
Sosok
ayah adalah sosok yang bekerja dalam diam. Operasi senyap. Kehadiran ayah
membawa suasana tegang menjadi tenang, amarah menjadi amanah, diuji menjadi
terpuji. Layaknya Luqman al-Hakim, seorang ayah adalah sosok yang diharapkan
untuk terus memberikan untaian nasihat bijak. Luqman bukanlah nabi, ia hanyalah
seorang yang penuh ilmu dan hikmah. Namanya dapat diabadikan karena pesan-pesan
penting kepada anaknya. Jika momen seorang ayah yang menasihati anaknya hanya
masuk kategori “momen biasa-biasa saja” tidaklah mungkin momen ini akan
dimasukkan ke dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Tentunya, pesan yang dititipkan
seorang ayah kepada anaknya adalah peristiwa luar biasa yang harus selalu
diingat anaknya hingga ajal menjemputnya.
Pengaruh
ayah sebagai kepala keluarga terhadap keluarganya sangat besar. Karena bila
diibaratkan, ayah sebagai teko berisi air yang siap menuangkan isinya kepada
setiap anggota keluarganya. Pernah berpikir simpel mengapa lelaki boleh
beristri lebih dari satu sedangkan perempuan tidak boleh bersuami lebih dari
satu? Maka kita akan kembali ke filosofi teko. Apabila ada 1 teko dan 4
cangkir, kita bisa memenuhi cangkir tersebut dengan air yang ada di dalam teko
dengan isi yang sama rata. Ini perumpamaan ketika seorang suami memiliki 4
istri. Namun, bayangkan apabila cangkirnya hanya 1, dan tekonya berjumlah 4. Apakah
yang terjadi pada cangkir tersebut? Pastilah cangkir tersebut tidak kuasa menampung
air dari 4 teko tersebut.
Pengaruh
ayah kepada anaknya sangatlah besar. Hal ini sebetulnya dijelaskan dalam Al-Qur’an,
namun kerapkali luput dari perhatian kita. Mari arahkan perhatian kita kepada
ayat berikut: “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat
dari Tuhanmu.”[1]
Alkisah,
Nabi Musa dan Khidhr –‘alaihimas salam- melewati suatu perkampungan.
Lalu mereka meminta makanan kepada penduduk di kampung tersebut dan meminta
untuk dijamu layaknya tamu. Namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu
mereka dan justru mencemooh mereka. Lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan,
kemudian menjumpai dinding yang miring dan hampir roboh di kampung tersebut.
Khidr ingin memperbaikinya. Kemudian Musa berkata pada Khidhr, “Jikalau kamu
mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”[2]
Nabi Musa tentu bertanya sembari gregetan. Karena sebelum tiba di tempat itu,
justru Khidhr melakukan pembunuhan terhadap anak yang tidak bersalah, dan
sebelumnya lagi Khidhr membocorkan perahu orang tanpa alasan yang dapat
dipahami oleh Nabi Musa. Kali ini, Khidhr malah membantu orang yang di kampung
tersebut justru ia tidak dihiraukan bahkan dicemooh. Ada banyak pertanyaan
muncul di kepala Nabi Musa.
Khidhr
pun akhirnya menjawab ketidaksabaran Musa, sekaligus menyatakan perpisahan
mereka berdua, sesuai janji yang telah diucapkan Musa. Apabila Musa tidak sabar
–untuk mempertanyakan- terhadap apa yang dilakukan Khidhr, maka Musa harus
pergi dan tidak boleh lagi berguru kepada Khidhr. Tetapi Musa tidak mampu
melewati ujiannya. Karena baru tiga kali Khidhr melakukan hal yang di luar
nalarnya, tiga kali pula Musa tidak sabar untuk mempertanyakannya. Untuk kasus
yang tembok miring tadi, Khidhr menjawab, “Adapun dinding rumah adalah
kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda
simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.”[3]
Mari kita garis bawahi kalimat terakhir, “sedang ayahnya adalah seorang yang
saleh”, dan inilah inti dari pembicaraan kita.
