zakyzr.com

Saturday, 10 December 2016

Barang Langka Bernama Kesetiaan

Barang langka. Berapa banyak barang langka di Indonesia yang dieksploitasi dan dicuri oleh orang-orang asing? Sepuluh? Seratus? Seribu? Sejuta? Tak terhitung! Hari ini kita menyaksikan Indonesia dirampas besar-besaran kekayaannya. Kekayaan yang menjadi ciri khas Indonesia, dan negara-negara lain tidak memilikinya. Namun, ada satu barang langka yang benar-benar langka dan banyak sekali yang gagal lolos dalam ujiannya. Barang langka itu bernama kesetiaan.
            Tidak akan ada satupun harta kekayaan langka milik Indonesia yang akan dicuri oleh pihak asing apabila terdapat kesetiaan pada setiap individunya. Kesetiaan menjadi tolok ukur manusia untuk menjaga dan melestarikan apa yang telah diwariskan kepadanya. Seorang suami yang setia, berarti menjaga cinta dan kepercayaan yang telah disematkan oleh istrinya. Seorang pendeta yang setia, berarti ia menjaga kemurnian ajaran agama serta ayat-ayat suci yang diwahyukan oleh tuhannya. Seorang warga negara yang setia, berarti dengan segala perasaan bersyukurnya, menjaga keamanan dan ketertiban peradaban yang telah diwariskan leluhur kepadanya.
            Tempo hari kita mendengar ada berita tersiar tentang bendera Tiongkok yang berkibar di belahan Indonesia bagian timur. Belum lagi proyek reklamasi pulau-pulau di ibukota yang menurut kabar beredar akan dibangun banyak apartemen di sana, kemudian akan menjadi sarang orang-orang Tiongkok untuk menjajah Indonesia secara ekonomi. Selain itu, isu-isu toleran-intoleran selalu bergema di republik ini setiap tahunnya. Pembakaran rumah ibadah, pembubaran ibadah secara paksa, hingga pelarangan menjalankan norma agama telah terjadi di beberapa tempat dan –dibuat seolah- menjadi berita utama. Hal-hal tersebut adalah kenyataan dari sebuah kesetiaan yang ternodai. Noda-noda yang ternyata berbentuk materi, berbentuk uang dan emas. Maka, benarlah jika ada pepatah yang mengatakan bahwa kesetiaan itu mahal harganya. Karena dari zaman baheula, para penguasa pasti harus menggelontorkan banyak harta hanya untuk memastikan orang-orang tetap setia di bawah kekuasaannya.
            Kesetiaan tidaklah sama dengan ketakutan. Kesetiaan adalah barang langka, sedangkan ketakutan justru kerap menghilangkan barang langka itu sendiri. Lihatlah Amangkurat I yang menjilat kepada Belanda, karena takut kekuasaannya akan runtuh akibat serangan Trunojoyo. Atau dapat pula kita simak kisah Yudas Iskariot, yang menukar loyalitasnya terhadap Yesus dengan tiga puluh keping emas. Contoh lainnya adalah Vidkun Quisling, yang menukar rasa cinta tanah airnya Norwegia dengan iming-iming kekuasaan yang ditawarkan Hitler. Beberapa contoh tersebut adalah perbandingan yang cukup nyata untuk memperjelas perbedaan antara kesetiaan dan ketakutan. Ada beberapa contoh besar lagi yang rasanya sangat penting untuk saya angkat.
            Anda ingat keruntuhan Khilafah Abbasiyah oleh Mongol yang ketika itu dipimpin oleh Hulagu Khan? Pasti ingat. Tetapi hal yang jarang benar-benar dibahas adalah bahwa ada oknum-oknum muslim yang membantu keruntuhan Abbasiyah pada waktu itu. Sebuah pukulan telak bagi siapapun yang mengatakan bahwa berdirinya khilafah adalah satu-satunya solusi terbaik dunia-akhirat. Khilafah akan tegak dan Islam menemukan kejayaannya di akhir zaman, itu adalah sebuah kabar gembira dari Allah dan Rasul-Nya yang wajib disambut umat Islam dengan perjuangan. Namun, bukan berarti umat Islam abai terhadap kenyataan-kenyataan pahit di dalamnya. Sejarah berdarah itu memunculkan beberapa nama, salah satunya adalah Buraq Hajib, yang memiliki nama lain Kuchlug Khan. Dia adalah penguasa Kirman, yang masih masuk dalam wilayah kekuasaan Khawarizmia. Sejatinya Buraq Hajib hanyalah wakil dari penguasa Kirman, Giyatsuddin bin Alauddin Khawarizmi Syah. Namun, dengan siasat yang telah dibuatnya, Giyatsuddin dibunuh, bahkan kepala Giyatsuddin dipenggal untuk dikirimkan kepada Ogedei yang ketika itu memimpin Mongol. Pengabdiannya kepada Mongol adalah sebagai bentuk rasa pengecut yang dihiasi ketakutan akan kemiskinan dunia dan kematian, sehingga lunturlah kesetiaannya terhadap agama dan bangsanya. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Badruddin Lu’lu, raja Mosul yang berkuasa selama lima puluh tahun. Badruddin terang-terangan menjilat pemerintahan Mongol agar ia diberikan keamanan dan penghargaan. Selain nama-nama tersebut, ada pula nama-nama terkenal seperti Muayyiduddin ibn Alqami, menteri dari Khalifah al-Musta’shim Billah yang menggerogoti Khilafah Abbasiyah dari dalam, dan diam-diam berkorespondensi dengan pihak Mongol. Nama lainnya yang juga cukup mencengangkan adalah Nashiruddin ath-Thusi, yang nyata-nyata satu kongsi dengan Ibn Alqami. Ath-Thusi menjadi penasihat bagi Hulagu untuk menghancurkan Khilafah Abbasiyah.
            Pada akhirnya, mereka yang memilih untuk hidup mewah namun dirundung ketakutan selalu berakhir mengenaskan dalam perjalanan hidupnya. Ibn Alqami meninggal dalam keadaan stres dan tak berdaya, Amangkurat I mati dalam keadaan terasing, miskin, dan dibenci, juga Vidkun Quisling yang mati dieksekusi pihak yang dikhianatinya. Berbeda dengan mereka yang tetap memegang teguh kesetiaan dalam hidupnya. Sekalipun mereka harus mati dieksekusi musuh, namun mereka meninggalkan dunia dengan cara terhormat, dan dunia pun menghormatinya pula. Raden Intan II, sekalipun harus gugur di usia muda, namanya tetap harum hingga sekarang. Lalu apa kabar bawahannya yang berkhianat? Tidak membekas sedikitpun kenikmatan yang diterimanya selain hinaan di dunia dan di alam kuburnya. Imam Bonjol, senasib pula dengan Sultan Hasanuddin; ditangkap Belanda, diasingkan, kemudian wafat dalam pengasingan. Namun, nama mereka selalu dikenang sebagai pahlawan baik oleh kawan maupun lawan. Itulah balasan bagi orang yang memegang kesetiaan.
            Hari ini, bagaimana kita dapat mengetahui mana di antara tokoh negara ini yang setia dan mana yang membelot? Kita tunggu saja akhir perjalanan hidupnya. Karena sanksi Tuhan tidak pernah salah memilih terdakwa.

            Kesetiaan itu tak berbeda dengan angin, ia mungkin tak pernah kita lihat wujudnya, namun dapat kita rasakan dampaknya. Juga tak jauh berbeda dengan barang tambang, sangat sulit didapat, karena hanya orang-orang yang berjuang yang mendapatkan dan merasakannya.

