Tanggal 20 November malam hari,
pesawat yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara Internasional Minangkabau.
Ada aroma yang berbeda ketika menginjakkan kaki di atasnya. Berbeda, bukan
karena bandara ini adalah bandara internasional pertama di dunia yang
menggunakan nama etnik –karena kebanyakan penamaan bandara menggunakan nama
daerah dan tokoh setempat-, namun karena tanah yang kali ini saya pijak adalah
Tanah Para Pemuka. Kebiasaan saya manakala berkunjung ke sebuah daerah di jagat
Nusantara ini adalah mencari tahu tentang sejarah daerah dan juga tokoh-tokoh setempat. Khusus untuk Ranah
Minang, saya tidak perlu repot-repot mencari tahu menggunakan mesin pencari
atau tanya-tanya dengan masyarakat setempat. Karena keindahan alamnya sudah cukup terkenal dan sebagian besar pembesar
negeri ini adalah Urang Awak.
Pinggiran
Danau Maninjau menjadi saksi bisu kelahiran tokoh da’i sekaligus sastrawan yang
namanya kondang hingga negeri Kaherah. Buya Abdul Malik Karim Amrullah atau
lebih gandrung disapa Buya Hamka, sekalipun tak mengenyam pendidikan tinggi
formal, dirinya digelari Guru Besar di Universitas Moestopo. Lebih garang lagi,
mendapat gelar Doktor Honoris Causa atas Magnum Opus-nya yang diberi judul “Tafsir
Al-Azhar”. Tafsir tersebut digarap saat di balik jeruji besi. Mengingatkan kita
pada sosok pemikir Sayyid Quthb yang merampungkan Fii Zhilal al-Qur’an juga
dalam masa dibui. Tulisan-tulisannya yang ‘nyastra’ masih dicari orang hingga
sekarang. Tak heran orang memercayainya sebagai pemimpin umat. Selain Muhammadiyah,
Buya juga pernah memimpin MUI.
The
Grand Old Man Haji Agus Salim. Orang bijak mana yang tidak kenal dengannya? Tokoh
pendiri Jong Islamieten Bond ini dalam usia mudanya telah menguasai sedikitnya
tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan
Jerman. Pada 1903 dia lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah
atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota;
Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia
dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta
menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan
Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri. Koto Gadang menjadi
kesohor karena telah melahirkannya.
Solok,
bukan hanya berbicara masalah Bareh Solok atau Danau Atas dan Danau Bawah saja.
Tetapi juga berbicara tentang sosok penting dalam pergerakan Islam yang lahir
di Alahan Panjang. Pilihannya memperdalam agama Islam bersama Tuan Hassan di
Bandung alih-alih menerima beasiswa sekolah hukum di Belanda, sungguh menjadi
berkah bagi kaum muslimin di Indonesia. Sepanjang pendudukan Jepang, ia memilih
bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia –kemudian bertransformasi menjadi
Masyumi. Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam
sidang pleno parlemen. Mohammad Hatta –yang juga putra Ranah Minang- yang
menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pada waktu itu mendorong keseluruhan
pihak untuk berjuang dengan tertib dan sangat merasa terbantu dengan adanya
mosi ini. Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang pada mulanya berupa serikat, hingga kemudian Mohammad
Natsir diangkat sebagai perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus
1950.
Dinamika
ormas di Indonesia, tentunya dikuasai oleh dua organisasi besar; Nahdhatul ‘Ulama
dan Muhammadiyah. Tentunya, kecemerlangan dua organisasi tersebut tidak lepas
dari peran hebat kedua pionirnya. K.H. Hasyim Asy’ari di NU, dan K.H. Ahmad Dahlan
di Muhammadiyah. Keduanya sama-sama berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib
al-Minangkabauwi. Dialah orang ‘ajam (non-Arab) pertama yang menjadi imam di
Masjidil Haram, kemudian diikuti jejaknya oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dari
Banten. Syaikh al-Minangkabauwi lahir di Koto Tuo tahun 1860 M. Selain Ahmad Dahlan
dan Hasyimm Asy’ari, murid-muridnya banyak juga yang menjadi ulama terkemuka. Mereka
adalah Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka; Syaikh Muhammad
Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Bukittinggi; Syaikh
Muhammad Jamil Jaho, Padang Panjang; Syaikh Abbas Qadhi, Bukittinggi; Syaikh
Abbas Abdullah, Padang Japang; Syaikh Khatib Ali, Padang; Syaikh Mustafa
Husein, Mandailing; dan Syaikh Hasan Maksum, Medan.
