https://kolomkiri.files.wordpress.com/2012/02/pemuda3.jpg
Sejujurnya, tulisan ini bukanlah
untuk menyambut momen Sumpah Pemuda yang dirayakan pada tanggal 28 Oktober itu.
Terus terang, saya pun hingga sekarang masih menyangsikan momen Sumpah Pemuda
sebagai momen yang luar biasa heroik. Bagaimana tidak, cita-cita yang
diangankan dalam Sumpah Pemuda hingga kini belum lagi tercapai. Namun, yang
patut diapresiasi adalah bagaimana sejarah tentang Sumpah Pemuda ini lahir. Momen ini ‘dicuri’ Soekarno untuk memberi peringatan keras kepada dalang gerakan
separatis yang mulai muncul menentang keutuhan Bangsa Indonesia. Apabila ditelusuri,
tidak ada dokumen otentik yang berbicara tentang Sumpah Pemuda. Berdasarkan
catatan dan dokumen sejarah diketahui bahwa hari Sumpah Pemuda yang diperingati
sebagai peristiwa nasional, merupakan suatu hasil rekontruksi dari sebuah Poetoesan
Congres. Ya, kita tidak akan menemukan dokumen otentik tentang Sumpah
Pemuda, melainkan yang akan kita temukan adalah dokumen Poetoesan Congres.
Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1954, Presiden Soekarno dan Muhammad Yamin[1]
membuka Kongres Bahasa Indonesia yang kedua di Medan. Pada saat itu, Soekarno
dan Yamin, sedang membangun simbol yang menjadi bagian dari susunan ideologi
sebuah bangsa dan negara, dimana pilihannya jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928
dan saat itu pula kata “Poetoesan Congres” dibelokkan menjadi “Sumpah Pemuda”.
Baiklah,
saya tidak akan berpanjang lebar lagi mengenai Sumpah Pemuda, karena bukan itu
bahasan inti dari tulisan ini. Tulisan ini dibuat karena kegelisahan melihat
pemuda hari ini yang tidak muda lagi. Tidak dapat dipungkiri lagi, pemuda zaman
ini kebanyakan dilenakan oleh gadget. Akibat dari ketidakmampuan mereka
mengoptimalkan fungsi gadget, yang terjadi adalah kehidupan yang tidak
produktif dikarenakan terlena oleh gadget. Apabila kehidupan selalu dimanjakan
dan difasilitasi, bukankah itu sama halnya dengan orang yang sedang dilanda
penyakit? Atau sama halnya dengan orang yang sudah tua renta? Mereka harus
dibantu dan difasilitasi untuk menunjang keberlangsungan –sisa- hidupnya. Maka sudah
waktunya para pemuda untuk pindah zona, kembali ke zona mudanya.
Menariknya,
peradaban dari zaman ke zaman hampir selalu diarsiteki oleh pemuda. Para nabi
diangkat dan berkarya dalam usia yang relatif muda, Napoleon Bonaparte memimpin
Prancis dalam usia muda, kemerdekaan dan kebangkitan Indonesia diinisiasi oleh
orang-orang muda, dan yang lebih penting lagi; Al-Qur’an dan Hadits seringkali
menyebut dan memuji para pemuda. Salah satu hadits yang difokuskan untuk
kemajuan pemuda adalah: “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang
telah mempunyai ba’ah[2],
maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkanpandangan
dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah
dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya.”[3]
Nah! Jelas sekali inilah hadits yang difokuskan untuk kemajuan pemuda.
Dus,
ada beberapa ayat yang menarik dan salah satunya pure menceritakan
tentang pemuda. Ini adalah ayat yang –seharusnya- sering dibaca –dan
seharusnya, bahkan harus sekali dihafal- oleh orang-orang yang selalu mengajak
membacanya setiap Hari Jumat di media-media sosial. Kami ceritakan kisah
mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah
pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka
petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu
mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali
tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah
mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”.[4]
Kisah
para pemuda yang diberi petunjuk, dikarenakan keteguhannya dalam beriman,
membenarkan yang benar, dan menyalahkan yang salah. Sehingga Allah subhanahu
wa ta’ala memberikan petunjuk bagi mereka dengan melakukan hal tak terduga
dalam keadaan terdesak. Inilah salah satu prinsip yang harus dipegang oleh para
pemuda; ketika ingin beriman, lakukan saja. Jangan terlalu lama berpikir apa
dampaknya. Para pemuda ini lari dari kejaran tentara Dikyanus, si penguasa yang
zalim dan meminta seluruh masyarakat untuk berlaku syirik. Beberapa orang di
antara tujuh pemuda tersebut adalah orang dalam istana. Karena kebathilan yang
jelas tidak cocok di hatinya, kemudian mereka lebih memilih membangkang dan
lari dari kejaran penguasa. Sebaliknya, ini juga prinsip yang harus dipegang
para pemuda; ketika timbul keinginan bermaksiat, maka baiknya kita berpikir
panjang dan menimbang-nimbang kiranya apa dampak yang akan kita terima apabila
kita melakukan maksiat tersebut.
