Kalimat
di atas adalah salah di antara sekian kalimat yang membicarakan masalah
kepekaan. Ya, biasanya kaum Adam yang menjadi kambing hitam soal peka. Peka
dalam bahasa Indonesia berarti “mudah merasa”. Maka dari itu wajar apabila
keluhan banyak perempuan tentang lelakinya adalah karena tidak peka. Karena
mayoritas laki-laki lebih mengedepankan logika, ketimbang mayoritas perempuan
yang lebih mengedepankan perasaan. Mereka berbeda.
Bahasan
kali ini adalah tentang kita sebagai manusia yang diwajibkan peka. Mengapa
wajib? Jelas saja, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam
adalah orang yang ma’shum[1]
namun sesekali ditegur oleh Allah akibat ketidakpekaannya. Ayat ini menjadi
contoh yang paling kentara, “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling,
karena seorang buta telah datang kepadanya.”[2]
Allah menegur Rasulullah akibat sikap acuhnya kepada Abdullah bin Ummi Maktum,
seorang sahabat Rasulullah yang buta. Kejadiannya ketika itu di Kota Mekkah.
Rasulullah yang disibukkan dengan pembicaraan bersama para pembesar Quraisy
sekaliber Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal, al-Abbas bin Abdul
Muthallib, dan Umayyah bin Khalaf.[3]
Sedang serius-seriusnya Rasul berdiplomasi agar mereka tertarik masuk Islam,
datanglah Ibnu Ummi Maktum sembari berkata, “Wahai Rasulullah, bacakan dan
ajarkanlah apa yang telah Allah ajarkan kepadamu!” Ibnu Ummi Maktum
mengulang kata-katanya, sehingga Rasul merasa terganggu dan memalingkan mukanya
seraya enggan menjawab permintaan Ibnu Ummi Maktum. Setelah selesai berdialog
dengan para pemuka Quraisy, Rasul pun pulang. Sebelum tiba di rumahnya, masih
dalam perjalanan, Rasulullah mendapat wahyu dari Allah yang isinya berupa
teguran tersebut. Ketidakpekaan dapat saja berbuntut panjang. Rasulullah saja
sampai bisa ditegur langsung oleh Allah akibat ketidakpekaannya.
Sebaliknya,
kepekaan seringkali dipuji oleh Allah. Hal ini dapat kita cermati dari kisah
Dzulqarnain yang dapat memberikan solusi untuk sebuah permasalahan dalam
masyarakat. Demikian halnya Nabi Musa alaihissalam yang kepekaannya
berhasil didaulat menjadi menantu seorang Nabi. Dan momen tersebut
menghantarkan Nabi Musa ke gerbang pengangkatan dirinya sebagai nabi dan rasul.
Kepekaan seorang Isaac Newton berhasil membuat namanya melambung tinggi hingga
sekarang. Kisah masyhurnya, Isaac Newton melihat apel yang jatuh dari pohonnya,
kemudian entah bagaimana caranya ia langsung menggagas tentang gravitasi bumi. Kepekaan
membawa kita pada realita kehidupan.
Menjadi
manusia yang peka adalah suatu keharusan. Karena kriteria pemimpin pun harus
peka terhadap lingkungan dan bawahannya. Tidaklah mungkin seorang pemimpin
dapat dikatakan baik apabila pemimpin tersebut tidak peka terhadap permasalahan
yang ada di sekitarnya, apalagi terhadap keluhan bawahannya. Seperti yang
terjadi sekarang. Pemimpin kita mungkin rajin blusukan, namun sayangnya tidak
peka terhadap permasalahan yang sebenarnya terjadi berlarut-larut di negeri
ini. Seorang kepala rumah tangga pun dituntut peka terhadap apa yang terjadi di
dalam rumah tangganya. Sehingga permasalahan rumah tangga akan dapat
terselesaikan dengan baik. Karena kepekaan akan memberikan kepedulian. Kepedulian
yang memberikan kebahagiaan kepada lingkungan sekitar.
Kepekaan,
adalah juga elemen terpenting bagi kita untuk berdakwah. Seorang dai harus peka
terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Sehingga dakwahnya tepat sasaran dan
tepat guna. Karena mengatasi problematika yang terjadi di tengah umat, haruslah
diawali dengan insting kepekaan seorang dai. Dai yang kurang peka, akan alpa
terhadap problematika yang terjadi. Hal ini mengakibatkan problematika umat
yang terbengkalai. Kepekaan seperti Dzulqarnain-lah yang secara nyata dapat
memberikan solusi bagi problematika umat yang ada. Ketidakpekaan seorang dai
akan berujung masalah. Karena kepekaan dibutuhkan juga untuk menjaga perasaan
antar-sesama dai. Karena terkadang kita tidak menyadari apa yang kita lakukan
justru menyakiti perasaan orang lain.
Dus, hanya satu topik inilah yang
diangkat dalam bahasan kali ini; tentang kepekaan. Banyak alasan bagi kita
untuk menjadi manusia peka. Dan banyak alasan bagi kita untuk menghindar dari
menjadi manusia pekak.[4] Manusia
peka, akhir ceritanya seperti Nabi Nuh ‘alaihissalam, yang berhasil
selamat dan menyelamatkan umatnya dari terjangan banjir besar. Sedangkan kaumnya
yang pekak terhadap dakwah Nabi Nuh, harus menerima kenyataan menjadi manusia
terlaknat dan terombang-ambing dalam banjir besar yang Allah jadikan azab untuk
mereka. Mulai hari ini, cobalah untuk lebih peka. Dan kamu harus peka terhadap
perasaanku.
keren bang
ReplyDelete