Jumatan, istilah yang lebih dikenal di Nusantara
untuk menyebut ibadah Shalat Jumat. Rakyat Indonesia memang lebih suka bahasa
dan istilah yang simpel, sehingga terdengar lebih santai dan akrab. Untuk
menyebut hari raya ‘Idul Fitri, orang Indonesia lebih senang mengucap kata
“lebaran”. Untuk ‘Idul Adha, masyarakat lebih sering menyebutnya dengan
“lebaran haji”. Untuk hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam (Maulid Nabi) lebih sering disebut
“maulidan” atau orang Jawa menyebutnya “muludan”. Tentunya, istilah-istilah
tersebut terbatas pada hari-hari besar Islam saja. Karena Islam masuk ke
Indonesia melalui cara yang cenderung halus; bukan melalui peperangan,
melainkan melalui interaksi antar penjual-pembeli, antar guru-murid, atau antar
budayawan-penikmat budaya. Sehingga istilah-istilah Arab menjadi bagian dari
bahasa-bahasa daerah di Nusantara. Bukan berarti ini sebagai arabisasi
sebagaimana yang selalu dihujat oleh para sekularis, tetapi inilah pengaruh
dari apa yang dinamakan asimilasi dan akulturasi. Kalau mereka menyebut ini
arabisasi, berarti mereka menafikan belandaisasi, inggrisisasi, jawanisasi,
melayunisasi, dan kawan-kawan semodelnya. Lebih tepatnya, mereka tidak pernah
belajar ilmu budaya.
Kita
kembali kepada Jumatan. Hari Jumat adalah hari yang senantiasa istimewa;
terutama bagi para marbot masjid, terutama lagi bagi marbot yang masjidnya
sepi. Hanya terisi satu-dua shaf, itupun barisan orang-orang tua yang tinggal
menghitung hari usianya. Pada waktu-waktu shalat tertentu, maghrib misalnya,
shafnya bisa lebih banyak. Mungkin tiga, atau empat. Sayangnya shaf-shaf
belakang itu diisi oleh anak-anak yang orientasi utamanya kadang bukan untuk
shalat menunaikan kewajiban, tetapi ritual yang bisa dibarengi dengan ketawa
cekikikan, senggol-senggolan, atau main saling sambit dengan menggunakan
sarung. Namun, senelangsa-nelangsanya masjid, pasti ia pernah ramai. Sebuah
masjid pasti pernah ramai setidaknya seminggu sekali. Itulah hari Jumat. Hari
dimana ada kewajiban bagi setiap lelaki muslim untuk menunaikan shalat Jumat di
masjid, atau biasa kita sebut Jumatan.
Perintah
jumatan dalam Al-Qur’an adalah perintah yang simpel dan efisien, namun maknanya
lebih dari sekadar perintah untuk melakukan ritual peribadatan. Terlebih
perintah ini berbeda dengan perintah umat sebelum Nabi Muhammad. Taurat memberi
perintah untuk beribadah pada Hari Sabat (Sabtu). “Ingatlah dan kuduskanlah hari
Sabat”[1].
Perintah ini termaktub dalam Taurat, Injil pun sebenarnya juga memuat perintah
tersebut: “Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabat, seperti yang
diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu.”[2]
Namun, pada perkembangannya terdapat berbagai macam penyimpangan. Orang-orang
Kristen percaya bahwa Yesus disalib pada hari Jumat, dan dibangkitkan pada hari
Minggu (Ahad). Maka, hari Minggu dijadikan sebagai hari pertama untuk memulai
pekan. Pada hari Sabat, kaum Bani Israil diperintahkan oleh Allah untuk
beristirahat. Hari Sabat harus disucikan, dan cara menyucikannya adalah dengan
beribadah dengan cara berpuasa. Mereka tidak diperbolehkan mencari nafkah, atau
melakukan aktivitas lainnya. Kemudian turunlah ajaran Islam yang menjadikan
hari Jumat sebagai hari istimewa dan juga hari raya. Tentunya ini membuat kaum
Yahudi dan Nasrani geram mendengar kabar atas syariat ini. Mereka geram karena
ternyata umat Islam tidaklah mengekor mereka. Kiblat pun kini berbeda, bukan
lagi menuju Al-Aqsha, tetapi Ka’bah.
Perintah
Jumatan tertuang dalam Al-Qur’an Surat al-Jumu’ah ayat ke-9, “Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.”[3] Perintah ini
mencakup dua hukum sekaligus. Dalam hukum Islam, ada kaidah “al-wasail lahaa ahkamul maqaasid”,
yaitu hukum perantara sama dengan hukum tujuan. Jual beli asalnya mubah
(boleh). Namun karena jual beli tadi bisa menjadi sebab ditinggalkannya hal
wajib (shalat Jumat), maka jual beli tersebut dilarang. Perintah ini
mengisyaratkan kesakralan dari shalat Jumat itu sendiri. Perintah Jumatan
seakan memiliki ruh sehingga dapat menggerakkan muslim laki-laki untuk
berangkat ke masjid pada Jumat siang hari. Aktivitas jual-beli yang notabene
berfungsi sebagai elemen mencari nafkah saja dilarang. Padahal mencari nafkah
hukumnya adalah wajib. Menariknya, hal ini hanya berlaku pada waktu Jumatan.
Artinya, setiap muslim diminta untuk mencurahkan segenap waktu, tenaga dan
pikirannya untuk Jumatan di masjid yang waktunya relatif singkat. Sekali lagi;
relatif singkat.
