Propaganda. Sebuah kata yang
seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang berbau negatif. Secara definisi,
propaganda adalah penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau
salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu
aluran, sikap, atau arah tindakan tertentu.[1]
Tentunya propaganda selalu dilakukan di ruang-ruang publik. Adapun bentuk dari
propaganda tersebut bisa saja disajikan dalam bentuk yang terang-terangan
ataupun sembunyi-sembunyi. Apapun medianya, propaganda telah banyak dilakukan
dari zaman baheula hingga sekarang. Bedanya, sekarang lebih banyak memanfaatkan
kecanggihan teknologi. Siapa yang paling menguasai teknologi, dialah yang
paling di atas angin untuk menghembuskan propaganda.
Banyak
sekali bentuk propaganda yang dilakukan di zaman sekarang. Lewat media bacaan,
media audio, hingga media visual. Apa yang dilakukan orang-orang media di zaman
sekarang, jangan dikira semata-mata hanya mencari nafkah untuk diri dan
keluarganya saja. Namun lebih jauh dari itu, mereka sesungguhnya memiliki
misi-misi tersendiri untuk dikonsumsi khalayak ramai, agar khalayak secara
sadar ataupun tidak sadar ikut menyukseskan misi tersebut. Itulah yang namanya
propaganda. Sayangnya, mayoritas misi-misi yang ada di media sekarang, justru
dalam hal-hal negatif bahkan cenderung merusak. Sayangnya lagi, kebanyakan di
antara kita justru sukarela ikut menyukseskan misi tersebut, dalam keadaan
sadar ataupun tidak sadar.
Sejatinya
propaganda telah dilakukan semenjak zaman Adam dan Hawa. Ketika mereka berdua
masih hidup damai di surga, datanglah setan menggodanya untuk memakan buah
keabadian. Sungguh, Adam tidaklah tergoda. Namun, apalah daya, perempuan memang
perempuan; kodratnya dirayu dan digoda. Setelah Hawa termakan bujuk rayu, Adam
mengikuti. Seketika tersingkaplah aurat mereka, hingga mereka diturunkan ke
bumi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Propaganda yang paling santer
terjadi adalah di masa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Muhammad adalah tukang sihir, Muhammad
adalah orang gila yang mengaku nabi; sebutan-sebutan yang dihembuskan sebagai
propaganda untuk menjatuhkan sosok terpuji bernama Muhammad. Hingga hari ini
pun, propaganda untuk menjatuhkan sosok tersebut selalu terjadi dan tak pernah
benar-benar berhasil. Muhammad adalah teroris, Muhammad adalah pengidap
pedofilia, Muhammad tukang main perempuan; propaganda murahan yang tak pernah
berhasil karena memang selalu terbantah dengan sendirinya.
Adapun,
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat yang berkenaan dengna
propaganda. “Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang
terdiri dari setan-setan (dari golongan) manusia dan jin, sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.”[2]
Propaganda
melalui media kata-kata, memang mudah saja hilang terbawa angin, atau ditelan
bumi. Dewasa ini, propaganda yang terjadi gencar dilakukan melalui media cetak –buku-
dan film. Buku memang hanya dibaca oleh kalangan tertentu. Tentunya, peminat
buku lebih sedikit ketimbang peminat film, setidaknya di Indonesia. Jika saya
tanyakan kepada pembaca semua, siapa yang sama sekali belum pernah menonton
film? 99% pembaca pasti tidak menjawab, karena hampir semua dari kita pernah
menonton film. Film apapun. Secara tidak sadar, terkadang kita mengikuti apa
yang dilakukan tokoh-tokoh dalam film. Sebut saja film animasi berseri Captain
Tsubasa. Booming di era 90-an, Captain Tsubasa berhasil menghipnotis
anak-anak Jepang untuk mencurahkan perhatiannya kepada sepak bola. Hasilnya,
tidak terlalu mengecewakan. Jepang sukses menjadi tuan rumah perhelatan sepak
bola terakbar tahun 2002 itu bersama Korea Selatan, dan inilah pertama kalinya
Jepang mampu melewati fase grup dan menembus 16 besar. Selanjutnya, Jepang
tidak pernah absen berpartisipas di Piala Dunia. Propaganda “bola adalah teman”
milik Tsubasa secara tidak langsung membakar semangat anak-anak Jepang untuk
bermain sepak bola. Kini, pecinta bola mana yang tak mengenal nama-nama seperti
Keisuke Honda, Shinji Kagawa, hingga bintang-bintang kawakan macam Shunsuke
Nakamura dan Hidetoshi Nakata.
