“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya kami telah menyediakan pakaian
untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu…”[1]
Pakaian.
Semua tahu bahwa fungsi pakaian adalah untuk melindungi tubuh. Ketika musim
dingin di Eropa, orang-orang menggunakan baju dan mantel berlapis-lapis,
menggunakan syal, penutup kepala, hingga penyumbat telinga. Musim kemarau di
negara-negara Khatulistiwa disesuaikan para penikmatnya dengan bahan-bahan
pakaian yang tipis serta tidak gerah ketika dikenakan. Tentunya pakaian mereka
berbeda pula dengan manusia Timur Tengah yang akan lebih sering kita lihat
mereka berpakaian yang itu-itu saja; lelakinya menggunakan baju gamis hingga
mata kaki, begitupun perempuannya dengan ditambah kerudung dan lazimnya
dilengkapi dengan cadar. Kondisi alam memaksa mereka menyesuaikan diri dalam
hal berpakaian.
Selain
berfungsi melindungi tubuh sebagaimana yang dipaparkan di atas, pakaian
memiliki banyak fungsi lainnya. Seiring berkembangnya zaman, apakah pakaian
hanya menjadi pemenuhan kebutuhan primer sebagai pelindung diri semata? Sesuai
realita yang ada, jawabannya tentu tidak. Selalu ada pengembangan dan
modifikasi dari setiap pakaian yang digunakan orang-orang dari zaman ke zaman.
Tujuannya agar sedap dipandang. Pakaian menjadi bagian dari penampilan manusia
yang mengenakannya. Pakaian tidak akan lepas dari kehidupan umat manusia
sepanjang zaman, kecuali bila ada suatu wilayah yang memberlakukan tradisi
tidak berpakaian bagi penduduknya.[2]
Lalu,
sejatinya siapakah yang memopulerkan konsep berpakaian yang baik? Cukup
mengejutkan apabila kita membuka kitab suci agama masing-masing, karena di
dalamnya tertuang pelbagai perintah berpakaian. Kabar buruk bagi para agnostik
dan atheis, karena ajaran tata cara berpakaian adalah produk perintah dari
agama. Bagaimana agama memandang pakaian itu sendiri? Sebagian muslim sudah
familiar dengan perintah berpakaian demi menutup aurat beserta dalil-dalilnya.
Laki-laki wajib menutup auratnya setidaknya dari pusar hingga lutut, sedangkan
perempuan diwajibkan menutup seluruh tubuhnya, kecuali yang sering tampak,[3]
serta mengenakan kerudung hingga menutup dada. Pakaian seperti ini banyak
ditanggapi sinis oleh orang-orang Barat dan penganut paham kebaratan. Wajar,
karena mungkin mereka kurang mengimani agama yang mereka anut. Seorang pemuka
agama Yahudi, Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada
Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature,
ia menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu
mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh
muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja. Dalam bukunya tersebut ia
mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal: “Tidak
layak bagi anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup
kepala” dan “Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut istrinya
terlihat,” dan “Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan
membawa kemelaratan.”[4]
Alkitab
milik umat Kristiani secara jelas juga mengatur cara berpakaian yang benar.
Perempuan diwajibkan pula untuk berpakaian yang baik dengan menggunakan
kerudung.
“Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan
kepala yang tidak berkerudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan
perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi
kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi
perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah
ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia
menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan
kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi
perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena
perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan
harus mengenakan tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun
demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada
laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki,
demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal
dari Allah. Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah
dengan kepala tidak berkerudung?”[5]
Kita
akan tengok ajaran Hindu. Nyatanya, konsep pakaian mereka juga memerintahkan
perempuannya untuk berpakaian tertutup. “Ketika Brahma berpapasan, ketika
Brahma memilihkan anda seorang perempuan, kalian hendaknya menundukkan
pandangan, tidak boleh memandang. Anda harus menyembunyikan pergelangan anda,
dan tidak boleh memperlihatkan apa yang dipergelangan anda.”[6]
Dalam agama Budha, saya tidak menemukan referensi pasti tentang konsep berpakaian
ini. Tetapi setidaknya Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva) , yang dikenal
sebagai Buddha dengan 20 ajaran welas asih, juga digambarkan memakai pakaian
suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup
kepala.
Secara
kasar, dapat dikatakan bahwa Islam hanya memperbarui hukum yang telah ada.
Karena jika menilik terus sejarah peradaban dari masa ke masa, setiap peradaban
maju tidak pernah memberikan kesempatan bagi perempuan baik-baik untuk
berpakaian “ala kadarnya”. Sangat naif apabila menyatakan perintah berjilbab
bagi perempuan hanya adalah dalam Islam. Hukum berjibab tidaklah dimonopoli
oleh Islam semata. Baiklah, kita akan membahas lebih dalam konsep pakaian ini
dalam budaya Islam. Dalil-dalil dalam Al-Qur’an maupun Hadis, telah jelas
mengatur tata cara berpakaian untuk menutup aurat. Aurat secara bahasa berasal
dari kata ‘araa, dari kata tersebut muncul derivasi kata bentukan baru
dan makna baru pula. Bentuk ‘awira (menjadikan buta sebelah mata), ‘awwara
(menyimpangkan, membelokkan dan memalingkan), a’wara (tampak lahir atau
auratnya), al-‘awaar (cela atau aib), al-‘awwar (yang lemah,
penakut), al-‘aura’ (kata-kata dan perbuatan buruk, keji dan kotor),
sedangkan al-‘aurat sendiri adalah segala perkara yang terasa malu
apabila tampak. Jadi, Anda dapat mengambil kesimpulan; apabila para perempuan
dengan pede-nya menampakkan paha dan dadanya di hadapan publik, artinya
ia tidak punya malu.