Ketika
Jumatan, ada adab-adab yang harus dilakukan oleh para jamaah. Jamaah Jumatan
tidak boleh berbicara ketika khatib sedang berkhutbah dan melakukan hal-hal
yang tidak ada kaitannya dengan adab Jumatan. Aturan-aturan seperti, “Jika
kamu berkata kepada temanmu, “Diamlah” sementara imam sedang berkhutbah di hari
jumat, sungguh ia telah berbuat sia-sia.”[4], “Dan barangsiapa yang
berbuat sia-sia dan melangkahi pundak-pundak manusia, maka Jum’atannya itu
hanya bernilai salat Zhuhur.”[5], “Dan barangsiapa yang
bermain kerikil, sungguh ia telah berbuat sia-sia.”[6] Sangat sering
diremehkan para jamaah Jumatan. Aturan-aturan seperti ini menandakan bahwasanya
Jumatan bukanlah amalan sembarangan dan harus dilakukan secara serius. Bahkan,
ketika khatib sedang berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melarang
kita duduk ihtiba’ (duduk memeluk lutut). “Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam
sedang berkhutbah.”[7]
Hingga tata cara duduk saja diatur. Alasannya mengapa tidak boleh duduk memeluk
lutut adalah karena duduk seperti itu akan membuat kita mudah mengantuk dan
tertidur.
Adab-adab
yang diatur sedemikian rupa membuat ibadah Jumatan bukanlah sekadar ibadah
ritualis yang nihil makna, justru penghayatan ibadah Jumatan ini haruslah
dengan sebenar-benarnya. Bagi khatib sendiri, Jumatan bukanlah ajang pamer ilmu
dan pamer skill orasi, tetapi hanya sebagai media untuk memberi nasihat,
nasihat yang mengarahkan jamaah pada ketakwaan. Khatib tidak boleh zalim dengan
berlama-lama memberikan khutbah. Karena ajaibnya, hanya saat Jumatan inilah
rasa kantuk begitu kuat menyerang. Maka untuk meringankan jamaah, dianjurkan
bagi khatib untuk mempersingkat khutbahnya.
Bagi
mereka yang menjalankan Jumatannya secara sungguh-sungguh, maka ganjarannya
sangat besar. Salah satu di antaranya adalah diampuni dari satu Jumat ke Jumat
selanjutnya. Selain itu, ganjarannya sebagaimana yang terdapat dalam hadis ini,
“Barangsiapa mandi pada hari Jumat sebagaimana mandi janabah, lalu berangkat
menuju masjid, maka dia seolah berkurban dengan seekor unta. Barangsiapa yang
datang pada kesempatan (waktu) kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor
sapi. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) ketiga maka dia seolah
berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk. Barangsiapa yang datang pada
kesempatan (waktu) keempat maka dia seolah berkurban dengan seekor ayam. Dan
barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kelima maka dia seolah
berkurban dengan sebutir telur. Dan apabila imam sudah keluar (untuk memberi
khuthbah), maka para malaikat hadir mendengarkan dzikir (khuthbah tersebut).”[8] Juga pada hadis
ini, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan
anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati
khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka
setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.”[9]
Jangan coba-coba meninggalkan Jumatan tanpa alasan. Karena
ancamannya sangat berat. Dari ganjaran dosa besar, dicap munafik, hingga
rumahnya boleh dibakar. “Hendaknya suatu kaum berhenti dari meninggalkan
shalat Jum’at atau Allah akan menutup hati mereka kemudian menjadi bagian dari
orang-orang yang lalai.”[10], “Siapa yang
meninggalkan tiga Jum'at (shalatnya) tanpa udzur (alasan yang dibenarkan) maka
ia ditulis termasuk golongan orang-orang munafik.”[11], “Sungguh aku
berkeinginan menyuruh seseorang untuk shalat mengimami manusia kemudian aku
membakar rumah-rumah para lelaki yang meninggalkan shalat Jum’at.”[12]
Demikian beragamnya iming-iming imbalan dan ancaman
yang berat dalam satu koridor saja; Jumatan. Sesungguhnya inilah ibadah yang
menjadikan lelaki menjadi sebenar-benarnya lelaki. Bagaimana mungkin harus ada
aturan yang kompleks untuk mengatur ibadah yang hanya berdurasi maksimal satu
jam –kecuali ada beberapa masjid dan khatib yang kuat berlama-lama khutbah-
jika memang ibadah ini bukanlah ibadah yang hampa makna. Hari Jumat adalah hari
raya umat Islam, hari dimana Islam disempurnakan oleh-Nya, dan juga hari
datangnya kiamat. Padanya terdapat ibadah yang tidak ada pada hari-hari lain. Setiap
lelaki muslim dituntut serius untuk
menjalani Jumatan. Maka ketika Jumatan, kita dapat melihat mereka yang ogah-ogahan
berangkat ke masjid. Tiba di masjid pun bukannya mencari tempat terdepan,
tetapi mencari tempat yang paling kondusif untuk tidur dan terhindar dari kotak
amal. Ada pula yang ketika Jumatan justru sibuk dengan gadget atau ngobrol
dengan kawannya. Barangkali apabila bisa memesan kopi, mereka pun memesan kopi
ketika khutbah. Untuk mengevaluasi keseriusan kita dalam menjalani kehidupan,
dapat kita evaluasi dari seberapa serius kita menjalani aktivitas Jumatan yang
sedemikian singkat waktunya, namun padat makna di dalamnya.
jazakallahu khairan ijin share...
ReplyDeleteizin share ya kak zaky
ReplyDeletejazakallahu khairon..