Jauh
sebelum mereka, ada Muhammad Sahab, dikenal juga dengan Petto Syarif, dan kini
lebih masyhur dengan nama Tuanku Imam Bonjol, karena asalnya memang dari
Bonjol. Pada tahun 1821, perang saudara antara kaum Paderi yang ingin
melaksanakan ajaran agama dengan baik dan didukung para ulama melawan kaum Adat
yang didukung Belanda berkobar kembali. Peperangan ini sebenarnya terjadi
karena politik adu domba yang diterapkan Belanda untuk menguasai Sumatera
Barat. Tuanku Imam Bonjol memimpin pasukannya untuk menghadapi Belanda.
Perlawanan sengit dan pasukan Imam Bonjol membuat Belanda kewalahan. Belanda
kemudian terpaksa mengadakan perjanjian damai pada tahun 1824 yang dikenal
sebagai Perjanjian Masang. Namun, tidak bertahan lama karena dilanggar sendiri
oleh Belanda. Ketika akhirnya Bonjol dapat dikuasai Belanda pada tahun 1837,
Imam Bonjol dijebak Belanda dan diasingkan ke Cianjur. Setelah itu dibuang lagi
ke Manado dan wafat pula di sana.
Bukan
hanya kaum adam dari Tanah Minang yang menjadi pemuka. Putri Tanah Minang pun
tidak boleh dipandang sebelah mata. Syaikhah Rahmah el-Yunusiyyah, perempuan
tangguh pendiri Madrasah Diniyah putri, dilahirkan di Padang Panjang tahun 1900
M. Rahmah belajar membaca dan menulis tulisan Arab dan latin dari kakaknya,
Zainuddin Labay El Yunusy dan Muhammad Rasyad setelah ayahnya wafat. Ketika
pada 1915 Zainudin mendirikan Diniyyah School, sekolah Islam dengan sistem
modern, Rahmah ikut belajar disana. Disamping itu, pada sore harinya ia berguru
pula kepada Syaikh Abdul Karim Amrullah, yang merupakan ayah Buya Hamka. Pada 1
November 1923 Rahmah merintis sekolah agama untuk putri dengan nama Madrasah Diniyyah
lil Banat. Ada juga yang menamakannya dengan Meisjes Diniyyah School. Inilah sekolah
khusus perempuan pertama di Nusantara. Atas prestasinya itulah, Universitas
al-Azhar memberikan gelar kehormatan padanya. Gelar ini adalah gelar pertama
yang disematkan kepada perempuan oleh pihak al-Azhar. Pada 1957 ia menunaikan
ibadah haji dan ia diundang oleh Universitas al-Azhar di Kairo untuk memperoleh
gelar kehormatan “Syaikhah”.
Agam
tak habis-habisnya melahirkan para pencetak sejarah. Selain Agus Salim dan Buya
Hamka, lahir pula dari sana seorang perempuan penoreh tinta emas dalam dunia
jurnalistik. Dia adalah sepupu dari Haji Agus Salim, saudari seayah dari Sutan
Sjahrir, dan memiliki keponakan penyair terkenal Chairil Anwar. Dia tidak
bersekolah, karena umumnya perempuan Minangkabau waktu itu tidak dikirim ke
sekolah formal. Meski demikian ia gemar belajar dengan membaca buku dan Koran.
