Ketika kaki terlampau jauh
melangkah. Ketika mulut terlampau lancang berkata-kata. Ketika tangan terlampau
kasar memukul yang lemah. Ketika hati terlampau kotor dan jauh dari-Nya. Ketika
pikiran terlampau jahat dalam berencana. Ketika niat terlampau buruk kadung
terlaksana. Maka pulanglah. Selalu ada jalan untuk pulang, sekalipun ia sekeji-kejinya
orang. Selalu ada jalan untuk pulang, bagi mereka yang tak ubahnya binatang
jalang. Selalu ada jalan untuk pulang, bagi mereka yang hatinya mulai gersang. Selalu
ada jalan untuk pulang, bagi mereka yang tak kunjung menang. Pulanglah.
Alkisah seorang budak berbadan kekar merindukan kemerdekaan. Kekar badan tidak
membuatnya hidup bahagia. Nestapa tiada akhir hidup keseharian si budak. Hingga
tiba hari itu, hari kemerdekaannya. Tuannya yang bengis, sedang meratapi
kekalahannya yang sangat telak. Kaumnya berperang melawan pasukan yang dipimpin
oleh putra daerahnya sendiri. Terlalu jumawa memulai perang, kaumnya justru
harus lari tunggang-langgang. Semua kerabatnya harus direlakan karena
ditakdirkan meregang nyawa di medan perang. Tuan si budak marah besar. Tibalah perang
selanjutnya. Rencana busuk tuannya dilancarkan dengan iming-iming merdeka bagi
si budak, apabila dapat membunuh dan mencabik-cabik jasad panglima musuh yang
kepalang tangguh; Hamzah Putra Abdul Muththalib. Momen yang ditunggu-tunggunya
datang jua. Dengan cermat, arahkan lembing andalannya tepat ke tubuh Hamzah. Tubuh
perkasa Hamzah tersungkur tak berdaya. Tanpa basa-basi, si budak menghampirinya
jenazahnya, dan melaksanakan tugas dari tuannya. Hari itu, si budak sudah
merdeka. Hilanglah status kehinaan yang melekat pada dirinya. Namun status
hanyalah status. Hatinya tetaplah belum merdeka.
Syahdan,
datanglah masa penaklukkan Makkah kota yang dimuliakan. Si budak yang kini
telah berstatus mantan budak berlari ke pantai untuk menjauh dari Rasulullah,
menitipkan pertanyaan kepada istrinya untuk disampaikan kepada Rasulullah -orang
yang pamannya telah ia bunuh dengan cara yang sangat sadis. “Wahai Rasul,
suamiku mempunyai dosa yang sangat besar, kalau ia masuk Islam dan bertaubat,
apakah suamiku di ampuni?” tanya sang istri kepada Rasulullah. Maka Rasul pun
menjawab: “Allah memaafkan semua yang terdahulu jika orang mau bertaubat”. Maka
istrinya pun menemui suaminya di pantai, menyampaikan jawaban Rasulullah. Belum
yakin, mantan budak itupun bertanya, “Tahukah Rasul bahwa kau adalah istriku?”
istrinya pun menjawab, “tidak ku sampaikan.”
“Katakanlah
kau adalah istriku. Mustahil aku diampuni!”
Maka
istrinya kembali lagi kepada Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, apakah betul
semua dosa akan di ampuni? Suamiku ketakutan.” Rasul menjawab, “Sudah
kusampaikan beberapa waktu yang lalu, Allah memaafkan apa-apa yang terdahulu.”
“Ya
Rasulullah, suamiku adalah Wahsyi yang telah membunuh pamanmu, merobek dadanya,
mengeluarkan jantungnya, mencungkil kedua matanya, dan memotong bibir, hidung
dan kedua telinganya”
Berubah
wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau terdiam dan tidak
menjawab, menunduk, kemudian Jibril datang membawa pesan dari Tuhannya: Katakanlah,
Wahai hamba-hambaku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri! Jangan berputus asa dari kasih sayang Allah, Sesungguhnya Allah
mengampuni semua dosa. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”[1]
Rasul
menyampaikan ayat tersebut kepada para Sahabat, dan kepada istri Wahsyi. Kemmudian
istrinya menyampaikan kepadanya. Datanglah Wahsyi masuk Islam, Rasulullah bertanya,
“Kau Wahsyi yang telah membunuh pamanku? Hamzah bin Abdul Muthalib.”
“Betul,
wahai Rasul, aku telah berbuat begini dan begitu...”
“Kumaafkan
kesalahanmu. Namun camkan satu hal, jangan perlihatkan wajahmu lagi di
hadapanku setelah ini.”
“Mengapa
wahai Rasulullah, bukankah kau sudah memaafkan aku?”
“Aku
sudah memaafkanmu, tetapi kalau aku lihat wajahmu aku terbayang wajah Hamzah yang
rusak dihancurkan olehmu saat itu. Maka janganlah wajahmu muncul di hadapanku
lagi.”
Remuk
redam hati Wahsyi mendengarnya. Hari-hari Wahsyi selalu dirundung gelisah. Hari-hari
yang tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ketika ia mengalami
kegalauan setelah statusnya menjadi merdeka karena membunuh Hamzah dengan keji.
Hingga tibalah hari itu. Hari dimana Wahsyi melakukan penebusan kesalahan. Ia berhasil
melempar lembingnya menghunjam tubuh Musailamah si nabi palsu. Tentramlah hati
Wahsyi, ketika ia menemukan jalan pulang.
Wahsyi,
diri yang merasa hina, kotor tak terampuni. Nyatanya membuktikan bahwa Allah
memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ketika sahabat lain menikmati majelis
ilmu Rasulullah, ia harus rela mencuri dengar dari kejauhan. Ketika sahabat
lain mendapat kehormatan mendampingi Rasulullah, ia harus rela memandangnya
dengan tatapan nanar. Ketika siapapun mendapatkan kesejukan bersanding dengan
Rasulullah, ia harus rela menerima nasib dijauhi oleh Rasulullah. Wahsyi
mendapatkan anugerah surga Allah dengan cara yang lain. Begitulah cinta Allah
pada hamba-Nya, hingga terkadang hamba-Nya terlalu bodoh untuk sekadar
mensyukuri limpahan nikmat dan kasih-Nya. Wahsyi hanya butuh jalan pulang. Pulang
ke dalam dekapan kasih sayang-Nya. Dan Wahsyi menemukannya. Wahsyi pulang,
Wahsyi tenggelam dalam kenikmatan menatap wajah-Nya.
Itulah
jalan pulang, jalan yang menentramkanmu setelah lelah meniti perjalanan
panjang. Itulah jalan pulang, jalan yang menghiburmu setelah lelah mengarungi
lautan luas terbentang. Itulah jalan pulang, jalan yang membahagiakanmu setelah
lelah mendaki puncak yang jauh sejauh mata memandang. Itulah jalan pulang. Selalu
ada jalan untuk pulang, bagi mereka yang tak ubahnya binatang jalang. Selalu ada
jalan untuk pulang, bagi mereka yang hatinya mulai gersang. Selalu ada jalan
untuk pulang, bagi mereka yang tak kunjung menang. Pulanglah. Pulanglah ke
dalam dekapan Tuhanmu.
"Selalu ada jalan untuk pulang, bagi mereka yang hatinya mulai gersang. Selalu ada jalan untuk pulang, bagi mereka yang tak kunjung menang. Pulanglah. Pulanglah ke dalam dekapan Tuhanmu."
ReplyDeleteYah, selalu ada jalan untuk pulang....
ReplyDelete