Ribuan,
bahkan ratusan anak-anak di Indonesia, terpengaruh untuk berceloteh “aku siap,
aku siap, aku siap” setelah munculnya film animasi seri Spongebob
Squarepants menerobos dunia film kartun. Sayang seribu sayang, film
tersebut sejatinya bukanlah diperuntukkan bagi anak-anak. Kita seharusnya belum
lupa, ketika film V For Vendetta mendulang kecaman dari berbagai pihak
karena jelas sekali pesannya berisi tentang perjuangan menuntut keadilan, dan
penghinaan terhadap pihak-pihak tertentu –yang memang nyatanya terjadi. Kita juga
seharusnya belum lupa, manakala film yang diadaptasi dari novel karya Dan Brown
berjudul The Da Vinci Code, berhasil membuat para uskup di Vatikan kebakaran
jenggot –meskipun mereka tidak berjenggot. Terakhir, satu film –yang juga
diadaptasi dari novel- Indonesia, berjudul 5 CM, berhasil membuat pemuda-pemuda
labil di Indonesia, menjadikan kegiatan naik gunung sebagai ajang gaya-gayaan
dan pamer tulisan-tulisan memuakkan di atas gunung. Hasilnya, tidak terlalu
buruk, Semeru sebagai latar belakang film, kini seperti pasar saja. Antrean mengular,
hingga sampah-sampah berserakan di pelbagai sudut. Miris. Itulah hasil
propaganda.
Sekarang,
kita mungkin sering muak melihat kualitas sinetron dan film Indonesia. Dengan mudahnya
kita mencampakkan acara televisi dan film Indonesia. Namun, adakah upaya dari
kita untuk mengubah itu semua? Sah-sah saja kita berpikir individualis, “Ah,
yang penting aku sih gak suka nonton. Biar gak jadi bodoh.” Namun, ini
tidak menjamin generasi muda dan sanak famili kita untuk tidak menjadi korban
propaganda sampah-sampah tersebut. Maka penting bagi kita untuk melakukan
sesuatu. Buatlah media tandingan, buatlah tulisan tandingan, buatlah film
tandingan. Bukan berarti kita harus mengekor, namun ini berangkat dari kesadaran
untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Kalau memang belum bisa,
setidaknya kita bisa membantu saudara kita yang berusaha melakukan upaya
tersebut. Karena bila hari ini kita masih belum berusaha untuk membuat ataupun
membantuk menyukseskan upaya-upaya tersebut, itu sama saja dengan kita
membiarkan generasi selanjutnya terancam mengalami kemunduran karena
terpengaruh propaganda-propaganda yang ada.
Sedikit
curhat untuk mengakhiri pembicaraan ini. Suatu hari, saya dihubungi oleh
seseorang yang bertindak sebagai produser dalam film Tausiyah Cinta,
yakni Suwandi Basyir untuk membicarakan sebuah proyek. Selanjutnya kami
melakukan pembicaraan dengan sutradaranya, Humar Hadi. Ternyata saya ditawari
memerankan seorang tokoh bernama Afian dalam film tersebut. Saya tergiur, bukan
karena main film akan mendatangkan banyak keuntungan, semisal popularitas dan
kekayaan. Namun, karena misi di balik proyek tersebut. Belakangan saya
mengetahui, production house yang menggawangi mereka bukanlah PH yang
punya banyak uang untuk menggarap film. Kalau hanya mencari popularitas, jelas
saya tidak serta-merta menemukannya. Karena memang tokoh yang ditawari oleh Mas
Ibas dan Bang Umank –panggilan akrab mereka- justru tokoh yang harus
disembunyikan, hingga orang-orang baru tahu tokoh tersebut setelah selesai
menonton. Kalau uang yang dituju, jelas sekali bukan. Karena kami di sini,
justru harus bersusah-susah bersama untuk menyukseskan penggarapan film ini. Namun,
begitulah penggarapan film tersebut memang demi melawan propaganda negatif yang
dilakukan oleh film-film lain. Memang perlawanannya tidak sepadan, namun dengan
langkah kecil yang dicicil, kita harus yakin bahwa semuanya akan indah pada
waktunya, cepat atau lambat. Karena karya yang dibangun dengan ketulusan hati,
akan dinikmati oleh mereka yang hatinya tulus pula, dan jangan remehkan
kekuatan hati. Setelah film ini ditolak oleh XXI karena disinyalir tidak ada
penontonnya, justru kini berhasil membungkam anggapan tersebut. Agenda nonton
bareng (nobar) yang digelar di kurang dari 12 titik di kota-kota besar
Indonesia, justru berhasil menyedot hingga lebih dari tujuh ribu penonton. Jumlah
yang cukup fantastis, mengingat film-film Indonesia sekarang sulit sekali untuk
menembus angka ribuan penonton, meskipun sudah nangkring di bioskop lebih dari
seminggu.
Inilah
propaganda ketulusan, yang berawal dari ketulusan, dan untuk ketulusan. Maka,
bila kita tidak bisa melakukan kebaikan, hal terbaik yang harus dilakukan
adalah kita membantu mereka yang sedang berjuang melakukan kebaikan. Masihkah kita
ingin membiarkan saudara-saudara kita mengonsumsi sampah-sampah yang mereka
dapatkan melalui tontonan?
pas baca postingan ini tepatnya pas udah nyampe paragraf ke-7, sempat mikir, mungkin yang dimaksud kak zaky tuh kayak 'Tausiyah Cinta' gitu ya?, film yang bisa dibilang mem'baper' hehehe alias membawa perubahan dari film film yang sudah ada sebelumnya. ternyata bener, diparagraf selanjutnya emang ngebahas TC.
ReplyDeletetapi pas nobar filmnya belum bener bener ending kak.. itu yang bikin syedih :'(