Wednesday, 16 November 2016

Pencuri Qur’an dan Perwajahan Tiongkok di Indonesia


Tragedi penistaan al-Qur’an masih sangat relevan dibicarakan hingga hari ini, setelah kalimat yang menyakitkan dari seorang Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, disebar ke publik dalam bentuk video. Sejatinya penistaan agama di negeri ini bukan hanya terjadi sekali-dua kali, namun sebuah tindakan kurang pantas dari orang yang pantas ini menjadi penyebabnya. Mengapa saya katakan Ahok adalah orang yang pantas? Karena memang sedari awal dirinya naik secara cuma-cuma menjadi gubernur menggantikan Joko Widodo yang naik secara hura-hura menjadi presiden, Ahok selalu menuai kontroversi. Masyarakat –khususnya umat Islam- harus jujur, bahwa Ahok melakukan beberapa perubahan demi kemajuan ibukota. Namun masyarakat non-muslim dan abangan juga harus jujur, sikap seorang pemimpin di hadapan rakyatnya haruslah baik dan menjadi teladan bagi siapapun. Menurut hemat penulis, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun. Namun, sebagaimana biasa, saya tidak akan membahas hal yang sedang menjadi mainstream pembicaraan masyarakat, saya tidak akan membahas proses hukum Ahok, dan juga saya tidak akan membahas demo 411.
            Tentang judul di atas, sekitar satu tahun lalu di blog ini saya menulis tulisan berjudul “Ketika al-Qur’an Dicuri Ant-Man” yang menurut pandangan saya, seharusnya umat Islam jauh lebih terinspirasi kepada semut yang memang dicitrakan baik dalam al-Qur’an. Tapi nyatanya semangat semut itu dapat dengan cantik diejawantahkan oleh komikus Marvel dalam bentuk Ant-Man, superhero yang dapat membesar atau mengecilkan ukuran tubuhnya. Pada tulisan kali ini, pencurian qur’an yang akan saya bahas adalah apa yang dilakukan oleh Ahok. Para pembela Ahok mengatakan bahwa bisa saja ketika itu Ahok tidak sengaja berkata demikian, atau sebenarnya tidak berniat menistakan qur’an. Maka berdasarkan hal itu, Ahok tidaklah pantas dihukum, apalagi Ahok sudah mengutarakan permohonan maaf. Namun setelah ditelusuri, pada kenyataannya Ahok memang sering membahas al-Maidah: 51 di hadapan publik dengan penyampaian yang realtif sama. Bahkan ia juga menulis di dalam bukunya, “Merubah Indonesia”, bahwa ada sekelompok orang dan ahli agama yang menggunakan ayat itu sebagai alat membohongi. Dengan kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan Ahok tidak sengaja soal kasus penistaan al-Maidah: 51 secara otomatis tertolak.
            Siapapun harus jujur, bahwa sejatinya Ahok terinspirasi dengan al-Qur’an, kemudian ia mencurinya. Mencuri semangat al-Qur’an untuk mengambil simpati masyarakat muslim. Bagaimana tidak, di khalayak ramai ia selalu mengaku lulusan sekolah Islam, mengerti al-Qur’an, mengerti tafsir, bahkan mengatakan bisa saja menghafal Qur’an kalau ia mau. Padahal muslim yang bertahun-tahun belajar di pesantren, belum tentu dapat menghafal qur’an dan mengerti kaidah-kaidah tafsir. Seharusnya Ahok yakin saja dengan prinsip keagamaannya sebagai seorang Kristen Protestan, tidak perlu mengaku-ngaku islami demi meraih simpati rakyat. Bila memang ia memiliki prinsip yang baik dalam memimpin sebuah provinsi, seharusnya berawal dari memiliki prinsip yang baik dalam beragama. Bila prinsip beragamanya saja compang-camping, maka prinsip memimpinnya juga pasti compang-camping. Karena norma agama yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk berlaku adil dan menebarkan kasih sayang. Norma di luar agama tidak mengajarkan itu. Norma-norma budaya yang lahir ke tengah-tengah masyarakat Indonesia juga dipengaruhi oleh agama. Tidak akan ada norma “mencuri adalah sebuah keburukan” tanpa campur tangan agama di dalamnya.
            Sikap seorang Ahok yang demikian semakin memperburuk citra orang Tiongkok di Indonesia. Jika Laksmana Cheng Ho memberikan kesan yang baik ketika melancong ke negeri-negeri di luar Tiongkok, maka berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang Tiongkok lainnya di Indonesia. Melihat sejarah, hingga abad ke-8 hubungan Nusantara dengan Tiongkok hanya sekadar kunjungan-kunjungan keagamaan yang dilakukan oleh pendeta Budha dari Tiongkok. Sekitar tahun 400 M, seorang pendeta Budha bernama Fa Hian singgah di Jawa selama lima bulan, dan melaporkan belum ada orang Tiongkok di sana. Kemudian I-Tsing juga melaporkan pengelanaannya di Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa. Menurut laporannya, telah ada kerajaan di Jawa Tengah bernama Ho-Ling, yang berdasarkan toponimnya, dapat diperkirakan bahwa Ho-Ling adalah Kerajaan Kalinga. I-Tsing melawat ke Nusantara antara tahun 671 hingga 692 M. Itulah periode pertama masuknya orang-orang Tiongkok ke Nusantara, yakni hingga abad ke-10.
            Periode kedua adalah abad ke-12 hingga 19. Pada periode ini orientasi kunjungan mulai berubah. Selain untuk mengekspansi wilayah dinasti di Tiongkok, dilakukan pula perdagangan-perdagangan yang membuat interaksi antara kedua belah pihak semakin intens. Lama-kelamaan, banyak warga Tiongkok berdatangan ke Nusantara untuk berdagang.  Pada tahun 992 M, muncul hubungan komersial antara Dinasti Song (960-1279 M) dengan kepulauan di Nusantara, walaupun ada yang berpendapat hubungan tersebut sudah berlangsung sejak abad ke-3. Sejak saat itulah rute perdagangan Laut Selatan atau yang dikenal dengan Nanyang mulai diketahui dan menjadi rute strategis untuk berdagang. Kemudian semakin ramailah orang-orang Tiongkok yang ke Nusantara.Karena semakin lama semakin banyak, maka dibuatlah pemukiman warga Tiongkok di beberapa daerah. Palembang, Bangka, Belitung, Pontianak, Sambas, dan beberapa daerah pesisir utara di Jawa seperti Semarang, Cirebon, Tuban, Gresik, Surabaya, dan lain-lain adalah daerah-daerah yang banyak didirikan pemukiman Tionghoa. Ketika kejatuhan Dinasti Yuan (1271-1368) terjadi pada tahun 1368 M, hubungan dengan Nanyang menjadi tidak lancar. Peraturan yang membatasi perdagangan di Nanyang diberlakukan. Salah satunya adalah pelarangan perdagangan secara individu. Hal ini membuat orang-orang Tiongkok yang masih berada di Nusantara untuk melakukan perdagangan individual mengalami dilema, apakah harus kembali ke negeri asal atau justru menetap di Nusantara. Kemudian banyak yang menetap, dan sayangnya tidak sedikit mereka yang membentuk kelompok-kelompok bandit, seperti yang terjadi di Sumatera Selatan (mencakup Bangka dan Belitung). Saat itu (abad ke-14) Palembang menjadi pusat bajak laut yang terkenal.  Dengan adanya pemukiman Tiongkok, ditambah dengan mereka yang berbuat kejahatan, maka otomatis membuat etnis Tionghoa memiliki jarak dengan pribumi.
            Menurut beberapa sosiolog, kebencian kepada etnis Tionghoa di beberapa tempat, khususnya di Indonesia adalah karena prejudice (prasangka). Prasangka-prasangka tersebut tercipta karena terjadi kesenjangan komunikasi. Kesenjangan yang terjadi karena jarak yang tidak sengaja dibangun antar penduduk pribumi dan Tionghoa sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Bahkan kita masih dapat menyaksikan orang-orang Tionghoa yang tidak bisa berbahasa Indonesia, padahal sudah tinggal di Indonesia bertahun-tahun dan beranak-pinak. Hal ini mungkin akan sulit kita temukan di Pulau Jawa, tetapi sangat mudah sekali kita temukan di daerah-daerah seperti Kalimantan Barat dan Sumatera. Di Singkawang, Kalimantan Barat, yang setengah penduduknya beretnis Tionghoa, tidak sedikit dari mereka yang bertutur bahasa etnisnya masing-masing dalam kesehariannya ketimbang Bahasa Indonesia. Hal itu membuat mereka sulit berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia. Kenyataan-kenyataan inilah yang membuat prasangka buruk antar pribumi dengan etnis Tionghoa semakin menjadi-jadi.
            Sejak dulu memang orang Tionghoa memiliki orientasi sangat kuat kepada leluhurnya, dan lagi-lagi ini yang membuat mereka sulit berasimilasi dengan warga setempat. Apalagi chauvinisme di kalangan mereka cukup tinggi, sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat daripada suku lain. Pada zaman kemerdekaan, pemimpin redaksi harian Sin Po, Kwee Kek Beng, menyebut warga pribumi dengan istilah Hoan Nah, yakni bermakna “tidak beradab”. Sedangkan masyarakat Singkawang kadang menyebut pribumi dengan sebutan Fan Nyin, yang artinya “setengah manusia” atau bisa disebut juga barbar. Maka wajar saja jika etnis Tionghoa selalu dekat dengan prasangka buruk dari orang-orang pribumi.
            Kita kembali lagi ke masalah Ahok. Karena tidak jarang Ahok mengaku bahwa dirinya sering berkata-kata kasar karena ia lahir dan besar di Belitung. Pernyataan ini serta-merta ditentang Yusril Ihza Mahendra. Sebagai orang Belitung asli dan merasa lebih pantas sebagai orang Belitung karena dia adalah pribumi, Yusril mengatakan bahwa orang Belitung itu tuturannya santun, bahkan ia menunjukkan penghargaannya pada tahun 2003 sebagai tokoh yang baik dalam berbahasa. Kemudian Yusril mengatakan bahwa mungkin Ahok bersikap seperti itu karena adat Tionghoa Khek di Belitung, bukan karena Belitung-nya.
            Dengan demikian seharusnya Ahok tidak semakin menunjukkan bahwa prasangka buruk masyarakat terhadap etnis Tionghoa itu benar. Seharusnya ia mencoba untuk memperbaiki hubungan tersebut. Karena persatuan bangsa merupakan hal yang sangat inti dalam soal bermasyarakat dan bernegara. Jangan salahkan orang yang menghina etnisnya Ahok, karena menurut mereka etnisnya Ahok dari dulu memang begitu. Sekalipun kita harus melarang orang yang menghina etnisnya Ahok, karena Ahok adalah individu, dan yang kita salahkan sikap individunya, bukan etnisnya.

            Sudah sepatutnya penegak hukum adil dan tidak berlaku naif soal proses hukum Ahok. Tidak ada ketidaksengajaan yang dilakukan Ahok, karena ia memang murni berpikiran bahwa banyak orang-orang yang menggunakan QS. Al-Maidah: 51 untuk “membohongi” agar tidak memilih pemimpin non-muslim. Ahok adalah seorang Kristen Protestan, maka bukanlah domainnya membicarakan al-Qur’an, apalagi mengaku paham tafsir al-Qur’an. Sungguh naif orang yang demikian, karena jauh lebih baik ia memegang teguh prinsip agamanya. Juga sebagai orang beretnis Tionghoa, seharusnya Ahok menyadari bahwa sikap seperti itu hanya memperkeruh suasana, dan menambah citra buruk etnis Tionghoa di Nusantara.

