat tersebut akan semakin kuat, manakala kita menilik ayat-ayat lain
dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
“Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri)
berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhan kalian”.
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga (Trinitas).”[6]
Jelas sekali ayat ini mengatakan bahwa penganut konsep Trinitas yang
dipunggawai kaum Kristen ataupun yang lebih parah lagi menuhankan banyak dewa
adalah kafir. Dan amalan orang-orang kafir jelas tertolak.
Tertolaknya
amalan orang kafir layaknya debu yang tertiup angin. Dan inilah yang ditegaskan
Allah jalla jallaluhu dalam Al-Qur’an, “Orang-orang yang kafir kepada
Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan
keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat
sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu
adalah kesesatan yang jauh.”[7]
Maka telah jelas terbantah pendapat orang-orang liberal yang bersikukuh
menyebutkan orang-orang selain Islam tetap mendapatkan pahala dan masuk surga
oleh sebab keadilan Allah yang tidak mungkin mencampakkan hamba-Nya yang baik
ke neraka.
Mari
kita munculkan lagi pertanyaan di awal paragraf, “Benarkah Allah tidak adil?”. Hanya
karena Allah mencampakkan orang-orang yang berbuat baik ke neraka, tidak lantas
hal tersebut melegitimasi ketidakadilan Allah. Apabila saya tanya, “Mengapa
Malin Kundang dikutuk jadi batu oleh ibunya? Padahal Malin Kundang dikenal baik
secara sosial dan baik pula kepada istrinya.” Tepat sekali! Malin Kundang
dikutuk jadi batu karena tidak mengakui ibu kandungnya sendiri. Bukan masalah
berbuat baik atau tidak, tetapi ini masalah pengakuan. Malin dibesarkan oleh
ibu kandungnya, ketika beranjak dewasa Malin merantau dan menjadi orang sukses.
Ketika kembali ke rumah dan melihat ibunya yang berpenampilan kampungan, Malin
gengsi mengakui bahwa beliau adalah ibu kandungnya. Sekalipun ini hanya sekadar
mitos dari urban legend, setidaknya hal ini tidak jauh berbeda dengan
kaum Yahudi atau Nasrani yang gengsi menganggap Allah sebagai Tuhan Yang Esa
dan Muhammad sebagai rasul terakhir yang harus diimani dengan alasan sederhana;
Muhammad bukan dari kalangan Bani Israil! Silakan Anda coba sendiri untuk
membuktikan. Sampaikan kepada orang tua Anda, bahwa mereka bukanlah orang tua
kandung Anda. Beranikah Anda? Atau kalaupun berani, masihkah Anda mau menikmati
hasil jerih payah orang tua Anda? Atau relakah orang tua Anda tetap mengasihi
dan menyayangi Anda meskipun sudah tahu bahwa Anda durhaka kepada mereka? Impossible!
Inilah makna sakral dari sebuah pengakuan.
Demikianlah
halnya alasan mengapa Allah tetap memasukkan orang kafir yang berbudi baik ke
neraka. Mereka meniadakan pengakuan bahwa Allah Tuhan Yang Maha Esa dan
Muhammad adalah rasul terakhir yang wajib diimani. Tidaklah pantas bagi mereka
menikmati surga Allah apabila mereka tidak menganggap Allah sebagaimana
seharusnya. Maka dari itu, harus ditegaskan kembali bahwa sebuah pengakuan itu
penting. Maka terjawablah pertanyaan terhadap sebuah hadis, “Setiap umatku
akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan untuk memasukinya. Ada
seseorang yang bertanya, siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah ?
Beliau bersabda, “Barangsiapa menaatiku akan masuk surga, barangsiapa tidak
taat kepadaku sungguh dia orang yang enggan masuk surga.”[8]
Pengakuan
adalah sesuatu yang sakral dalam Islam. Syahadat adalah pengakuan kita
bahwasanya tiada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Setelah
pernyataan tersebut, ada amalan-amalan wajib sebagai konsekuensi dari pengakuan
dan itu semua harus dijalankan. Setelah ini, seharusnya tidak ada lagi yang
mempertanyakan keadilan Allah menyangkut surga dan neraka. Tulisan ini bukanlah
mencampuri hak Allah dalam menilai iman seseorang atau menentukan seseorang
masuk surga atau tidak. Tulisan ini hanyalah menjelaskan apa yang telah Allah
gariskan. Nyatanya banyak sekali manusia yang tidak mampu melihat dengan jelas
garis-garis Allah. Atau parahnya lagi, mereka memang enggan melihatnya oleh
karena gengsi ataupun harta dunia. “Maka jika datang kepada kalian petunjuk
dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan
tidak akan celaka.”[9]
[1]
Al-Baqarah (2): 62
[2] Kaum
pagan, atau penyembah bintang-bintang dan dewa-dewa
[3] Al-Kahfi
(18): 103-104
[4] Abu
Bakar Jazir al-Jazairi. Tafsir al-Aisar Juz 1. (Jakarta: Darus Sunnah).
2008. Hlm.125.
[5] Fahmi
Salim. Tafsir Sesat. (Depok: Gema Insani). 2013.
[6]
Al-Maidah (5): 72-73
[7] Ibrahim
(14): 18
[8] HR.
Bukhari
[9] Thaha
(20): 123
0 comments:
Post a Comment