http://www.keepcalm-o-matic.co.uk/p/ibu-malaikat-tak-bersayap/
“Ya wajar kalau banyak salah, kita
kan manusia, bukan malaikat!”
Beberapa kali, bahkan sering kita dengarkan ada ungkapan sejenis seperti di atas. Pemakluman kesalahan karena diri yang hanya berkapasitas sebagai manusia, tidak sempurna dan banyak kekurangan. Hal ini diperkuat dengan bunyi pepatah Arab, “Manusia tempat salah dan lupa” juga dengan hadis, “Setiap anak Adam adalah sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.”[1] Sedangkan malaikat, ia jauh berbeda dengan manusia.
Beberapa kali, bahkan sering kita dengarkan ada ungkapan sejenis seperti di atas. Pemakluman kesalahan karena diri yang hanya berkapasitas sebagai manusia, tidak sempurna dan banyak kekurangan. Hal ini diperkuat dengan bunyi pepatah Arab, “Manusia tempat salah dan lupa” juga dengan hadis, “Setiap anak Adam adalah sering berbuat salah. Dan, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.”[1] Sedangkan malaikat, ia jauh berbeda dengan manusia.
Penggunaan
kata malaikat dalam bahasa Indonesia biasanya dianggap berbentuk tunggal, sama
dengan kata ulama. Dalam bahasa Arab–dari mana kata-kata itu berasal–keduanya
merupakan bentuk jamak dari kata malak (ملك) untuk malaikat. Ada ulama yang berpendapat bahwa kata malak,
terambil dari kata alaka (ألك) malaikah (ملكة) yang berarti mengutus atau perutusan/risalah. Adapun
karakternya adalah suci dari sifat-sifat manusia dan jin, selalu bertasbih
kepada Allah, selalu takut kepada Allah, tidak pernah bermaksiat, tidak makan
dan minum, dan yang lebih membedakannya dari manusia adalah malaikat diciptakan
dari cahaya, sedangkan manusia diciptakan dari tanah. Dari beberapa
sifat-sifatnya yang terlihat sempurna itu, sehingga seringkali kita mengatakan
bahwa kita bukan makhluk sempurna seperti malaikat. Padahal, seharusnya tidak
begitu.
Manusia,
Allah ciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Bahkan bila dibandingkan
dengan malaikat sekalipun. Satu ayat familiar akan menjadi pendukung bahasan
kita kali ini, “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya.”[2]
Manusia telah diciptakan dalam bentuk terbaik. Bentuk terbaik Ciptaan Allah,
termanifestasi dalam diri manusia. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”[3]
Manusia memiliki segala kesempurnaan ciptaan Allah ketimbang makhluk yang lain.
Manusia
memiliki nafsu, sedangkan malaikat tidak. Manusia memiliki akal yang dinamis,
sedangkan malaikat hanya memiliki akal yang statis. Manusia berjenis kelamin,
sedangkan malaikat tidak. Dan yang lebih penting, manusia bisa bercanda, dan
malaikat tidak bisa bercanda. Seharusnya ini menjadi pertanda bahwasanya kita
sebagai makhluk bernama manusia jauh lebih sempurna ketimbang malaikat.
Masalahnya hanya ada pada satu hal, yakni potensi.
Potensi
dalam definisinya adalah suatu hal yang dapat dikembangkan. Manusia, memiliki
potensi, karena manusia memiliki nafsu. Inilah salah satu di antara
keistimewaan manusia ketimbang makhluk lainnya. Hewan, dia tidak diberikan akal
yang dinamis seperti manusia, sehingga nafsunya selalu lebih di depan ketimbang
pikirannya. Malaikat, tidak diberikan nafsu oleh Allah, sehingga orientasi
hidupnya hanyalah mengabdi kepada Sang Pencipta. Sedangkan manusia, diberikan
nafsu oleh Allah. Sehingga dengan nafsu tersebut, manusia sendirilah yang
menentukan, dia manusia sungguhan atau bukan. Ketika manusia mengedepankan hawa
nafsunya, maka ia akan lebih hina daripada hewan. Oleh sebab itu, Allah
seringkali menjadikan hewan sebagai perumpaan manusia yang mengedepankan hawa
nafsu dan menafikan akal serta hatinya. Tersebutlah laba-laba sebagai analogi
manusia yang lemah iman, anjing sebagai analogi orang yang ngeyel apabila
diajak ke jalan yang benar, keledai sebagai analogi manusia yang tidak paham
akan kitab sucinya sendiri, semut sebagai analogi pasukan yang patuh terhadap
komando atasan, kuda sebagai perwujudan siap-siaga, hingga binatang ternak
–ingat, babi juga binatang ternak- sebagai analogi manusia yang tidak
menggunakan hati, mata, dan telinganya di jalan yang benar.