Tuesday, 18 October 2016

Mempertanyakan yang Harus Dipertanyakan

http://i678.photobucket.com/albums/vv147/falasik/berhentimenyalahkanoranglain.png

Masih hangat diperbincangkan soal calon gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok yang mengingatkan masyarakat sebuah daerah di Kepulauan Seribu agar tidak mudah dibodohi orang lain, hingga dibohongi dengan surah al-Maaidah ayat 51. Meskipun Ahok sudah meminta maaf secara terbuka, namun gelas yang pecah tidak mungkin dapat rapat kembali. Itulah yang terjadi pada umat Islam yang merasa terhina oleh tutur kata Ahok yang sungguh tidak sopan. Ini bukan sekali-dua kali Ahok melakukan blunder di hadapan publik. Beberapa kali Ahok kerap dan memang patut disalahkan karena berkata tidak pantas di muka publik, terlepas dari benar atau salah tindakannya.
Memang pada kenyataannya tiada manusia yang dibenci oleh seluruh manusia yang lain, pun tiada manusia yang dicintai oleh seluruh manusia yang lain. Toh tidak sedikit pihak muslim membela perbuatan dan perkataan Ahok. Salah satunya siapa lagi kalau bukan Nusron Wahid, yang belakangan juga ramai diperbincangkan di dunia maya sebab sikapnya berkoar-koar membela Ahok dan menyalahkan MUI dalam sebuah forum diskusi yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi nasional. Tetapi inti tulisan ini bukanlah untuk membicarakan soal Ahok dan Nusron.
            Saya sebagai penulis tunggal –setidaknya hingga tulisan ini saya publikasikan- dalam situs ini ingin membicarakan soal mendudukkan kembali siapa yang harus disalahkan, siapa yang harus dibenarkan, dan juga siapa yang harus dipertanyakan. Disadari atau tidak, umat manusia –khususnya umat Islam- dari zaman ke zaman belum selesai dalam membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip. Masih banyak muncul pertanyaan semacam, “apakah Islam itu ideologi?”, atau pertanyaan, “apakah al-Qur’an benar-benar otentik atau sudah diubah sebagaimana Injil dan Taurat?”. Lucunya pertanyaan-pertanyaan remeh seperti itu dipertanyakan oleh umat Islam sendiri, bahkan para akademisi di kampus-kampus Islam. Padahal sudah seharusnya umat Islam mengetahui dengan jelas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Memang ada kesalahan terstruktur yang tidak disadari sedari dulu, yakni soal penanaman paham yang kuat kepada umat Islam sejak dini. Kita –umat Islam- bahwa shalat lima waktu itu wajib, zakat itu wajib, puasa Ramadhan wajib, shalat tarawih sunnah, memotong kuku pada hari Jumat itu sunnah atau makan daging babi itu haram, tanpa pernah diberitahu sebab-sebabnya. Padahal, untuk menetapkan sebuah amalan itu wajib atau sunnah, tidaklah semudah itu. Ada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dalam hukum Islam, sebagaimana dalam hukum yang lain. Ahkamul khamsah yang sudah kita ketahui sejak kecil tidak muncul secara bim salabim abrakadabra lalu muncullah hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Tetapi mengalami proses pengkajian yang panjang oleh para ulama dan juga fuqaha (ahli fikih). Bahkan dalam Mazhab Hanafi, Imam Abu Hanifah menetapkan hal yang berbeda, yakni menjadi fardhu, wajib, mandub/sunnah,  makruh  tanzihiyan, makruh tahrimiyan, haram dan mubah. Semua itu melalui proses pengkajian yang cukup panjang.
            Semenjak runtuhnya supremasi kejayaan Islam yang diwajahi oleh Dinasti Ottoman di awal abad ke-20, umat Islam kehilangan kekuatan hampir di segala aspek. Itulah awalan yang membuat kebanyakan bagian dari umat Islam hanya menjadi penonton hingga detik ini. Percepatan informasi, kecanggihan teknologi, kemajuan peradaban, dan keistimewaan lainnya hanya bisa dinikmati umat Islam tanpa mereka bisa menciptakannya. Bersamaan dengan itu, mulai muncul kembali tokoh-tokoh Islam yang ingin mengembalikan kejayaan. Sebut saja Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya, atau Taqiyuddin an-Nabhani dengan Hizbut Tahrir-nya. Mereka kembali mengingatkan kepada umat Islam tentang janji-janji Allah dan Rasul-Nya, tentang keutamaan menegakkan syariat, tentang kenikmatan di akhirat kelak. Mereka mencoba memantik semangat umat Islam yang lama tertidur panjang dalam buaian mimpi. Sementara di pihak Barat, muncul pula upaya-upaya untuk mencederai usaha mereka. Maka dibuatlah penelitian untuk mengkritisi teks al-Qur’an, mendekonstruksi syariat, hingga mengundang para pemuda muslim untuk dibina oleh mereka dengan dalih pewarnaan dalam keilmuan.
            Diskusi tentang integritas al-Qur’an sebenarnya bukanlah ‘karya’ orisinil dari Barat, tetapi sudah terjadi pada periode awal Islam. Soal ini telah dibahas oleh para cendekiawan terdahulu macam Abu ‘Ubayd al-Qasim ibn Sallam, Imam al-Baqillani, hingga Jalaluddin as-Suyuthi.[1] Namun, atas kealpaan umat Islam, juga kecerdikan cendekiawan Barat, isu-isu semacam itu seolah-olah menjadi hal yang baru. Disamping itu, kodifikasi dan penulisan al-Qur’an menjadi sebuah kitab yang baku sudah sangat ciamik dilakukan oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Abu Bakr ash-Shiddiq. Utamanya Zaid mengumpulkan ayat-ayat dari hafalan-hafalan orang lain, kemudian diperbandingkan, diteliti, barulah ditulisnya dalam lembaran sebagai teks yang baku.[2] Kecerdikan para tokoh Barat sebenarnya sudah mulai terlihat ketika mereka menyontek habis-habisan kemudian menggubahnya menjadi karya yang baru lewat teori-teori yang dikemukakan Ibnu Sina soal kedokteran, al-Khawarizmi soal matematika, Ibnu Khaldun soal sosial, dan ilmuwan-ilmuwan muslim lainnya. Ujung-ujungnya syariat Islam dipertanyakan kembali, mulai dari jilbab, isu poligami, hukum yang bias gender, hingga soal politik dan pemerintahan. Fase umat Islam yang hingga memasuki abad ke-18 sudah sesuai dengan siklusnya, harus mengulang kembali dari awal. Dimana umat Islam tidak memiliki apa-apa untuk dipamerkan ke hadapan khalayak ramai. Pertanyaannya adalah, apa dan siapa yang harus disalahkan, dibenarkan, dan dipertanyakan?
            Tulisan-tulisan semacam ini sesungguhnya sudah banyak sekali. Tulisan yang berisikan tentang semangat umat Islam yang mulai menurun dan bagaimana melecutnya sudah banyak sekali beredar. Salah satu yang paling terkenal adalah kumpulan jawaban dari pertanyaan seorang ulama sekaligus raja asal Sambas, Kalimantan Barat, Basyuni Imran kepada Syaikh Syakib Arsalan yang dibukukan dengan judul Limaadza Ta’akhkharal muslimin wa Limadzaa Taqaddama Ghayruhum. Namun, kesadaran umat Islam belum juga sepenuhnya mencapai titik puncak. Maka, kejadian tempo hari soal Ahok yang berbicara soal “dibohongin pake surat al-Maidah 51” diikuti dengan reaksi umat Islam di berbagai penjuru negeri adalah hal dapat dikatakan terlambat meskipun tindakan semacam ini memang sangat perlu. Juga kesalahan-kesalahan logika yang dipamerkan oleh Nusron Wahid yang tanpa malu-malunya seharusnya membuat umat Islam terus belajar, bahwa seorang muslim tidak boleh segegabah itu. Ketika Nusron mengatakan bahwa hanya Allah dan Rasul-Nya yang berhak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sungguh Nusron seolah tak pernah menengok sejarah dan hadis-hadis Rasulullah. Meskipun saya masih tetap yakin, bahwa ilmu agama Nusron masih jauh di atas ilmu agama yang saya miliki. Seorang santri seperti Nusron, tidak mungkin lupa dengan hadis, “Ambillah bacaan Al Qur'an dari empat orang. Yaitu dari 'Abdullah bin Mas'ud, kemudian Salim (maula Abu Hudzaifah), lalu Ubay bin Ka'ab dan Mu'adz bin Jabal”.[3] Jelas sekali Rasulullah berpesan bahwa siapapun bisa menafsirkan isi al-Qur’an seperti dirinya, asalkan memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana yang dimiliki oleh keempat orang tersebut. Sedangkan Nusron juga mengetahui tentang hadis yang menyebutkan zaman  terbaik adalah zaman Rasulullah, kemudian setelahnya (sahabat), kemudian setelahnya, dan seterusnya. Artinya ia tidak perlu membahas soal gubernur beragama Nasrani di zaman Khilafah ‘Abbasiyah, karena kita sebagai umat Islam harus mengikuti zaman terbaik, yakni zaman Rasulullah. Untuk apa kita berlelah-lelah mengikuti zaman yang kebaikannya jelas di bawah zaman Rasulullah.
            Akhirnya, mungkin kita harus banyak berterima kasih kepada orang-orang seperti Ahok dan Nusron Wahid, karena atas ‘jasa’ mereka-lah umat Islam dapat bersatu turun ke jalan menunjukkan solidaritasnya sebagai umat Islam yang marah karena kitab sucinya dilecehkan sebagaimana yang terjadi beberapa hari lalu. Ternyata, kita harus menyalahkan diri kita sendiri, membenarkan orang-orang yang menghujat kita, dan mempertanyakan keislaman kita.




