Segelintir kawan yang telah menikah
dan sedang menunggu kehadiran sang buah hati, sedang sibuk mencari nama yang
pas untuk anaknya kelak ketika lahir. Tidak sedikit dari mereka yang
berkegiatan nembung kepada para ustadz ataupun kiyai untuk sekadar
mengais wejangan tentang menamai anak dengan nama yang baik dan menjadi doa
dalam kehidupan si anak. Sekali waktu, saya bertemu dengan orang yang memiliki
nama yang bagi saya asing. Benar saja, namanya memang bermakna tidak baik,
untuk tidak dikatakan buruk. Bagi kalangan yang menamai anaknya dengan
sembarang nama, maka ia akan menjadikan
Shakespeare sebagai perilis fatwa bolehnya memberi nama asal-asalan. Karena menurut
Shakespeare, “What’s in a name? That which we call a rose by any other name
would smell as sweet.”
Bagi
Shakespeare, apalah arti sebuah nama. Sebab jikalau bunga mawar diberi nama
selain “mawar” ia pun akan tetap wangi. Namun benarkah pendapat Shakespeare
tentang nama? Bagi mereka yang kadung diberi nama tidak bagus, mungkin akan mengiyakan. Tetapi nampaknya pernyataan Shakespeare ini tidak jauh berbeda
dengan penelitian Darwin yang menyatakan monyet dapat berevolusi menjadi
manusia. Pendapat Shakespeare seperti itu memang banyak diamini orang-orang. Tetapi
kebanyakan orang-orang mengapriori pernyataannya karena Shakespeare sudah
terlanjur basah menjadi sastra kenamaan seantero dunia.
Saya
sendiri berpandangan bahwa nama memiliki makna dan filosofi yang sangat tinggi.
Karena nama akan melekat pada dirinya dan memberikan image pada si
empunya. Misalnya saja jika seseorang bernama Ibrahim Abdul Rahman; orang-orang
sudah pasti menganggap ia sebagai muslim dan rasanya amat tidak pantas apabila
lelaki bernama Ibrahim Abdul Rahman menenggak minuman keras dan mengonsumsi
obat-obat terlarang. Contoh lain adalah jika ada seseorang bernama Susanto
Prakoso, pastilah orang lain menganggapnya sebagai orang Jawa. Agak mustahil
ada orang Ambon asli bernama Susanto Prakoso. Sampai di sini kita dapat
mengambil kesimpulan, bahwa sebuah nama akan memberikan identitas dan image kepada
si empunya.
Kini
kita akan mengganti kacamata kita dalam memandang persoalan ini. Pastinya saya
akan menggunakan kacamata Islam. Islam sendiri memberikan pesan untuk memberi
nama dengan nama yang baik. Ada satu kasus unik yang sering luput dari
perhatian muslim, bahwasanya sebuah penamaan adalah hal yang sangat penting. Mari
simak ayat berikut: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semua benda,
kemudian mengemukakannya kepada mereka yang diberikan kendali, lalu berfirman: “Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”[1]
Andaikata
memang nama tidaklah penting, Allah yang Maha Memiliki segala filosofi tidak
akan mungkin mengangkat kasus ini ke dalam kitab suci-Nya. Karena tidak ada
kesia-siaan dari apa yang telah diperbuat dan difirmankan oleh Allah azza wa
jalla. Adam alaihissalam diajarkan nama-nama benda karena penamaan
memang penting, dan itu akan sangat berguna untuk mengetahui identitas sesuatu
atau seseorang. Sebenarnya sah-sah saja ketika Shakespeare mengatakan apalah
arti sebuah nama. Karena sejatinya Shakespeare sedang mengajak para pembacanya
untuk merenungkan esensi dari sesuatu. Shakespeare menginginkan orang-orang
untuk menghargai atau menilai sesuatu dari esensinya, bukan dari namanya. Sekalipun
seseorang namanya tidak bagus, tetapi akhlaknya bagus, mengapa kita harus
menjauhinya? Namun ini menjadi suatu blunder oleh seorang pujangga besar,
karena kata-katanya akan diterima fans fanatiknya dengan taken for granted.
