“InsyaAllah-nya
InsyaAllah mana nih? InsyaAllah Indonesia atau InsyaAllah beneran?”
Mengernyitkan
dahi, berpikir keras, dan gregetan. Itu beberapa reaksi spontan saya ketika
mendengar ucapan seperti di atas. Ya, apa bedanya InsyaAllah di Indonesia, di
Malaysia atau di Arab Saudi? Nyatanya, orang Indonesia memang mempunyai PR
besar ketika berjanji dan datang tepat waktu. Ketika mereka bersepakat akan
suatu hal, dan mereka enggan berjanji karena ragu, maka InsyaAllah menjadi
jurus andalan mereka. Ya, InsyaAllah deh!
Ada
lagi kasus yang lebih lucu. Ketika saya mengajar di kelas, atau bertanya
tentang suatu hal yang kejadiannya sudah lewat, dijawab juga dengan “InsyaAllah”.
Contohnya begini: “Bagaimana, apakah semuanya sudah paham terhadap apa yang
saya jelaskan?” Beberapa menjawab, “InsyaAllah, Mas!”. Kedengarannya memang
lazim, namun sebenarnya jawaban itu sangat lucu. Dimana letak kelucuannya, akan
kita bahas di belakang.
Seharusnya
tidak boleh ada lagi ungkapan seperti kalimat pembuka topik bahasan ini. Karena
kata InsyaAllah bukanlah mainan, ataupun menjadi legitimasi untuk melepaskan
tanggung jawab terhadap janji kita. Patutlah kita ketahui bahwasanya kata
InsyaAllah ini maknanya sangat agung dan sangat sakral. Maka tidaklah pantas
menjadi mainan atau sekadar menjadi pemanis janji-janji. Ada beberapa hal yang
akan membuat kita lebih berhati-hati dalam menggunakan kata InsyaAllah, dan ini
pun menjadi peringatan bagi saya pribadi.
Kata
InsyaAllah, telah sangat jelas disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku
akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut); 'Insya Allah'.”[1]
Asbabun Nuzulnya, sebagaimana yang telah masyhur diceritakan, adalah ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dijadikan bahan fit and
proper test oleh orang Yahudi. Karena ingin memastikan apakah Muhammad
memang benar seorang nabi atau bukan. Suatu hari, kaum Quraisy mengutus
an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu'ith menemui seorang pendeta Yahudi
di Madinah untuk menanyakan kenabian Muhammad. Lalu, kedua utusan itu
menceritakan segala hal yang berkaitan dengan sikap, perkataan, dan perbuatan
Muhammad. Lalu, pendeta Yahudi berkata kepada mereka berdua, “Tanyakanlah
kepada Muhammad akan tiga hal. Jika dapat menjawabnya, ia memang benar nabi
yang diutus. Akan tetapi, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang yang
mengaku sebagai Nabi. Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu
yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang
seorang pengembara yang sampai ke timur dan barat serta apa yang terjadi
padanya. Ketiga, tanyakan pula kepadanya tentang ruh.”
Pulanglah
utusan itu kepada kaum Quraisy. Lalu, mereka bergegas menemui Rasulullah dan
menanyakan ketiga persoalan tersebut di atas. Dengan pede-nya, Rasulullah
bersabda, “Aku akan menjawab pertanyaan kalian esok hari.” Rasulullah
SAW menunggu-nunggu wahyu sampai 15 malam, namun wahyu tak kunjung turun.
Orang-orang Makkah mulai mencemooh dan Rasulullah menjadi gundah sekaligus dan
malu karena tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy. Kemudian,
datanglah Jibril membawa wahyu QS. Al-Kahfi:23-24 yang menegur Rasul karena
memastikan sesuatu yang belum terjadi tanpa mengucapkan “InsyaAllah”. Jibril
sekaligus menyampaikan wahyu tentang pertanyaan titipan pendeta Yahudi
tersebut. Yakni tentang pemuda-pemuda yang bepergian (Ashabul Kahfi) (18:9-26);
seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (18:83-101); dan perkara ruh (17:85). Ini
perkara pertama untuk mengubah cara pandang kita terhadap kesakralan
kata InsyaAllah. Kata InsyaAllah harus kita gunakan untuk berjanji, atau
memastikan suatu hal yang nanti terjadi, bukan yang sudah terjadi. Maka dialog
yang tadi --“Bagaimana, apakah semuanya sudah paham terhadap apa yang saya
jelaskan?” Beberapa menjawab, “InsyaAllah, Mas!”—itu menjadi lucu, karena
jawaban tersebut menandakan bahwa si penjawab belum paham. Karena InsyaAllah
digunakan untuk suatu hal yang belum terjadi. Apabila kita ditanya, “Sudah
makan belum?” Sepanjang kita belum pikun, kita pasti akan menjawab saklek, “sudah”
atau “belum”, tidak mungkin “InsyaAllah sudah”.