[1] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani, 2008), hlm. 24.
[2] Prof. Dr. M. M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text: from Revelation to Compilation A Comparative Study with the Old and New Testaments, alih bahasa Sohirin Solihin dkk., (Depok: Gema Insani, 2005), hlm. 90.
[3] Shahih Bukhari No. 3476

Saturday, 1 October 2016

Jangan Berharap "Asal Jangan"

Ini soal harapan. Ya, tulisan ini soal harapan. Setiap orang pasti pernah berharap dalam hidupnya. Apa yang diharapkan pastilah sesuatu yang diinginkan. Keinginan yang menjadi harapan pun pastilah atas dasar pertimbangan tertentu. Misalnya saja ketika pasangan suami-istri mendapatkan momongan. Mereka pasti akan memberikan nama yang terbaik bagi anaknya, dengan harapan nama tersebut menjadi doa dan bisa menginspirasi sang anak ketika dewasa kelak. Maka para orang tua pastilah berharap anaknya menjadi anak yang berguna bagi keluarga, bangsa, bahkan agama. Tidak ada harimau yang memakan anaknya sendiri. Begitupun manusia yang lebih mulia daripada harimau. Manusia bukan hanya tidak ingin mencelakakan anaknya sendiri, namun lebih dari itu, manusia berharap anak-anaknya dapat meneruskan cita-cita dan perjuangannya kelak. Atas dasar harapan yang tinggi itulah, hampir mustahil apabila para orang tua berharap anaknya sekadar “asal jangan durhaka”.
            Harapan itu tidak ada batasnya. Harapan dibatasi oleh pelakunya sendiri. Nyatanya sah-sah saja berharap setinggi-tingginya, asalkan jangan memaksakan keadaan. Itulah yang dilakukan para nabi di masa lampau. Salah satunya adalah harapan yang dipatri oleh Nabi Zakariyya ‘alayhissalam, “Dan aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku.”[1]Sejatinya mempunyai anak adalah termasuk ketetapan-Nya. Ada yang ditakdirkan memiliki anak banyak, ada yang ditakdirkan hanya memiliki seorang anak, ada pula yang ditakdirkan tidak memiliki anak sama sekali. Sayang seribu sayang, lelaki tua ini adalah seorang nabi yang Allah limpahkan karunia padanya. Tidak memiliki putra, berarti tidak memiliki pelanjut estafer perjuangan. Tubuh Zakariyya ‘alaihissalam telah ringkih, rambutnya sudah memutih, hatinya bersedih, kemudian berdoa dengan suara lirih. Tentunya sebuah harapan yang sangat melangit apabila ia meminta anak di usia setua itu. Tentunya harapan yang dibangun oleh Zakariyya bukanlah sekadar harapan “asal jangan tak berketurunan”, tetapi harapan akan ada orang yang melanjutkan risalah dakwahnya.
            Belakangan ini, harapan “asal jangan” menjadi populer. Apalagi penyebabnya kalau bukan pilkada DKI yang akan menampilkan tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur. Harapan awal yang dibangun umat Islam dari kalangan islamis –karena banyak umat Islam dari kalangan abangan- di Jakarta beberapa kali menyuarakan agar umat Islam mengusung satu pasangan calon saja. Dikarenakan mereka tidak menginginkan Ahok, yang notabene beragama non-Islam untuk memimpin DKI Jakarta. Harapan umat semakin tinggi manakala muncul koalisi kekeluargaan yang dibangun oleh beberapa partai, sebut saja PPP, PAN, Demokrat, PKB, Gerindra, dan PKS. Sembari menunggu PDIP bergabung, koalisi tersebut memunculkan sejumlah nama yang akan diusung. Selain Sandiaga Uno, nama-nama yang muncul menyentuh nama Ridwan Kamil, Yusril Ihza Mahendra, Yusuf Mansur, hingga walikota perempuan fenomenal, Tri Rismaharini yang rencananya akan dicabut dari kursi walikota Surabaya untuk dipinang warga DKI. Namun, harapan tinggallah harapan. Hingga batas kesabaran koalisi kekeluargaan habis, PDIP belum juga bergabung, yang artinya Risma pun semakin sulit dijangkau.
            Jengah, koalisi kekeluargaan mulai pecah. Gerindra dan PKS, sebagai dua partai pemilik kursi parlemen terbanyak di DKI setelah PDIP, mantap mengangkat duet Sandiaga Uno-Mardani Ali Sera. Publik yang awalnya mulai membayangkan peta persaingan yang semakin menguatkan Ahok, kemudian mulai pesimis terhadap pasangan calon yang diusung oleh Gerindra-PKS. Namun di menit-menit akhir, Mardani hilang dari peredaran, menyisakan Sandi yang belum jelas akan dipasangkan dengan siapa. Yusril yang setahun belakangan ini mulai digadang-digadang untuk menduduki kursi DKI 1 semakin muncul ke permukaan. Perundingan yang dilakukan PKS dan Gerindra pun menemui mufakat, bahwa Yusril takkan diusung oleh mereka. Desas-desus beredar bahwa syahwat politik yang terlalu besar dalam diri Yusril membuat Gerindra dan PKS enggan mengusungnya. Yusril berencana untuk nyapres di 2019. Artinya, Yusril akan mengikuti jejak Jokowi. Bedanya, Jokowi digambarkan oleh media sebagai manusia tanpa dosa yang bergelimang prestasi sebagai pemimpin daerah. Sedangkan Yusril tergambar di media sebagai orang cerdas yang angkuh dan belum teruji apabila diberi kesempatan memimpin sekian juta rakyat dalam sebuah provinsi. Selain itu, status Yusril yang masih menjabat sebagai pimpinan sebuah partai juga menjadi masalah tersendiri bagi Gerindra dan PKS. Wajar, mereka saja sulit mengusung tokohnya dalam pilkada DKI, masak harus mengajukan tokoh dari partai lain? Jelas rasa gengsi menyelimuti. Bayangan pertarungan antara anak Belitung Barat (Yusril) dengan anak Belitung Timur (Ahok) pupus sudah. Harapan yang tadinya muncul agar Ahok kalah telak atas head to head yang ada, sirna begitu saja. Karena di menit-menit akhir, peta pertarungan berubah.
            Koalisi kekeluargaan pecah, dengan menyisakan Gerindra berjuang berdua bersama PKS yang secara mengejutkan mengusung Anies Baswedan yang disandingkan dengan Sadiaga Uno sebagai wakilnya. Sedangkan yang lain bergabung mengusung Agus dan Sylvi. Menariknya, Anies adalah orang yang dianggap berpandangan liberal soal agama, dan tentunya ini bertentangan dengan ideologi Islam yang dianut para kader PKS. Artinya, kader-kader PKS yang dulunya sering ‘menghujat’ Anies, setidaknya akan memuji dan mencari kebaikan Anies dalam setahun ke depan, atau justru enam tahun ke depan apabila Anies-Sandi terpilih. Hal ini tidak mengherankan, karena dahulu ketika pemilihan presiden pun kader-kader PKS yang awalnya ‘menghujat’ Prabowo dan tokoh partai lain, berbalik mendukung dan memuji habis-habisan ketika PKS memutuskan untuk mendukungnya.
            Sementara itu, pencalonan Agus sebagai calon gubernur dari Demokrat dinilai hanya ingin memenuhi ambisi ayahnya yang tidak ingin namanya tenggelam di kancah perpolitikan Indonesia. Agus yang memang cukup cerdas dari segi akademik dan kemiliteran, dengan mudahnya melepas status ketentaraannya untuk maju di pilkada DKI. Entah peluang apa yang sedang dibaca ayahnya. Yang jelas, kalah atau menang, Agus akan melanjutkan kiprah ayahnya di dunia politik pasca pilkada DKI. Sedangkan PDIP sebagai partai –yang mengaku- raja di DKI akhirnya menjatuhkan pilihan kepada pasangan Ahok-Djarot. Risma yang tadinya digadang-gadang akan dimajukan, nampaknya hanya akan disimpan untuk diusung menjadi Jatim 1, atau bahkan menjadi RI 1 di 2019 apabila Jokowi nantinya ‘susah dibilangin’. Karena di masa yang akan datang, PDIP akan menghadapi nama-nama yang terbilang berat dan bersih, Ridwan Kamil misalnya.
            Akhirnya, harapan umat Islam yang tadinya menginginkan head to head antara calon muslim dengan calon non-muslim sekarang buyar. Lagi-lagi hanya karena syahwat politik yang tak terbendung demi menggapai kekuasaan. Anekdot pun berkembang di tengah masyarakat, “Mau Agus atau Anies, yang penting asal jangan Ahok”. Publik seolah haram berharap setinggi-tingginya soal pemimpin DKI, karena kondisi yang memaksa demikian. Harapan yang dibangun dengan “asal jangan” hanyalah harapan kosong yang dibalut dengan keputus-asaan. Pada akhirnya mereka yang berharap akan kecewa dan berbalik melawan, tetapi tidak menutup kemungkinan harapan itu justru berakhir manis, atau malah melebihi ekspektasi. Yang jelas, para islamis di DKI bisa mendapat pahala atas harapan “asal jangan”-nya karena berikhtiar agar tidak memilih pemimpin non muslim –yang menzalimi umat.
             



[1] Maryam (19): 3

Wednesday, 10 August 2016

Menikah Muda Harga Mati (?)


