zakyzr.com

Thursday, 11 February 2016

Jumatanmu adalah Kehidupanmu

Jumatan, istilah yang lebih dikenal di Nusantara untuk menyebut ibadah Shalat Jumat. Rakyat Indonesia memang lebih suka bahasa dan istilah yang simpel, sehingga terdengar lebih santai dan akrab. Untuk menyebut hari raya ‘Idul Fitri, orang Indonesia lebih senang mengucap kata “lebaran”. Untuk ‘Idul Adha, masyarakat lebih sering menyebutnya dengan “lebaran haji”. Untuk hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam (Maulid Nabi) lebih sering disebut “maulidan” atau orang Jawa menyebutnya “muludan”. Tentunya, istilah-istilah tersebut terbatas pada hari-hari besar Islam saja. Karena Islam masuk ke Indonesia melalui cara yang cenderung halus; bukan melalui peperangan, melainkan melalui interaksi antar penjual-pembeli, antar guru-murid, atau antar budayawan-penikmat budaya. Sehingga istilah-istilah Arab menjadi bagian dari bahasa-bahasa daerah di Nusantara. Bukan berarti ini sebagai arabisasi sebagaimana yang selalu dihujat oleh para sekularis, tetapi inilah pengaruh dari apa yang dinamakan asimilasi dan akulturasi. Kalau mereka menyebut ini arabisasi, berarti mereka menafikan belandaisasi, inggrisisasi, jawanisasi, melayunisasi, dan kawan-kawan semodelnya. Lebih tepatnya, mereka tidak pernah belajar ilmu budaya.
            Kita kembali kepada Jumatan. Hari Jumat adalah hari yang senantiasa istimewa; terutama bagi para marbot masjid, terutama lagi bagi marbot yang masjidnya sepi. Hanya terisi satu-dua shaf, itupun barisan orang-orang tua yang tinggal menghitung hari usianya. Pada waktu-waktu shalat tertentu, maghrib misalnya, shafnya bisa lebih banyak. Mungkin tiga, atau empat. Sayangnya shaf-shaf belakang itu diisi oleh anak-anak yang orientasi utamanya kadang bukan untuk shalat menunaikan kewajiban, tetapi ritual yang bisa dibarengi dengan ketawa cekikikan, senggol-senggolan, atau main saling sambit dengan menggunakan sarung. Namun, senelangsa-nelangsanya masjid, pasti ia pernah ramai. Sebuah masjid pasti pernah ramai setidaknya seminggu sekali. Itulah hari Jumat. Hari dimana ada kewajiban bagi setiap lelaki muslim untuk menunaikan shalat Jumat di masjid, atau biasa kita sebut Jumatan.
            Perintah jumatan dalam Al-Qur’an adalah perintah yang simpel dan efisien, namun maknanya lebih dari sekadar perintah untuk melakukan ritual peribadatan. Terlebih perintah ini berbeda dengan perintah umat sebelum Nabi Muhammad. Taurat memberi perintah untuk beribadah pada Hari Sabat (Sabtu). “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat”[1]. Perintah ini termaktub dalam Taurat, Injil pun sebenarnya juga memuat perintah tersebut: “Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabat, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu.”[2] Namun, pada perkembangannya terdapat berbagai macam penyimpangan. Orang-orang Kristen percaya bahwa Yesus disalib pada hari Jumat, dan dibangkitkan pada hari Minggu (Ahad). Maka, hari Minggu dijadikan sebagai hari pertama untuk memulai pekan. Pada hari Sabat, kaum Bani Israil diperintahkan oleh Allah untuk beristirahat. Hari Sabat harus disucikan, dan cara menyucikannya adalah dengan beribadah dengan cara berpuasa. Mereka tidak diperbolehkan mencari nafkah, atau melakukan aktivitas lainnya. Kemudian turunlah ajaran Islam yang menjadikan hari Jumat sebagai hari istimewa dan juga hari raya. Tentunya ini membuat kaum Yahudi dan Nasrani geram mendengar kabar atas syariat ini. Mereka geram karena ternyata umat Islam tidaklah mengekor mereka. Kiblat pun kini berbeda, bukan lagi menuju Al-Aqsha, tetapi Ka’bah.