Kita
lanjutkan tentang pesan Islam untuk memberikan nama yang baik. Salah satu pesan
Rasul dan para sahabat adalah dalam hal penamaan anak. Di antara hak-hak anak
yang patut dituntut kepada orang tuanya adalah ia mendapatkan nama yang baik. Selain
itu, Islam melarang umatnya untuk menggelari orang lain dengan nama atau
panggilan yang jelek. “Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan
janganlah memanggil dengan nama-nama yang buruk.”[2]
Dalam konteks keislaman, jelas Shakespeare sudah salah besar. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tanpa tedeng aling mengganti nama sahabatnya apabila
sahabatnya tersebut memiliki nama yang tidak bagus maknanya. Rasul juga menegur
‘Ali bin Abi Thalib ketika ingin memberi nama anaknya ‘Harb’ yang berarti
perang. Karena ia ingin sekali dipanggil ‘Abu Harb’ yakni Bapak Perang. Karena memang
hobinya adalah berperang. Kemudian Rasulullah pun mengeluarkan pernyataan bahwa
seburuk-buruk nama adalah ‘perang’ dan ‘pahit’.
Sekarang
coba kita bayangkan. Apabila kita benar-benar ingin mengadopsi pendapat
Shakespeare, cobalah Anda memproduksi minuman dan berilah merknya dengan nama “Obat
Nyamuk”. Kira-kira, adakah orang yang ingin membelinya untuk meminumnya? Paling
tidak, ketika melihat minuman tersebut, orang akan beranggapan bahwa benda cair
dalam kemasan itu adalah obat nyamuk. Untuk apa repot-repot memikirkan
esensinya, wong sudah jelas-jelas tertulis “Obat Nyamuk” di kemasannya. Patut
diakui bahwa kebanyakan dari kita lebih sering berpikir sesuatu secara
simbolis, ketimbang ingin memikirkan esensinya terlebih dahulu. Kita tahu bunga
mawar memang harum seperti yang dikatakan Shakespeare. Sekalipun KBBI edisi
terbaru ingin mengganti penyebutan terhadap bunga mawar, sifat asli Sang Mawar
tidak akan berubah. Ia akan tetap menawan, mewangi, dan berduri. Tetapi apabila
bunga tersebut diganti namanya dengan Bunga Kotoran Ayam, apakah para pecinta
mawar akan sudi dengan kenyataan tersebut?
Bila
berpikir nama tidaklah penting, maka dunia ini akan menjadi panggung
orang-orang bisu. Kita tidak akan dapat mengatakan bahwa perempuan bernama
Azalia itu cantik. Karena Azalia adalah nama, cantik juga merupakan nama untuk
menjelaskan menarik dan sedap dipandangnya suatu benda atau seorang makhluk
bernama perempuan. Kita tidak akan dapat menyembut kasur ketika ingin tidur,
karena kasur juga sebuah nama.
Terakhir,
saya ingin membahas kembali apa yang di awal tulisan. Yakni berilah nama yang
baik kepada anak-anak kita. Karena nama tersebut akan menjadi harapan, doa dan
identitas bagi anak-anak kita semasa hidupnya.
Seandainya gak ada 'nama', maka mungkin aja setiap manusia menjadi seorang pujangga atau penyair. Karena biasanya, penyair dalam menyampaikan 1 kata, bisa berbaris-baris kalimat atau bahkan beberapa halaman.
ReplyDeleteContoh kasus,
Nama: Kasur
Karena gak ada nama, diterjemahkan menjadi: sebuah tempat, untuk tidur, bisa buat leyeh-leyeh, baca Buku, ngorok dan ngiler.
Jadinya rempong dah :))
Emang penyair kan kurang kerjaan, mau bilang 'lapar' aja pake merangkai kata-kata. Hahaha, padahal mah tinggal makan.
Lagian, wong bikin program computer aja pake 'nama' variabel. (ini agak pudar dari ingatan, disebutnya apa). Kalo enggak, mungkin programmer sekarang rambutnya selalu keriting. Saking pusingnya nulis nama variabel kayak penyair.
Mungkin Shakespeare dulu belum kenalan sama programmer *ngarang banget*
Deh ah!
Panjang..