Baru-baru ini kompor-mengompor untuk menikah muda kembali gencar. Apalagi penyebabnya kalau bukan momen pernikahan putra dari K.H. Muhammad Arifin Ilham, Muhammad Alvin Faiz, yang masih terbilang unyu-unyu dengan perempuan beretnis Tionghoa, Larissa Chou. Menjadi fenomena dan media untuk kompor-mengompor karena usia pasangan tersebut yang masih sangat hijau. Larissa masih berusia dua puluh tahun, sedangkan Alvin lebih unyu lagi, berusia tujuh belas tahun yang artinya ia harus menjalani persidangan agar dapat diizinkan oleh negara untuk membina rumah tangga, dimana usia minimal yang disyaratkan adalah sembilan belas tahun.
            Sekejap saja muncul berita-berita bersliweran di pelbagai macam media. Menariknya, saya menandai ada dua topik besar yang hangat diperbincangkan di antara berita-berita tersebut. Topik pertama adalah –apalagi kalau bukan- ajakan untuk menikah muda. Topik kedua –dan ini yang menurut saya menarik karena cenderung ilmiah- adalah bagaimana kecerdasan Alvin dapat mematahkan logika Larissa beserta ayah dan neneknya untuk memeluk Islam. Kedua topik ini berkaitan dengan masalah peradaban, namun jangan heran kalau hanya topik pertama yang terus-menerus diangkat dan dielu-elukan. Terlebih di negeri kurang kasih sayang ini, topik cinta-cintaan selalu laris di pasaran. Berapa banyak novel bernafaskan cinta dan nikah muda, pun berapa banyak film bertemakan cinta, tak terkecuali Film Tausiyah Cinta. Bahasan cinta, apalagi nikah muda, sudah kadung menjangkiti hati dan pikiran para aktivis muslim yang tanpa sadar hidupnya diarahkan oleh politik. Kini, coba Anda klasifikasikan, lebih banyak mana antara aktivis yang menyukai bacaan dan bahasan cinta-cintaan dengan aktivis yang menyukai bahasan berat soal kenegaraan dan pergerakan. Kalau penasaran, cobalah Anda hitung berapa banyak yang hadir pada seminar nasional ketahanan bangsa dan seberapa sering frekuensi diadakannya, kemudian bandingkan dengan hadhirin wal hadhirat seminar nasional pra-nikah membangun keluarga sakinah penuh inspirasi tak menjemukan diri juga jangan lupa hitung seberapa sering frekuensi diadakannya seminar sejenis. Sama atau beda? Kalau beda, lebih banyak yang mana?
            Jikalau agama saya membolehkan bertaruh, saya akan jadi kaya raya karena menebak lebih banyak dan lebih sering yang disebut kedua ketimbang yang pertama. Mengapa? Saya tertarik ketika Alvin Faiz bertanya kepada wartawan dalam tayangan berita selebriti –sumpah, hanya sekadar lewat, saya tidak benar-benar menontonnya-, “Mengapa anak muda pada pacaran?” kemudian ia menjawabnya sendiri, “Karena itu fitrah. Fitrahnya manusia butuh pasangan.” Saya angkat topi dengan pernyataan ini. Karena anak sekecil itu tidak berkelahi dengan waktu, ya memang karena tidak berlama-lama ia membujang, dan anak kecil yang berkelahi dengan waktu hanyalah si Budi dalam lagunya Iwan Fals. Alvin di usianya yang belum menginjak kepala dua sudah bisa bijak untuk tidak menghujat para bujang yang perlahan menua karena menunda pernikahan. Alvin lebih memilih untuk mengatakan bahwa fitrahnya manusia itu butuh pasangan. You’re my man!
            Dus, mengapa tema cinta-cintaan dan nikah-nikahan lebih diminati ketimbang tema lainnya? Karena memang fitrah. Cinta itu fitrah, manusia butuh kasih sayang dan penyaluran hasrat seksual. Bahkan al-Qur’an pun sampai menggunakan bahasa “mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka”. Kata “pakaian” memang harus ditebalkan agar jelas penekanannya. Ini bukan perkara mudah, karena pakaian adalah kebutuhan primer kita, bahkan seringkali lebih dibutuhkan daripada makanan. Pilih mana antara puasa seharian di pesta makan dengan telanjang seharian di muka umum? Kalau orang waras pasti memilih yang pertama. Tetapi berita tentang pernikahan muda acapkali tidak hanya berhenti di bahasan fitrah manusia, melainkan jauh daripada itu. Bahasan yang diangkat adalah keutamaan menikah muda, mengapa menunda pernikahan, mengapa tidak berani berikan kepastian, mengapa modus sana-sini yang akhirnya semua bahasan tersebut mengarah kepada lelaki atau bahasa kerennya ‘ikhwan’ yang memang selalu salah sepanjang masa.
            Saya sengaja menulis ini sekarang, ketika status saya masih bujangan. Karena jika saya menulisnya ketika sudah menikah, mungkin emosi saya ketika menulis tidak lagi menggebu-menggebu. Bukan, saya sama sekali bukan sedang membela diri atau berdalih menunda menikah. Kalau memang bisa, saya akan menikah sebelum usia saya menginjak kepala dua. Tetapi jodoh adalah masalah takdir, dan takdir semacam ini bukan takdir yang bisa kita ubah seenak jidat. Takdir semodel ini murni Tuhan yang menetapkan tanpa bisa diganggu-gugat. Maka apapun yang kita usahakan, kalau belum waktunya pasti tertolak juga, meskipun tidak ada usaha yang sia-sia.
            Bahasan pertama, dan ini yang paling sering muncul, adalah ‘menikah itu nikmat’. Buku-buku, kajian-kajian, seminar-seminar, atau apapun tentang pernikahan yang islami selalu memunculkan bahasan ini. Menikah itu nikmat. Tidak ada kerugian yang kita dapatkan apabila kita menikah. Seolah-olah perjuangan hidup, perjuangan cinta, juga perjuangan melawan kemalasan kita selesai setelah menikah. Seolah-olah pernikahan adalah jaminan surga yang tidak dapat ditawar lagi. Bahasan kedua, hukum menikah itu ada lima, bukan hanya satu. Di antaranya wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Pada bahasan ini banyak yang mengacu kepada hadits “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian memiliki ba’ah, maka meniukahlah, karena yang demikian itu dapat menundukkan pandangan dan  memelihara kehormatan, tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia puasa, karena (puasa) itu menahan nafsu baginya.”[1] Sayangnya banyak yang memaknai hadits ini secara serampangan. Para ulama memang berbeda pendapat menyoal “ba’ah”. Sebagian mengatakan maknanya adalah kemampuan berjima’. Di zaman para ulama dahulu, memang dapat dikatakan cukup bila mampu bersetubuh, karena para bujangan justru akan dikayakan oleh pemerintah agar dapat membina rumah tangga. Tetapi di masa sekarang, pendapat beberapa ulama, termasuk Imam an-Nawawi lebih rasional, yakni maknanya adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan. Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim Juz IX/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah. Selain itu, Asy-Syaukani dalam Naylu Al-Awthar Juz VI/229 juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa maksud kata mampu yang kedua “siapa yang tidak mampu menikah” adalah tidak mampu menikah karena sedikitnya kemampuan menanggung beban-beban pernikahan dan karena kekurangan dalam bersetubuh, maka baginya berpuasa. Oleh sebab itu, hukum menikah tidak hanya satu, tergantung situasi dan kondisi. Maka, yang paling mengetahui bahwa seseorang sudah wajib atau masih dalam tahap sunnah, atau bahkan haram menikah adalah orang itu sendiri. Bukan hak manusia manapun menentukan hukum bagi orang tersebut selain orang itu sendiri.
            Pada era modern seperti sekarang, beban pernikahan tidak hanya mencakup satu-dua poin saja, tetapi mulai menumpuk layaknya pakaian siap cuci di laundry. Berhentilah menyalahkan zaman. Berhentilah mengejek bujang takut miskin. Berhentilah menyalahkan orang tua yang jual mahal untuk anak gadisnya. Berhentilah menghina para ‘cewe matre’. Karena semua itu tidak menyelesaikan masalah. Secara logika, memang harta bukan segalanya. Tetapi coba bandingkan, lebih nikmat mana menangis di dalam mobil ber-AC dibandingkan menangis di dalam bajaj yang super bising? Ini memang bukan soal harta, tetapi masalah meyakinkan beberapa individu. Baiklah si bujang siap menikah, si gadis siap dipinang, tetapi apakah semua orang tua yang memiliki anak gadis di dunia ini berpikiran harta bukanlah segalanya? Baiklah si bujang siap menikah, si gadis siap dipinang, orang tua si gadis terima apa adanya, tetapi keluarga si bujang belum sreg dengan calon besannya, atau belum sreg melepas anak bujangnya sekalipun telah menunjukkan gelagat mandiri. Bukankah lelaki tidak butuh wali? Benar. Tetapi jangan lupa, menikah bukan hanya pertautan antara si bujang dengan gadis, tetapi juga ‘perkawinan’ bagi dua keluarga. Jangan harap hidup bahagia bila ridho orang tua belum diraih.
            Apabila kita membuka karya para ulama tentang fiqh munakahat, menikah adalah perkara besar yang sekilas rumit. Barangkali itulah yang membuat para ulama sekelas Imam Bukhari –kabarnya beliau sudah menikah, kemudian istrinya wafat lalu memilih membujang-, Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, hingga Sayyid Quthb memilih berlama-lama membujang demi menuntut ilmu, mengingat butuh banyak ilmu yang harus dipersiapkan untuk menikah. Toh takdir menggariskan mereka memang tidak berjodoh dengan siapapun di dunia, tetapi jodoh di surga jauh lebih pantas bagi mereka. Ini prinsip, mana mungkin kita berani mencibir mereka karena memilih menjomblo? Jelas kualitas kita amat jauh di bawah mereka. Tetapi bukan berarti kita punya hak untuk leluasa menekan kawan-kawan yang menunda pernikahan karena tanggung menyelesaikan studinya. Rusaknya lagi, para aktivis muslim yang lebih sering disapa “akhi” dan “ukhti” dalam kesehariannya mudah tergiur disebabkan foto-foto mesra para pasangan muda yang bertebaran di media sosial. Ini salah siapa? Ah, tidak ada asap jika tidak ada api. Mohon para pasutri muda yang bijaksana, jangan memulai. Kalian bukan lagi anak SMA yang harus mengekspos kegiatan mesranya di media sosial. Itu sungguh kekanak-kanakan. Alangkah mulia apabila kalian menyimpan kemesraan di kamar peraduan.
            Sekali lagi, saya bukan sedang membela diri karena belum –kunjung- menikah, tetapi hanya ingin menyampaikan kepada khalayak bahwa tidak semua bujangan memiliki masalah yang sama soal menunda menikah, dan tidak semua bujangan menunda menikah hanya karena takut miskin. Ada banyak faktor yang membuat mereka belum menikah, dan seringkali faktor-faktor tersebut bukanlah konsumsi publik. Tujuan saya menulis ini adalah agar para suami ataupun istri memiliki jiwa solidaritas yang tinggi agar berhenti –atau setidaknya mengurangi- bahasan-bahasan yang menyerang para jomblo. Kalau memang bullyan bertujuan untuk memberi semangat, berilah semangat dengan cara yang baik. Bukan main kompor-komporan. Percayalah, mereka semua sama seperti kalian, ingin segera menikah, ingin segera melanjutkan keturunan, ingin segera menggenapkan separuh agamanya. Hanya saja nasib mereka tidak sebaik kalian. Mungkin mereka harus menanggung beban hidup keluarganya, mungkin mereka terhalang karena baktinya kepada ilmu, mungkin mereka sedang berjuang meyakinkan pihak keluarga mereka sendiri, atau mungkin mereka masih syok karena incarannya kadung dinikahi orang lain, dan ini yang paling sakit.
            Terakhir, ingat bunyi awal ayat surah al-Baqarah ayat ke-256? Ya, Laa ikraaha fi ad-diin. Para ulama tafsir termasuk Ibnu Katsir menafsirkan bahwa maknanya adalah tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam agama Islam. Bila dilihat dari keumuman ayat, makna ayat ini termasuk pula tidak ada paksaan untuk menjalankan syari’at Islam. Karena qad tabayyana ar-rusydu min al-ghay. Sudah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat. Orang beriman yang sehat akalnya pasti berjalan di atas jalan yang benar. Lagi-lagi, percayalah. Para jomblo yang beriman dan berakal sehat sesungguhnya tidak ingin menunda pernikahan, tetapi masalah mereka memang beragam. Maka bersolidaritaslah, wahai para manusia yang telah menikah.