Dalil-dalil
tentang perintah berpakaian, sekaligus memberikan konsep dan filosofi pakaian
dalam Islam. Ayat “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”[7]
Memberikan gambaran bahwasanya pakaian yang dikenakan dengan baik dan benar
akan memberikan proteksi lebih bagi penggunanya. Dalam hal ini disebutkan bahwa
berpakaian yang baik bagi perempuan beriman adalah dengan menutup seluruh tubuh
mereka. Dengan begitu, perempuan beriman lebih mudah dikenali dan akan jauh
lebih dihormati ketimbang perempuan yang membuka tubuhnya untuk dilihat orang
banyak. Namun, sekali lagi ini hanya perintah bagi perempuan beriman. Hanya
untuk perempuan beriman. Dan inilah bentuk Maha Penyayang-nya Allah kepada para
perempuan beriman.
Selanjutnya,
kita juga akan bertemu ayat Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kerudungnya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.[8]
Lagi-lagi memberikan himbauan khusus bagi perempuan beriman. Setelah sebelum
ayat tersebut hanya memberikan perintah “ala kadarnya” bagi para lelaki
beriman, perintah yang benar-benar memberikan perhatian lebih kepada perempuan
beriman dirilis oleh Allah dengan ayat yang cukup panjang. Menariknya adalah
ayat ini diakhiri dengan kalimat perintah: “Dan bertobatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Yang
secara jelas mengindikasikan bahwa pakaianmu menunjukkan ketaatanmu kepada
Tuhan. Apabila pakaianmu hanya ala kadarnya, minimalis, dan asal-asalan;
berarti itu kadar ketaatan kepada Tuhanmu yang juga ala kadarnya, minimalis,
dan asal-asalan. Maka dari itu, ayat ini hanyalah himbauan bagi mereka yang
beriman. Bagi yang tidak (ingin) beriman, silakan buat aturan pakaian sendiri,
dan silakan bangun surga sendiri.
Rasanya
cukup untuk saya akhiri bahasan pakaian ini. Namun topik ini akan saya antar
menuju penutup dengan membahas ayat “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Pakaian takwa disebutkan di sini, dan ia adalah sebaik-baik pakaian. Namun
bukan berarti kesimpulannya menjadi “Pakaian apapun tidak terlalu penting, yang
penting hatinya (taat kepada Allah)”. Ini menjadi kesimpulan yang salah
kuadrat! Justru pakaian itulah yang mengawali ketaatan kita kepada Allah. Bila
Anda bekerja, Anda harus menaati aturan tempat kerja Anda. Sebelum berangkat ke
kantor, Anda harus berpakaian yang rapi, bahkan mungkin harus mengenakan
seragam. Apakah mungkin Anda berangkat ke kantor tanpa berpakaian (rapi) terlebih
dahulu? Kemudian ketika bos Anda bertanya, Anda menjawab “yang penting
hatinya, Bos!”
Pakaian
akan memberikan gambaran diri Anda. Tidak mungkin dipungkiri; baik-tidaknya
Anda pada kesan pertama di mata orang dilihat dari cara Anda berpenampilan. Jadi,
konsep berpakaian dalam Islam justru lebih baik daripada konsep mode yang
berkembang sekarang. Pakaian dalam Islam, selain untuk melindungi tubuh dari cuaca yang
mengganggu kesehatan, juga agar meningkatkan derajat pemakainya di hadapan
publik, sebagai identitas diri, dan yang lebih penting adalah sebagai ukuran
ketaatan kepada-Nya. Siapa diri Anda, tergantung pakaian Anda.
[1] Al-A’raf
(7): 26
[2] Di Desa
Spielplatz, Hertfordshire, London, penduduk yang tidak bertelanjang bulat akan
dikucilkan.
[3] Menurut
Ibnu Katsir, yang sering tampak adalah wajah dan telapak tangan.
[4] Sherif
Abdel Azeem, Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen,
(Yogyakarta: Gama Media, 2001)
[5] Korintus
(11): 5-13.
[6] Rigveda
Book 8 Hymn 33 Verses 19.
[7] Al-Ahzab
(33): 59.
[8] An-Nuur
(24): 31.
Assalamu'alaikum.. Masya Allah bagus ka artikelnya, saya setuju dengan kata2 kakak ini, memang benar seorang perempuan beriman harus memakai jilbab yang baik menurut syariat Islam. Sarah pikir masih dibilang tak pantas seorang wanita tidak berkerudung tapi mereka akhlaknya baik, karena kunci utama perempuan masuk Syurga Allah adalah cara ia berpakaian. Kalau rambut masih keliatan walau sudah dikerudung sama aja bohong kan kak? miris melihat jaman sekarang ini kak. Semua mungkin sebenarnya memang kembali pada orang tersebut, tapi kita yang menilai malah sangat tidak wajar, malah melihatnya ga enak dipandang. Wassalam
ReplyDelete