Sejatinya,
apabila para pemuda sudah memegang dua prinsip tersebut, maka dapatlah kita
katakan cukup. Hal berikutnya yang perlu menjadi suplemen pemuda adalah menjadi
orang yang mandiri, kuat, dan terpercaya. Kita ingat ketika Nabi Musa diambil
jadi karyawan sekaligus menantu dari seseorang yang juga nabi. Hal in terjadi
diawali dengan putri Nabi Syu’ib yang kepincut karena kepekaan, kekuatan, dan
dedikasi Nabi Musa ‘alaihissalam. Sehingga Sang Gadis tidak ragu-ragu
melancarkan kode kepada ayahnya untuk menikahkan Nabi Musa dengannya dengan
dalih merekrutnya sebagai karyawan. “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang Ayah
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.[5] Ini
contoh nyata seorang pemuda yang mandiri, kuat jasmaninya, dan dapat dipercaya.
Sehingga siapapun tidak ragu untuk meminangnya; meminangnya menjadi pendamping
hidup, atau meminangnya menjadi pegawai terpercaya.
Satu
hal lagi, prinsip yang sepatutnya dipegang oleh pemuda adalah soal keberanian. Karena
pemuda, jangan menjadi tua. Masa muda adalah masanya bereksplorasi. Sebagaimana
halnya Nabi Dawud ‘alaihissalam yang berani maju menentang Jalut yang memiliki
besar tubuh berlipat-lipat kali dari tubuhnya sendiri. Semua pasukan Thalut
mencoba mengalahkan Jalut, namun gagal. Akhirnya Dawud yang ketika itu berusia
masih sangat muda, memberanikan diri untuk menentang Jalut. Awalnya, Thalut
menyangsikan kemampuan Dawud untuk melawan Jalut. Benar saja, selama dalam masa
peperangan, Dawud hanyalah menjadi pembawa makanan. Namun, apa boleh buat bagi
Thalut, tekad Dawud begitu kuat dan akhirnya dipersilakan Dawud untuk melawan
Jalut. Hanya bermodalkan ketapel berpeluru kerikil diiringi ucapan bismillah
yang mantap, voila! Kerikil melesat tepat mengenai bagian kepada Jalut. Jalut-pun
linglung dan harus rela roboh hanya karena batu kerikil. Pasukan Jalut pun lari
tunggang-langgang, dan pasukan Thalut bersorak kegirangan sembari
mengelu-elukan Dawud. “...dan (dalam peperangan itu) Dawud membunuh Jalut,
kemudian Allah memberikan kepada Dawud pemerintahan dan hikmah, (sesudah
meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.”[6]
Begitulah prinsipnya pemuda. Untuk berjuang menggapai sesuatu, jangan pernah
ragu untuk mencoba. Pastinya, jangan sampai melupakan Tuhan yang memberikan kekuatan
dan kesuksesan pada kita.
“Bangun
pemudi-pemuda Indonesia...” begitulah sepenggal lirik lagu wajib nasional kita.
Tetapi apakah kalimat tersebut hanya sekadar menjadi lagu yang semakin kesini
semakin tidak dihafal para pemuda Indonesia? Maka yang perlu dipertanyakan
adalah apakah pemuda Indonesia benar-benar menghayati Sumpah Pemuda yang
diperingati setiap 28 Oktober itu, ataukah hanya sebagai tanda ingin diakui
bahwa “Gue Nasionalis”. Toh orang yang nasionalis seharusnya mengetahui
sejarah Sumpah Pemuda yang sebenarnya. Kini, ikrar yang tertuang dalam Sumpah
Pemuda, apakah hanya akan menjadi jargon pembasah lisan saja?
Para
pemuda haruslah terus menjadi muda. Banyak berusaha, banyak belajar, banyak
berbuat, banyak berkarya, banyak berpikir, banyak menulis, banyak
bereksplorasi, dan banyak lagi yang harus dilakukan. Karena sebagaimana yang pernah
dipesankan oleh Hasan Al-Banna, “Ketahuilah, kewajiban kita lebih banyak
daripada waktu yang tersedia. Maka, bantulah saudaramu untuk menggunakan waktu
sebaik-baiknya, dan jika memiliki kepentingan atau tugas, tunaikanlah segera.”
Poin-poin
pesan di atas hanyalah sebagai pedoman agar kita menjadi pemuda yang selalu
muda. Bukan pemuda yang manja; dimanjakan orang tua, dimanjakan fasilitas,
dimanjakan lingkungan, dan manja-manja lainnya. Pemuda yang selalu bergerak
menuntaskan perubahan. Tentunya juga pemuda yang bermanfaat demi kemajuan
peradaban, bukan yang hanya menjadi daki peradaban. Pemuda seperti Ashabul
Kahfi yang memegang teguh keimanan, akan menjadi pemuda yang bermoral dan
selalu berada di depan untuk menumpas kejahatan serta menjunjung tinggi
kebenaran. Pemuda yang berprinsip seperti Nabi Musa, akan menjadi pemuda yang
bermanfaat bagi kemajuan peradaban, karena fisiknya kuat dan dapat dipercaya. Maka,
latihlah fisik kita, dan latihlah diri untuk selalu bersikap baik dimanapun
kita berada. Kalau dengan begitu, Nabi Musa bisa dipinang dan dinikahkan dengan
anak seorang nabi, barangkali kita –para lelaki- bisa dipinang dan dinikahkan
dengan anak Kiyai.