[1] Bukhari

Saturday, 9 July 2016

Kaum Beriman Marginal

https://ekoprayoga.wordpress.com/2010/03/29/potret-kehidupan-masyarakat-marginal/
Sebelum kita berbicara lebih jauh, barangkali ada yang bertanya; maksud dari judul ini apakah kaum beriman yang marginal, atau kaum beriman yang imannya marginal? Baiklah, sebenarnya sama saja. Karena pada tulisan kali ini, saya akan membahas masalah kaum beriman yang berada di pinggir, dan orang-orang yang kadar imannya hanya di bagian pinggir saja, yakni tidak menyeluruh. Setiap muslim tidak boleh memaksa manusia lain untuk beriman, mereka boleh mengajak tetapi tidak boleh memaksa. Tetapi sesungguhnya tidak ada larangan bagi setiap muslim memaksa dirinya sendiri untuk lebih beriman, lebih taat, dan lebih baik dari yang lain dalam hal ibadah, maka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
            Teringat sepenggal lagu grup band Gigi yang dibuat berdasarkan sebuah hadis. “Pagi beriman, siang lupa lagi. Sore beriman, malam amnesia”. Sebagaimana hadits yang berbunyi, “Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.”[1]
            Marginal, kita bukan sedang membicarakan nama sebuah grup band dengan lagu-lagunya yang menyuarakan perlawanan terhadap penguasa serakah. Tetapi sedang membicarakan makna marginal itu sendiri yang dapatlah kita artikan sebagai pinggir, tepi, atau kata apapun yang dapat dinisbatkan kepada hal-hal yang berada di pinggir. Oleh karena itu, saya menggunakan istilah marginal kali ini. Kaum beriman yang marginal, atau kaum yang imannya marginal. Tidak, pembicaraan ini tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja. Tetapi karena saya seorang penganut agama Islam, saya menggunakan dasar-dasar dari hukum Islam. Setidaknya sebagai pencitraan saja bahwa saya –berusaha- menunjukkan bukan termasuk bagian dari kaum beriman marginal. Adapun masalah iman, bukan hanya mereka yang beragama Islam saja yang paling berhak membicarakannya. Karena agama lain pun juga memiliki konsep beriman.
            Baiklah. Begini, kita sebagai umat beragama –mohon maaf bagi yang mengaku tidak beragama, selamat menikmati hari-hari tanpa aturan- baiknya berlomba-lomba saja dalam kebaikan, karena itulah sesungguhnya makna toleransi. “Dan setiap umat memiliki kiblat yang mereka menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan!”[2]. Seyogianya tidaklah perlu bagi umat beragama manapun untuk mengorbankan prinsip aqidahnya hanya untuk dikatakan toleran.
Seorang pemimpin non-muslim, mengaku sanggup saja menghafal qur’an, kemudian dia juga membayar zakat. Padahal, perbuatannya itu sia-sia saja, sebab syarat utama berzakat haruslah bersyahadat terlebih dahulu. Sementara dalam agamanya, tidaklah diperbolehkan melaksanakan syariat agama lain, apalagi motifnya politis semata. Ada lagi manusia yang sebangsa dengan pemimpin non-muslim tersebut, kemudian melakukan santunan ke pesantren-pesantren. Apa pentingnya? Toh belum tentu dia menang ketika pemilu. Rakyat belum tentu senang kepadanya, apalagi Tuhannya. Tidak, saya bukan sedang menjadi ‘juru bicara’ tuhan seperti yang dikatakan para liberalis, tetapi justru saya mengikuti logika liberalis, kalau rakyat saja tidak suka, apa lagi tuhan? Bukankah suara rakyat adalah suara tuhan? Di pihak muslim pun sama rimbanya. Ada seorang ‘Gus’ yang mengikuti buka puasa bersama di sebuah gereja, kemudian memberikan ceramahnya di gereja. Apa faedahnya? Ini bukan toleransi, tetapi sudah kebablasan. Begitulah setidaknya cerminan orang beriman marginal, imannya tidak sepenuhnya, keyakinannya tidak sepenuhnya karena ada pengaruh eksternal yang membuatnya tidak yakin sepenuhnya.
            Khusus bagi umat Islam, untuk mengidentifikasi kaum beriman marginal ini mudah sekali. Apalagi belum lama ini Bulan Ramadhan telah berakhir, lebih mudah lagi mengidentifikasinya. Mereka yang di Bulan Ramadhan sangat alim seakan-akan menjadi ulama, tetapi di luar Ramadhan zalim seakan-akan menjadi durjana itu banyak sekali. Saking banyaknya sampai terkadang kita tidak sadar bahwa muslim yang seperti itu termasuk pula diri kita sendiri. Karena beriman hanya di bagian pinggirnya saja, lantas bila ada iming-iming yang mengenakkan, dia bersemangat untuk menggapainya. Tetapi tanpa ada iming-iming, dia lebih memilih mengejar yang lebih tampak bagi matanya. Maka membabi-butalah ia mengejar dunia. Karena beriman hanya di bagian tepi saja, maka dia malu berkumpul dengan orang beriman yang lain, bahkan menunjukkan keimanannya pun dia tak sampai hati karena malu.
            Rugi di dunia, rugi pula di akhirat bila kita beriman hanya di bagian pinggir saja. Maka bagi siapapun yang merasa beragama, berimanlah, beramallah dengan sebaik-baik dan sebenar-benarnya. Berlomba-lomba dalam kebaikan itulah yang utama, tanpa harus sikut-sikutan tentunya. Karena peraturan lomba manapun mengharuskan pesertanya untuk menjalankan lomba secara fair play. Toleransi itu bukan terletak pada sejauh mana kita mengikuti ibadah umat agama lain, tetapi sejauh mana kita menjaga perbuatan kita agar tidak mengganggu ibadah umat agama lain, dan tentunya sejauh mana kita menjaga kesungguhan kita dalam beribadah. Karena siapapun yang beribadah secara sungguh-sungguh dalam agamanya masing-masing, pasti mereka menemukan kebenaran yang hakiki. Dalam kebenaran hakiki itulah, mereka tidak menemukan satupun alasan untuk mencela, menyakiti, atau justru mengikuti prosesi peribadatan agama lain.
        “Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di pinggir; maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dua berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.”[3]




[1] HR. Ahmad.
[2] Al-Baqarah (2): 148.
[3] Al-Hajj (22): 11.

