Film Everest dan 5 CM, berisi topik yang identik; yakni tentang mendaki gunung. Namun, konten dan hikmah yang dapat diambil dari kedua film tersebut, sangatlah jauh berbeda. Bak langit dan bumi, pendaki gunung yang baik dimanapun mereka berada akan memberikan apresiasi setinggi-tingginya untuk Everest, dan sumpah serapah kepada 5 CM.
Film
Everest berangkat dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 1996. Dimana isu
komersialisasi gunung mulai booming. Lebih dari sedekade lalu, buku berjudul
Into Thin Air diterbitkan. Buku ini ditulis oleh Jon Krakauer, yang juga
terlibat dalam pendakian tahun 1996 tersebut. Beberapa bagian film ini diangkat
dari buku tersebut, dan juga menambahkan referensi lainnya, termasuk buku
bantahannya dari Anatoli Boukreev, The Climb. Menjadi hal yang sangat baik,
karena film ini mencoba untuk obyektif dalam memandang tragedi 1996 ini.
Akibat
tragedi tersebut, tahun 1996 menjadi tahun kelam dalam sejarah pendakian
Everest. Di musim pendakian, beberapa rombongan pendaki seakan berlomba ingin
menggapai puncak. Sebut saja kelompok yang dipimpin Rob Hall, Adventures
Consultant. Selain itu, ada pula Scott Fischer yang memimpin grup Mountain
Madness. Hingga pendaki dari berbagai negara seperti Taiwan dan Afrika Selatan,
semuanya berlomba untuk menggapai puncak tertinggi di dunia. Keramaian
rombongan inilah yang mengantarkan penonton untuk menikmati film ini. Warna
lain dari film ini adalah beberapa infrastruktur yang terlupa untuk dipersiapkan,
badai ganas yang tiba-tiba datang dan banyaknya korban saat pendakian,
terbanyak dalam setahun di dekade tersebut.
Film
ini memberikan banyak sekali pelajaran tentang mendaki gunung; teknik
pendakian, teknik survival, teknik persiapan sampai manajemen pendakian. Membuat
penonton yang cerdas akan lebih banyak mengambil pelajaran, ketimbang hanya
menikmati keindahan Everest yang dilapisi salju putih dan membuat pendaki
manapun ngiler untuk mendakinya. Salah satu kutipan yang saya catat
dalam ingatan saya, dan masih terngiang hingga saat ini adalah ketika Scott
Ficsher berkata (kurang-lebih), “It’s not about the altitude, but the
attitude.”[1]
Ya, kadang kita berpikir bahwa mendaki gunung hanyalah untuk mencapai puncak,
berfoto-foto, berteriak-teriak histeris, kemudian menulis kata-kata norak yang
kemudian dipublikasikan ke khalayak lewat akun media sosial. Apa sih
faedahnya?
Hal
lain yang memberikan warna bagi Everest adalah adanya 2 ego besar. Ego Doug
Hansen yang bersikukuh mencapai puncak Everest pada tahun tersebut, walaupun
dirinya sudah terlambat 2 jam dari rencana awal untuk menyentuh puncak. Juga ego
Scott Fischer yang memaksakan untuk turut menggapai puncak di tanggal 10 Mei
1996, tanggal yang akan selalu disebut dalam film ini. Kedua ego ini coba
dikompromikan oleh Rob Hall yang menjadi tokoh utama dalam film ini. Namun apa
daya, Rob pun gagal meredam ego tersebut, dan justru terbawa arus dalam yang
mengantarkan dirinya menuju tragedi.
Lain
ladang lain belalang, lain Everest lain pula 5 CM. Film 5 CM sangat menonjolkan
keindahan gunung. Penonton sangat terlena dengan keasyikan dan kemudahan
mendaki Semeru yang ditampilkan secara visual oleh film 5 CM. Entah isi
novelnya seperti apa, karena jujur saja, saya belum pernah membaca novelnya.
Semudah itukah naik gunung? Hanya dengan persiapan beberapa hari, mendaki
gunung dengan perlengkapan yang tidak ditampilkan sama sekali penggunaan dan
kegunaannya, hingga adegan impossible ketika salah seorang tokoh tertimpa
batu runtuhan puncak Gunung Semeru. Dan... dia masih hidup?!
How impossible! Baiklah, hidup-mati adalah urusan Tuhan. Tetapi, dia
sehat-sehat saja dan melanjutkan perjalan hingga puncuk. Kemudian berenang di
danau yang seharusnya tidak boleh dicemplungi manusia. Saya jadi semakin miris
ketika belakangan, kalimat geram terlontar dari lisan kawan saya, “Damn!
Bohong banget tuh! Temen gua mati dengan kejadian persis kaya gitu!”
Dus,
dampak yang diberikan oleh film 5 CM sangat luar biasa. Luar biasa buruknya.
Pendaki-pendaki yang masih culun dengan jumawanya berbondong-bondong ingin naik
Semeru. Bahkan yang belum pernah mendaki gunung pun jadi menganggap remeh
kegiatan mendaki gunung, sebagai kegiatan yang mudah, mengasyikkan dan buat
gaya-gayaan. Lihatlah Semeru hari ini, layaknya pasar malam yang dipenuhi para
pendaki dari berbagai daerah. Antrean yang mengular dan sampah menumpuk di tiap
sudutnya. Padahal kenyataannya, seperti yang disebutkan oleh Anatoli Boukreev
dan ditampilkan dalam film tersebut, “Selalu ada kompetisi di antara
orang-orang dan gunung, gununglah yang selalu menjadi pemenang”. Kita tidak
akan pernah menang melawan alam, melawan
gunung. Karena merekalah yang akan menang. Memang kita berhasil mencapai puncak
gunung. Tapi, berapa banyak pengorbanan yang kita lakukan untuk mencapai puncak
makhluk diam itu? Uang, tenaga, pikiran, dan ego yang harus kita gadaikan untuk
sekadar berfoto-foto di pucuknya.
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, bahwa mendaki gunung adalah bukan soal
ketinggian, namun soal sikap. Sikap kita terhadap alam yang harus selalu
dijunjung tinggi. Jangan mengotori alam, jangan sakiti alam. Karena merekalah
sahabat kita, untuk menunjang kehidupan kita. Apabila kita menyakiti alam, maka
alam akan balik menikam kita. Contoh yang paling jelas adalah hari ini, dimana
kabut asap yang semakin pekat diakibatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab dalam pembakaran hutan. Hingga kini, siapapun yang melihat beritanya,
hanya menganggap sebagai bencana biasa yang sewaktu-waktu bisa saja datang.
Termasuk pemerintah kita yang entah dimana rimbanya seolah tidak ada usaha
untuk menanggulanginya. Setelah menganggap remeh banjir Jakarta yang nyatanya
tidak bisa diatasi juga, pemegang pucuk pimpinan RI kini dihadapkan dengan asap
yang entah kapan akan ditanggulangi.
Akhirnya,
begitulah pelajaran yang akan kita dapatkan dari dua film bertema identik
tersebut. Pelajaran bagaimana memaknai pendakian dengan benar dan penuh
khidmat. Jadikanlah pendakian sebagai penempa diri, dan bentuk rasa syukur atas
keindahan ciptaan Tuhan. Bukan malah menzalimi ciptaan-Nya. Maka
ceritakanlah agar mereka berpikir!
Nice, Zak,,
ReplyDeleteNice, Zak,,
ReplyDeleteAlhamdulillah dapat sedikit inspirasi baca ini proposal thesis pun kelar (karena judul proposalnya dari film Everest), syukron
ReplyDelete