Perkara
kedua, adalah bahwasanya kata InsyaAllah bukanlah hanya disyariatkan
kepada Nabi Muhammad dan para umatnya saja. Umat-umat terdahulu juga
menggunakan kata InsyaAllah agar mereka dimudahkan dalam menjalankan urusan. Artinya,
InsyaAllah juga sudah membudaya di zaman para nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Kita dapat melihatnya dalam QS. Al-Baqarah: 67-71,
tentang orang-orang Bani Israil yang ngeyel ketika diperintah untuk menyembelih
sapi betina. Pada ayat ke-70, diterangkan kengeyelan mereka dengan meminta
penjelasan untuk kesekian kalinya tentang sapi betina. Namun, kali ini mereka
mengatakan InsyaAllah sebagai “penjamin” agar Nabi Musa tetap menjawab. “Mohonkanlah
kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat
sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan
sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk.”[2]
Kemudian barulah mereka melaksanakan perintah tersebut, dan ini menunjukkan
bahwa InsyaAllah bermakna sebagai kepastian akan sebuah janji.
Selain
itu, ada perkara ketiga yang akan mengubah cara pandang negatif
masyarakat terhadap InsyaAllah. Ternyata Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mendapat
teguran yang identik dengan apa yang didapat oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Sebagaimana dalam hadis shahih ini, “Sulaiman bin Dawud
berkata, ‘Sungguh aku akan menggilir sembilan puluh istriku pada malam ini,
masing-masing akan melahirkan satu pejuang yang akan berjuang di jalan Allah.’
Lalu sahabatnya berkata, ‘Ucapkan Insya Allah!’ tetapi beliau tidak
mengucapkannya, akhirnya dia menggauli semua isterinya itu dan tidak satu orang
pun dari mereka hamil kecuali satu isteri saja yang melahirkan anak dengan
wujud setengah manusia. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya,
seandainya dia mengucapkan, ‘Insya Allah‘ niscaya mereka semua akan (melahirkan)
para pejuang yang berjuang di jalan Allah.”[3]
Ternyata kata InsyaAllah memang menjadi kunci pertolongan Allah azza wa
jalla. Hadis shahih lainnya, menjadi dalil dari perkara ketiga ini. Yakni tentang
Ya’juj dan Ma’juj yang menjadi pertanda datangnya hari kiamat. “Sesungguhnya
Ya’juj dan Ma’juj membongkarnya setiap hari, sampai ketika mereka hampir
melihat cahaya matahari. Pemimpin mereka berkata, “Kita pulang, dan kita
teruskan esok hari. Lalu Allah mengembalikan (tembok)nya lebih kuat dari
sebelumnya. Ketika masa mereka telah tiba dan Allah ingin mengeluarkan mereka
kepada manusia, mereka menggali, ketika mereka hampir melihat cahaya matahari,
pemimpin mereka berkata, “Kita pulang, kita teruskan besok insya Allah”. Mereka
mengucapkan insya Allah. Mereka kembali ke tempat mereka menggali, mereka
mendapatkan galian seperti kemarin (sudah berlubang). Akhirnya mereka berhasil
menggali dan keluar kepada manusia.”[4]
Perkara
keempat atau terakhir dalam topik bahasan kali ini adalah tentang
seorang pemilik kebun yang sesumbar akan mendapatkan panen yang baik. “Sesungguhnya
Kami telah menguji mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mennguji
pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh
akan memetik (hasil)-nya di pagi hari, tetapi mereka tidak menyisihkan (dengan
mengucapkan “InsyaAllah”). Lalu kebun itu ditimpa bencana yang datang dari
Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam
yang gelap gulita.”[5]
Dalam ayat ke-18 dengan lafaz “وَلَا يَسْتَثْنُونَ”diterjemahkan
oleh Al-Qur’an terbitan Departemen Agama “tetapi mereka tidak menyisihkan
(dengan mengucapkan “InsyaAllah”). Begitupun dalam tafsir Al-Qurthubi,
penjelasannya juga tidak menyisihkan dengan mengucap InsyaAllah.[6] Lagi-lagi
InsyaAllah menjadi sesuatu yang sakral dan sangat berpengaruh bagi masa depan
yang sifatnya masih gaib.
Demikianlah,
sesungguhnya begitu agung dan sakralnya makna InsyaAllah ini. Tetapi sangat
disayangkan, mengapa masih ada saja ungkapan “InsyaAllah-nya InsyaAllah mana
nih? InsyaAllah Indonesia atau InsyaAllah beneran?” atau yang menjadikan
kata InsyaAllah sebagai tameng untuk menghindar dari tanggung jawab. Padahal InsyaAllah
adalah sebuah janji, dan kita berharap Allah membantu urusan kita. Gunakanlah
InsyaAllah dengan bijak, niscaya Allah akan membantu urusan kita. Tidak ada
perbedaan InsyaAllah yang diucapkan oleh siapapun dan dimanapun, semuanya sama,
karena berasal dari syariat yang sama. Teruntuk para ‘aktivis InsyaAllah’,
jangan permainkan kata “InsyaAllah”!
[1] Al-Kahfi
(18): 23-24.
[2]
Al-Baqarah: 70
[3]
Bukhari-Muslim
[4] HR Ibnu
Majah dan at Tirmidzi dishahihkan oleh Al Albani dalam silsilah ash-Shahihah.
[5] Al-Qalam
(68): 17-18
[6] Abu
'Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari al-Qurthubi , Al-Jami’
liahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi
al-Furqan
Izin share ya mas.. maksih
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteizin share ya mas zaky :)
ReplyDeleteijin share ya
ReplyDelete