Allah
Ta’ala telah menjaga harta dan simpanan dua anak tersebut, karena alasan yang
cukup sederhana; karena ayahnya saleh. Ayahnya memberikan simpanan kepada
anaknya ini, tentu saja bukan dari yang haram, karena ayahnya saleh. Ayahnya
telah mengumpulkan harta untuk anaknya dari yang halal, sehingga karena kesalehannya
ini Allah juga senantiasa menjaga anak keturunannya. Berarti peran ayah amat
sangat vital dalam keluarga dan masa depan anak-anaknya. Makanan yang dimakan
oleh anak-anak dalam keluarga menjadi tanggungan seorang ayah. Maka, kebersihan
dan kehalalan makanan mereka adalah tanggung jawab seorang ayah. Manalah
mungkin makanannya dapat terjamin kehalalan dan keberkahannya apabila ayahnya
tidak saleh dan tidak memilih dan memilah harta yang patut dibelanjakan untuk
keluarga.
Ayah
yang saleh akan menjamin kebaikan dan keberkahan dalam keluarga. Sesempit apapun
keadaan keluarga, seorang ayah yang saleh akan membawa bahtera rumah tangga
selamat dari badai dalam keadaan aman sentosa. Nabi Ibrahim ‘alayhissalam,
bertahun-tahun meninggalkan anak dan istrinya. Namun, selama itu pula Ibrahim
tidak pernah lelah mendoakan anak dan istrinya. Salah satu doanya yang dapat
kita amalkan adalah, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku, orang yang
senantiasa melaksanakan shalat.”[4]
Kunci
dari memiliki anak-anak yang saleh sebenarnya cukup sederhana apabila orang tuanya
juga saleh. Orang tua menjadi garansi anak-anaknya. Bila orang tuanya baik,
pastilah mereka selalu mengajarkan yang baik-baik kepada anaknya. Bila orang
tuanya buruk, sekalipun mengajarkan yang baik kepada anaknya, namun contoh
buruk tersebut secara tidak langsung akan melekat terus dalam ingatan
anak-anaknya, hingga anak-anaknya secara tidak sadar meniru keburukan orang
tuanya. Ayah yang baik, pastinya memberikan makanan yang baik-baik kepada
anak-anaknya, dari sumber yang baik-baik pula.
Kali
ini tentang ayah, yang senantiasa mengajarkan kesabaran kepada anak-anaknya,
meski mereka tak pernah merasakan beratnya mengandung berbulan-bulan. Kali ini
tentang ayah, yang mengajarkan ketegasan kepada anak-anaknya, meski mereka tak
perlu membentak anak-anaknya setiap anak-anaknya melanggar aturan. Kali ini tentang
ayah, yang gigih mencari harta yang halal demi keberkahan keluarganya. Meskipun
mereka harus bekerja banting tulang. Apapun mereka kerjakan, asalkan makanan
yang dimakan anak-anak mereka tetap terjaga kehalalannya. Keluarga tanpa sosok ayah, adalah keluarga tanpa
ketegasan dan kebijaksanaan. Allah ridho kepada
ayah yang saleh. Sehingga sekalipun sang ayah sudah tidak hidup di dunia, namun
kehidupan anaknya akan selalu dijaga oleh Allah. Alasannya? Karena ayahnya
seorang yang saleh.
keluarga tanpa sosok ayah, adalah keluarga tanpa ketegasan dan kebijaksanaan? gmna sama anak yg yatim, atau anak yg org tua nya berpisah, atau anak anak lainnya yg tidak ada kehadiran seorang ayah?
ReplyDeleteSosok ayah itu tidak mesti ayah secara biologis. Karena banyak sekali orang yang masih punya ayah tetapi merasa sosok ayah itu tidak hadir di rumahnya
DeleteSosok ayah itu tidak mesti ayah secara biologis. Karena banyak sekali orang yang masih punya ayah tetapi merasa sosok ayah itu tidak hadir di rumahnya
DeleteKeluarga tanpa ayah keluarga tanpa ketegasan dan kebijaksanaan, itu yg mungkin sy rasakan.. Rasanya emang cuma sosok ayah yang bisa melakukan ketegasan dan kebijaksanaan itu saat ada perempuan dengan predikat "dia ibu sekaligus ayah dikeluarga ini" masih belum bisa memenuhi kata "ketegasan dan kebijaksanaan" masing2 punya kelebihannya sendiri..
ReplyDeleteBoleh saya tambahkan?
Tanpa ayah ibarat sususan kartu yang disusun segitiga keatas, lalu seketika kartu yg paling bawah dicabut..semua berantakan