Saturday, 25 June 2016

Aktivitas Ibadah Postmodern


Era globalisasi menawarkan banyak budaya baru. Masa kini, dianggap oleh para ilmuwan bukan lagi era modern, tetapi sudah jauh melampaui era modern. Maka yang dikenal sekarang adalah era postmodern. Tahu makna postmodern? Oh, atau saya ganti saja pertanyaannya; pernah dengar istilah postmodern? Kalau tidak pernah sama sekali mendengarnya, saya beri satu saran: jangan terlalu lama mengalami keterbelakangan informasi. Istilah postmodern sudah marak di pelbagai media, juga tidak asing di telinga kita, terutama di telinga para akademisi. Bila Anda ada waktu luang, silakan ketik saja kata “postmodern” di kolom pencarian mesin pencari Anda. Pasti Anda akan menemukan kemajemukan yang mengembel-embeli istilah postmodern. Sebut saja postmodern art, postmodern anthropology, postmodern architecture, postmodern dance, dan masih banyak lagi istilah lainnya. Setidaknya hal ini menunjukkan bahwa istilah postmodern memang sudah lazim digunakan, dan banyak yang menganggap sekarang adalah era postmodern. Lantas, sebenarnya apa itu postmodern? Singkatnya, post-mo adalah perubahan budaya –mulai dari budaya hidup hingga paradigma berpikir- yang terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Jadi, sesuatu yang sudah modern dan mapan dianggap tidak lagi relevan, sehingga harus dikritik dengan mempertimbangkan subyektivitas, obyektivitas, aspek sosial-historis, bahasa, paradigma, dan kerangka konseptual. (Lihat, Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 24).
            Hari ini, kita melihat segala hal menjadi mudah. Dunia seperti dilipat. Dahulu, untuk naik haji saja dari Indonesia membutuhkan waktu sembilan bulan untuk perjalanan pergi-pulang. Padahal untuk berhaji hanya butuh meluangkan waktu setidaknya satu minggu. Tetapi sekarang dengan adanya pesawat udara, perjalanan menjadi lebih singkat. Bahkan dengan membayar ongkos yang lebih, kita bisa melakukan haji hanya dalam waktu satu minggu. Istilahnya ONH plus-plus. Berita kerusuhan di London sana, bisa kita terima hanya dalam hitungan menit setelah kejadian. Informasi meluncur begitu cepat, bahkan bisa jadi lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan oleh mata kita untuk sekadar berkedip. Selain itu, dengan adanya aplikasi chatting layaknya Whatsapp, Line, Telegram, ataupun, BBM, segala komunikasi menjadi lebih mudah. Tanpa khawatir kehabisan pulsa, siapapun bisa berkomunikasi dengan skala antar-negara, yang penting ada koneksi internet. Simpel. Kita tiba pada masa yang jika disebut tradisional sudah tidak mungkin, jika disebut modern, justru telah jauh melampau modernitas. Oleh sebab itu banyak para sosiolog berpendapat bahwa sekarang memasuki era postmodern.
            Ada hal-hal menarik yang tidak kalah uniknya, khususnya di kalangan umat Islam. Sekarang banyak sekali komunitas yang mengandalkan aplikasi chatting sebagai sarana penunjang aktivitas dakwah dan ibadah mereka. Sebut saja komunitas One Day One Juz. Komunitas ini mengumpulkan banyak orang dalam satu grup whatsapp (WA), kemudian dicek satu per satu apakah anggotanya telah melaksanakan tilawah satu juz dalam satu hari. Setelah booming ODOJ, banyak bermunculan komunitas lain dengan metode yang relatif sama. Intinya sama-sama menggiatkan ibadah bagi para anggota komunitasnya. Tren ini pun terus berkembangnya dengan cepatnya. Hingga kini, banyak sekali aktivitas-aktivitas yang cukup dikoordinasi lewat WA. Mulai dari diskusi online, kajian, hingga mempelajari suatu materi tertentu seperti bahasa asing.
            Baik atau buruk? Seperti biasa, kita tidak bisa menilai sebuah hal hanya melalui satu sudut pandang saja. Seperti biasa pula, fenomena semacam ini akan menimbulkan pro dan kontra. Orang-orang yang mobilitasnya tinggi, jadwal aktivitasnya amat padat, pastinya pro dan mungkin sangat mendukung fenomena ini. Di sisi lain, mereka yang konservatif pastinya kontra dan menginginkan keadaan kembali sebagaimana dahulu, agar tercipta intensitas tegur-sapa yang baik, dan budaya yang ramah lingkungan.
Bagaimanapun, fenomena ini sudah terjadi dan membuat kita yang menjadi korban sekaligus pelaku sudah sedemikian jauh terbawa arus. Upaya untuk mengembalikan keadaan seperti semula akan berujung sia-sia. Sedangkan tindakan untuk mendukung sepenuhnya, sepertinya akan membawa kita pada zaman acuh tak acuh. Karena tidak bisa dipungkiri, fenomena ini menjadikan masyarakat minim sosialisasi, bertegur-sapa, ataupun hidup bergotong-royong. Yang jauh terasa dekat, yang dekat terasa begitu jauh. Bahkan beberapa aktivis mahasiswa menjadikan fenomena ini sebagai alasan menurunnya militansi aktivis sekarang, karena dimanjakan dengan segala fasilitas yang ada. Tindakan-tindakan preventif acap dilakukan. Misalnya menonaktifkan ponsel ketika bercengkerama, atau yang lebih ekstrem adalah menghapus semua aplikasi berbasis chatting dari ponsel pintarnya. Tentunya tindakan bijak harus dipikirkan bersama, agar kondisi negatif tidak berlarut-larut, dan kita berharap fenomena ini justru bisa menunjang produktivitas hidup masyarakat.
Dampak negatif yang terjadi sekarang, jelas telah diprediksi secara akurat seratus persen dalam Al-Qur’an. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan manusia; Allah Menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[1] Jika kita perhatikan, ayat tersebut menyebutkan kata “sebagian”. Manusia hanya menerima sebagian balasan akibat perbuatan mereka, bukan keseluruhan. Artinya, Allah masih memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengevaluasi kesalahannya, demi menjadikannya pelajaran, sehingga kemudian kembali ke jalan yang benar. Bisa saja, komunitas ibadah berbasis aplikasi chatting dikatakan sebagai media untuk kembali ke jalan yang benar. Namun, bisa saja media tersebut menjadi bumerang, dan menjadikan kita sebagaimana orang munafik yang Allah terus diperingatkan Allah kepada kita. “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas”[2]. Dengan fasilitas yang semakin memanjakan, bukan tidak mungkin fokus kita justru teralihkan dan menjadi lalai beribadah. Semua tergantung niatnya, memang. Tetapi siapa yang bisa mengecek niat orang lewat whatsapp? Lagi-lagi kita butuh evaluasi bersama untuk kebaikan jangka panjang.
Tulisan ini tidak memberikan solusi? Jelas, kalau ada solusi, saya tidak menuliskannya di sini. Saya hanya seorang pengeluh-kesah yang suka menulis. Maka harapannya adalah orang-orang yang membaca ini, dapat mengajak saya mendiskusikan solusinya. Karena saya manusia, dan kodratnya manusia itu memang diciptakan suka berkeluh-kesah.
Apakah saya berlebihan? Mungkin saja. Toh era sekarang adalah eranya segala sesuatu yang berlebihan. Perlombaan menghafal qur’an, atau sering dikenal dengan MHQ (Musabaqah Hifzhil Qur’an) yang sering bersanding dengan MTQ (Musababaqah Tilawatil Qur’an) kini sudah digelar sedemikian mentereng. Ditampilkan di televisi, dengan menggalang dukungan via polling SMS. Ditambah ada pula lomba da’i yang tidak kalah dibuat serunya. Uniknya dipandu oleh satu atau beberapa host yang biasanya juga memandu acara-acara yang bertolak-belakang nilainya, sebut saja misalnya acara dangdut. Kini, semua serba berlebihan. Segala batas ditembus demi mendapatkan banyak keuntungan. Dahulu, lomba-lomba semacam itu dibuat sederhana dan bertujuan untuk menemukan bibit-bibit baru yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, bukan justru menjadi tontonan yang kemudian menjadi selebriti baru. Dan jangan lupa, siapakah yang paling diuntungkan dalam tayangan-tayangan semacam itu?



[1] Ar-Ruum (30): 41
[2] An-Nisaa (4): 142

Wednesday, 25 May 2016

Transformasi Budaya Manusia dan Kontribusi Islam Terhadapnya

A.    Budaya
Budaya berarti sebuah pemikiran, adat istiadat atau akal budi. Secara tata bahasa, arti dari kebudayaan diturunkan dari kata budaya dimana cenderung menunjuk kepada cara berpikir manusia. (Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Koentjaraningrat, budaya merupakan sebuah sistem gagasan dan rasa, sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia di dalam kehidupannya yang bermasyarakat, yang dijadikan kepunyaannya dengan belajar. (Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996)). Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. (Lihat, Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.25). Dapat kita simpulkan bahwa budaya adalah hasil dari prilaku dan komunikasi antar-manusia dalam suatu tempat.
Ada beberapa unsur kebudayaan. Para ahli berbeda pendapat; ada yang mengatakan empat unsur, ada yang mengatakan lima, ada pula yang mengatakan tujuh unsur. Namun dari beberapa pendapat ahli, setidaknya dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur budaya –sebagaimana yang dinyatakan oleh C. Klukhohn- adalah: bahasa, sistem pengetahuan sistem teknologi  dan peralatan, sistem kesenian, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, sistem kekerabatan, dan organisasi kemasyarakatan. (Mengenai budaya dan unsur-unsur budaya, lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi).