Potensi
yang dimunculkan oleh nafsu inilah yang harus dikontrol oleh manusia, dan
sungguh Allah-pun telah mewanti-wanti agar manusia tidak teledor terhadap
potensi tersebut. “Maka dia mengilhamkan kepada jiwa (jalan) kejahatan dan
ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi
orang yang mengotorinya.”[4]
Ayat tersebut sebagai jawaban atas ayat, “sesungguhnya nafsu itu selalu
mendorong kepada keburukan, kecuali yang dirahmati oleh Tuhanku.”[5]
Malaikat dan hewan, tidak diberikan kesempatan untuk memilih seperti itu.
Hidup mereka statis dan tidak berwarna. Begitu-begitu saja. Maka inilah satu
dari sekian banyak kelebihan manusia ketimbang makhluk lainnya. Manusia diberi
pilihan dalam hidupnya. Maka tinggal manusia ingin memilih yang mana; karena
potensinya bisa menjadi lebih baik daripada malaikat, atau lebih buruk daripada
binatang.
Manusia
adalah makhluk yang sempurna. Sesungguhnya Allah telah melebihkan manusia di
atas semua makhluk, tetapi manusia yang seringkali lupa bahwa Allah telah
meninggikan mereka. Malaikat adalah perwujudan ketaatan tanpa cela, bukan
perwujudan kesempurnaan makhluk. Mereka jelas taat kepada Allah, karena Allah
tidak memberikan mereka nafsu dan akal yang dinamis. Sepatutnya manusia
banyak-banyak bersyukur atas itu semua. Kita bisa merasakan nikmatnya minum
kopi, kita bisa merasakan lezatnya makan pempek, dan juga kita bisa menilai
seseorang tampan atau cantik. Itulah karunia Allah kepada manusia. Bersyukurlah
dengan banyak-banyak beribadah dan bertobat kepadanya. Maksiat, adalah wujud
dari pembangkangan terhadap-Nya, dan tobat adalah jalan kembali kepada-Nya.
Semua manusia, pasti pernah bermaksiat, bahkan seorang nabi pun tak
memungkirinya. “(Yusuf berkata) Dan aku tidak menyatakan diriku bebas (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu selalu mendorong kepada keburukan.”[6]
Manusia
paling sanggup mengemban amanah Allah, dan juga paling sanggup untuk lari dari
amanah Allah. Allah memberi amanah khalifah di muka bumi pada manusia di
hadapan para malaikat untuk menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang jauh
lebih baik daripada malikat. Bahkan ketika Adam ‘alahissalam diminta
untuk menyebutkan nama-nama benda, malaikat pun bungkam dan malu kepada Allah.
Bahkan amanah Allah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Mereka
semua tidak ada yang sanggup, dan hanya manusia yang menyanggupinya. “Sesungguhnya
Kami telan Menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi
semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak mampu
melaksanakannya, lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh, manusia
sangat zalim dan sangat bodoh, sehingga Allah akan mengazab orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan, orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan; dan Allah
akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha
Pengampun, dan Maha Penyayang.”[7]
Hidup
kita sebagai manusia, hanya memilih satu di antara dua pilihan; menjadi lebih
baik daripada malaikat, atau lebih hina daripada binatang. Ketika kita berbuat
maksiat, maka bertobatlah. Bukan malah berdalih, “Aku hanya manusia, bukan
malaikat”. Karena manusia sejatinya lebih baik dari malaikat, berarti ketika
manusia berdalih seperti itu, mereka sedang mencoba menjadi lebih hina daripada
binatang.
Biasanya kalau di kaskus. Pertamax gan :D
ReplyDeleteBisakah beri pendapat anda definisi nafsu yang dirahmati oleh Allah ta'ala. Karena kita biasanya manusia sering salah menafsirkan nafsu yang dtgnya dri Allah atau dari bisikan syaitan
ReplyDeleteada 3 jenis nafsu:
Delete1. Nafsu amarah
Yaitu jiwa yang masih cenderung kepada kesenangan-kesenangan yang rendah, yaitu kesenangan yang bersifat duniawi. Dalilnya sudah disebutkan di atas (QS. Yusuf: 53)
2. Nafsu Lawwamah
Yaitu jiwa yang sudah sadar dan mampu melihat kekurangan-kekurangan diri sendiri, dengan kesadaran itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan rendah dan selalu berupaya melakukan sesuatu yang mengantarkan kebahagian yang bernilai tinggi. Dalilnya dalam QS. Al-Qiyamah: 2
Nafsu Mutmainnah
Yakni jiwa tenang, tentram, karena nafsu ini tergolong tahap tertinggi, nafsu yang sempurna berada dalam kebenaran dan kebajikan, itulah nafsu yang dipanggil dan dirahmati oleh Allah SWT, Sebagaimana firman Allah:
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. (QS. Al - Fajr : 27-28).
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSyukron akhi atas penjelasannya
ReplyDelete