Sejak usia 8 tahun ia sudah mahir menulis dalam Bahasa Melayu, Arab, dan Arab
Melayu dan kegiatannya tersebut terus berlanjut hingga dewasa. Nama Rohana
Kudus, menjadi laporan sejarah, bahwa dialah wartawati pertama Indonesia.
Jika
kita mengenal Raden Ajeng Kartini yang harum namanya, seharusnya kita lebih
mengenal nama Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Sayangnya, banyak yang mengira nama
HR. Rasuna Said yang juga menjadi nama jalan protokol di Jakarta, sebagai
seorang lelaki. Sejak kecil telah mengenyam pendidikan Islam di pesantren. Pada
saat sekolah inilah, ia pernah menjadi satu-satunya santri perempuan. Sejak
saat itu, Rasuna Said sangat memperhatikan kemajuan dan pendidikan bagi kaum
perempuan. Pada tahun 1932 Ia sempat ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah
Belanda karena kemampuan dan cara pikirnya yang sangat kritis. Rasuna Said juga
tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum
pemerintahan Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena
berbicara menentang Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, Rasuna Said merupakan
salah satu pendiri organisasi pemuda Nippon Raya. Dalam karir politiknya, HR
Rasuna Said pernah menjabat sebagai DPR RIS dan kemudian menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung sejak tahun 1959 sampai meninggal. HR. Rasuna Said juga
lahir di Maninjau, Agam, seperti Buya Hamka. Sayang seribu sayang, aksi nyata
perempuan Minang berhijab ini tidak membuat namanya di negeri ini lebih harum
ketimbang Kartini.
Sekitar
2 tahun yang lalu, para psikolog muslim Indonesia harus kehilangan sosok
inspiratifnya. Ia menghabiskan sisa umurnya sebagai pendidik dan guru besar
ilmu psikologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
bidang Ilmu Jiwa Agama. Setelah menyelesaikan pendidikan doktor di Mesir pada
1964 --diterima di Fakultas Pendidikan Universitas Ain Shams, Kairo tanpa tes
untuk program S2. Setelah selesai, ia melanjutkan S3 di Universitas yang sama-,
ia membagi waktu bekerja dan membuka praktik konsultasi psikologi. Ia pernah
dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Agama dan Direktur Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam, bertanggung jawab atas kebijakan dan eksistensi
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ia duduk di Dewan Pertimbangan Agung periode
1983–1988 --satu-satunya perempuan dalam keanggotaan DPA. Pada saat yang sama,
ia adalah anggota Dewan Riset Nasional dan mengurusi bidang masalah keluarga
dan anak pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode kepengurusan pimpinan Hasan
Basri. Dialah Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat, pelopor psikologi Islam.
Begitu
banyak tokoh-tokoh yang dilahirkan di wilayah bersemboyan “Adat Basandi Syara’,
Syara’ Basandi Kitabullah’ ini. Tokoh-tokoh yang disebutkan ini, hanyalah
segelintir dari banyak tokoh hebat lainnya. Bukan hanya memiliki kekayaan alam
yang indah, namun juga memiliki putra-putri pembangun bangsa dan agama. Inilah berkah
Allah kepada Ranah Minang. Apabila ada penghargaan bertajuk “Daerah Paling
Berjasa”, mungkin penghargaan tersebut pantas disematkan kepada Provinsi
Sumatera Barat, Tanah Para Pemuka. Bagaimanapun, ungkapan masyhur “Ketek
Banamo, Gadang Bagala”[1] bagi
saya yang bukan orang Minang, haruslah menjadi ruh bagi setiap orang Minang
dimanapun mereka berada. Kini, setelah dikaruniai gubernur yang dekat dengan
Tuhannya, akankah ada lagi putra-putri Minangkabau yang dapat mengguncang
Nusantara bahkan dunia?
Ketek Banamo, Gadang Bagala !! Get it~
ReplyDeleteSetelah membaca ini saya sebagai org minang merasa memiliki beban berat yang harus di pikul bg zaky... ����
ReplyDelete