B.     Transformasi Budaya
Kuntowijoyo dalam bukunya, Budaya dan Masyarakat, membuka bahasan transformasi budaya dengan kutipan Ranggawarsito tentang zaman edan. (Lihat, Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat: Edisi Paripurna, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 11.) Mengingat salah satu kutipannya sejatinya cukup menggelitik, “Mengalami jaman gila serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut gila tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tetapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia yang sabar dan waspada.” (Lihat, Karkono Partokusumo, Zaman Edan: Pembahasan Serat Kalitadha Ranggawarsita, (Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983), hlm. 9, 11).
Transformasi budaya selalu terjadi yang salah satu faktornya karena kejadian-kejadian yang dianggap luar biasa pada masa itu. Sebut saja ketika momen G-30/S PKI; pada saat itu diberlakukan jam malam, dan warga non-pribumi seperti hidup di antara jurang karena mereka dianggap komunis –terlebih orang-orang keturunan Tionghoa. Hingga sekarang, transformasi budaya terus terjadi. Saya masih ingat satu dekade yang lalu manakala melihat orang menggunakan ponsel layar sentuh, dapat dipastikan pengguna ponsel tersebut memiliki status ekonomi menengah ke atas. Namun hari ini, bahkan memesan ojek pun dapat dilakukan hanya dengan menyentuh satu-dua kali layar ponsel kita.
Budaya manusia berbeda antara zaman ke zaman dan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Budaya dari zaman ke zaman mengalami transformasi, sedangkan budaya antara satu daerah dengan daerah yang lain terjadi karena perbedaan perilaku dan gaya hidup yang disebabkan faktor keadaan daerah tersebut. Manusia sendiri adalah makhluk yang unik, tidak dapat disamakan dengan binatang atau malaikat sekalipun. Oleh sebab itu para ahli dari pelbagai bidang studi tak pernah mencapai kata sepakat dalam mendefinisikan manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan beragamnya penamaan manusia, seperti homo sapiens (binatang berakal) ada juga yang menyebutnya homo economicus (binatang ekonomi). Namun tidak demikian bila Islam yang mendefinisikan. (Lihat, Daud Ali dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 9). Tentang pandangan Islam, akan kita bahas di belakang.
Bila ingin melihat transformasi budaya dari masa ke masa, tidak sulit untuk mengidentifikasinya. Perubahan umat manusia adalah keniscayaan, disebabkan kehidupan manusia tidaklah cukup hanya memperoleh makanan semata. Manusia butuh bergotong royong (ta’awun) agar semua kebutuhannya dapat terpenuhi. (Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. XI 2013) hlm. 72). Pengorganisasian itulah yang memberikan perbedaan hingga perubahan budaya pada umat manusia. Semenjak Nabi Adam alayhissalam hidup di muka bumi, semenjak itulah budaya manusia tercipta. Hingga kemudian Adam beranak-pinak dan anak-cucunya menyebar ke segala penjuru dunia. Anak-cucu Adam yang menyebar inilah yang kemudian menciptakan budaya masing-masing kawasannya dengan prilaku dan pola komunikasi yang masing-masing berbeda.
Bahkan tak perlu jauh-jauh untuk melihat transformasi budaya, karena di Indonesia sendiri memiliki keragaman budaya, dan masing-masing budayanya mengalami transformasi. Masuknya pelbagai macam budaya ke Indonesia, menjadikan Indonesia memiliki warna kebudayaan yang paling warna-warni. Hingga warga keturunan asing yang banyak didominasi ras Tionghoa dan Arab tidak lagi terlihat ke-Tionghoa-annya atau ke-Arab-annya oleh sebab terjadinya akulturasi yang begitu kencang antara kebudayaan yang mereka bawa dari leluhurnya dengan kebudayaan tempatnya tinggal sekarang. Kendati ada beberapa daerah dimana warga keturunan asing masih sulit berbaur dengan warga setempat. Sebut saja orang-orang Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat, hingga kini tidak sedikit mereka yang tidak mampu berbahasa lokal (Melayu Sambas) bahkan Bahasa Indonesia. Hal ini menurut Poerwanto disebabkan adanya diskriminasi dan prasangka (prejudice) dalam hubungan mayoritas-minoritas. (Lihat, Hari Poerwanto, Cina Khek di Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, cet. II 2014), hlm. 12).

C.    Bagaimana Peran Islam?
Hari ini, perubahan budaya semakin tidak terkendali. Banyak para filosof memandang bahwa kini sudah masuk masa postmodern. Bahkan ilmu-ilmu kontemporer juga menggunakan postmodern. Sebut saja di antaranya postmodern art, postmodern dance, postmodern film, postmodern literature, postmodern feminism, dan lain sebagainya. Postmodern sendiri artinya perubahan budaya –mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir- yang terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. (Lihat, Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cet.II 2014), hlm.24). Sementara banyak yang terlena dengan dunia postmodern, tidak sedikit umat Islam yang lupa kepada buku panduannya sendiri, yakni al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri sering dituduh kuno dan tidak ilmiah oleh banyak kalangan –yang mengaku dan dicap oleh publik sebagai- cendekiawan muslim. Nasr Hamid Abu Zayd bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya) setelah ia banyak mengakrabi hermeneutika. Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Abu Zayd menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi Kritik Sastra (literary criticism). Dalam pandangannya metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam.” (Lihat, Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an, (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, cet.II 1994), hlm. 27).
            Benarkah demikian apa yang disampaikan oleh Nasr Hamid Abu Zayd? Kenyataannya justru sebaliknya. Islam berdiri di luar pergulatan budaya, kemudian masuk ke dalamnya. Islam bukan ikut arus transformasi budaya, melainkan Islam yang menawarkan transfomasi dari budaya yang buruk kepada budaya yang baik. Apabila al-Qur’an dikatakan produk budaya dari Arab, dimana buktinya? Apakah karena perempuan wajib berkerudung? Perbedaan penempatan antara lelaki dengan  perempuan? Atau karena syariat yang terkesan mengungkung? Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Dahulu di Arab hanya ada hukum yang berdasarkan kesepakatan dan hanya pihak yang berkuasa yang diuntungkan. Bangsa Arab sendiri dinamakan “Arab” karena menurut Firas Alkhateeb berasal dari akar kata bahasa Semit yang berarti “wandering” (pengembaraan) atau “nomadic” (nomaden). (Lihat, Firas Alkhateeb, Lost Islamic History, (London: C. Hurst & Co. Ltd., 2014) hlm. 2). Dengan penamaan terhadap bangsa Arab tersebut, dapat kita pahami bahwa karakter orang Arab cenderung keras dan tak beradab. Lantas, mana mungkin bangsa yang tidak diperhitungkan sama sekali kemudian dapat berkembang dan melakukan aneksasi terhadap bangsa-bangsa di kanan-kirinya yang jauh lebih besar? Hanya akan menjadi mungkin apabila ada sebuah pengajaran yang baik dan itu merupakan elemen pengubah peradaban, dari yang semula hanya peradaban tertinggal menjadi peradaban maju.
            Aturan-aturan yang ada pada Islam justru membentuk budaya yang baru. Ketika ayat tentang hijab turun, perempuan-perempuan mukmin di kalangan sahabat tanpa basa-basi langsung mencari kain apapun agar dapat digunakan sebagai kerudung mereka. Ketika turun ayat pengharaman khamr, para sahabat yang hobi dan sedang meminum khamr bahkan langsung memuntahkannya sembari berucap “intahaynaa ya Rabb! Intahaynaa!” (Kami sudah berhenti, Ya Tuhan! Kami sudah berhenti!). Sebelum ayat tentang perintah menikah perempuan dengan jumlah dua, tiga, atau empat turun, para lelaki Arab membudayakan menggilir perempuan yang mereka senangi, dan jika nanti perempuan tersebut mengandung, maka diadakan undian untuk menentukan siapa yang menjadi ayahnya. Jika al-Qur’an memang produk budaya Arab, mengapa justru bertolak belakang dengan budaya Arab sendiri?
            Majunya peradaban Arab karena pembentukan budaya oleh Islam bahkan diakui oleh orang Barat sendiri. “Life for the majority of people in mainland Christian Europe was short, brutal and barbaric when compared with the sophisticated, learned, and tolerant regime in Islamic Spain.” (Lihat, Tim-Wallace Murphy, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization, (London: Watkins Publishing, 2006), hlm. 129). Ketika di Barat masih tidak mengetahui bagaimana caranya memilih makanan yang enak dan masih memakan makanan mentah, masyarakat di kerajaan Islam sudah dapat meracik bumbu dan membuat masakan yang enak. Ketika Barat tidak tahu bagaimana caranya membersihkan badan dengan baik dan benar, masyarakat muslim telah merasakan nikmatnya pemandian air panas. Hingga pada akhirnya, justru masyarakat muslim yang kian mundur, dan kini Barat merajai kebudayaan di dunia. Umat Islam kehilangan jati diri, sehingga lebih memilih untuk patuh pada kebudayaan dan teknologi Barat. Hingga lupa bahwa Barat pun sejatinya belajar dari kebudayaan Islam. Inilah yang dinyatakan Muhammad Asad, “Tetapi kita harus menyadari bahwa karena kelalaian kaum Muslimin-lah, dan bukan karena kekurangan ajaran-ajaran Islam, yang menyebabkan kemunduran kita sekarang.” (Lihat, Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, alih bahasa M. Hashem, (Bandung: Pustaka, cet.III 1983), hlm. 80).


Referensi:
Ali, Daud dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Alkhateeb, Firas, Lost Islamic History, London: C. Hurst & Co. Ltd., 2014.
Asad, Muhammad, Islam di Simpang Jalan, alih bahasa M. Hashem, Bandung: Pustaka, cet.III 1983.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. XI 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat: Edisi Paripurna, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
Lubis, Akhyar Yusuf, Postmodernisme: Teori dan Metode, Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cet.II 2014.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Murphy, Tim-Wallace, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization, London: Watkins Publishing, 2006.
Partokusumo, Karkono, Zaman Edan: Pembahasan Serat Kalitadha Ranggawarsita, Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983.
Poerwanto, Hari, Cina Khek di Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, cet. II 2014

Zayd, Nasr Hamid Abu, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, cet.II 1994.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com