            Perintah Jumatan tertuang dalam Al-Qur’an Surat al-Jumu’ah ayat ke-9, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”[3] Perintah ini mencakup dua hukum sekaligus. Dalam hukum Islam, ada kaidah “al-wasail lahaa ahkamul maqaasid”, yaitu hukum perantara sama dengan hukum tujuan. Jual beli asalnya mubah (boleh). Namun karena jual beli tadi bisa menjadi sebab ditinggalkannya hal wajib (shalat Jumat), maka jual beli tersebut dilarang. Perintah ini mengisyaratkan kesakralan dari shalat Jumat itu sendiri. Perintah Jumatan seakan memiliki ruh sehingga dapat menggerakkan muslim laki-laki untuk berangkat ke masjid pada Jumat siang hari. Aktivitas jual-beli yang notabene berfungsi sebagai elemen mencari nafkah saja dilarang. Padahal mencari nafkah hukumnya adalah wajib. Menariknya, hal ini hanya berlaku pada waktu Jumatan. Artinya, setiap muslim diminta untuk mencurahkan segenap waktu, tenaga dan pikirannya untuk Jumatan di masjid yang waktunya relatif singkat. Sekali lagi; relatif singkat.
            Ketika Jumatan, ada adab-adab yang harus dilakukan oleh para jamaah. Jamaah Jumatan tidak boleh berbicara ketika khatib sedang berkhutbah dan melakukan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan adab Jumatan. Aturan-aturan seperti, “Jika kamu berkata kepada temanmu, “Diamlah” sementara imam sedang berkhutbah di hari jumat, sungguh ia telah berbuat sia-sia.”[4], “Dan barangsiapa yang berbuat sia-sia dan melangkahi pundak-pundak manusia, maka Jum’atannya itu hanya bernilai salat Zhuhur.”[5], “Dan barangsiapa yang bermain kerikil, sungguh ia telah berbuat sia-sia.”[6] Sangat sering diremehkan para jamaah Jumatan. Aturan-aturan seperti ini menandakan bahwasanya Jumatan bukanlah amalan sembarangan dan harus dilakukan secara serius. Bahkan, ketika khatib sedang berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melarang kita duduk ihtiba’ (duduk memeluk lutut). “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang dari duduk dengan memeluk lutut pada saat imam sedang berkhutbah.”[7] Hingga tata cara duduk saja diatur. Alasannya mengapa tidak boleh duduk memeluk lutut adalah karena duduk seperti itu akan membuat kita mudah mengantuk dan tertidur.
            Adab-adab yang diatur sedemikian rupa membuat ibadah Jumatan bukanlah sekadar ibadah ritualis yang nihil makna, justru penghayatan ibadah Jumatan ini haruslah dengan sebenar-benarnya. Bagi khatib sendiri, Jumatan bukanlah ajang pamer ilmu dan pamer skill orasi, tetapi hanya sebagai media untuk memberi nasihat, nasihat yang mengarahkan jamaah pada ketakwaan. Khatib tidak boleh zalim dengan berlama-lama memberikan khutbah. Karena ajaibnya, hanya saat Jumatan inilah rasa kantuk begitu kuat menyerang. Maka untuk meringankan jamaah, dianjurkan bagi khatib untuk mempersingkat khutbahnya.
            Bagi mereka yang menjalankan Jumatannya secara sungguh-sungguh, maka ganjarannya sangat besar. Salah satu di antaranya adalah diampuni dari satu Jumat ke Jumat selanjutnya. Selain itu, ganjarannya sebagaimana yang terdapat dalam hadis ini, “Barangsiapa mandi pada hari Jumat sebagaimana mandi janabah, lalu berangkat menuju masjid, maka dia seolah berkurban dengan seekor unta. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) ketiga maka dia seolah berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) keempat maka dia seolah berkurban dengan seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur. Dan apabila imam sudah keluar (untuk memberi khuthbah), maka para malaikat hadir mendengarkan dzikir (khuthbah tersebut).”[8] Juga pada hadis ini, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.”[9]
            Jangan coba-coba meninggalkan Jumatan tanpa alasan. Karena ancamannya sangat berat. Dari ganjaran dosa besar, dicap munafik, hingga rumahnya boleh dibakar. “Hendaknya suatu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau Allah akan menutup hati mereka kemudian menjadi bagian dari orang-orang yang lalai.”[10], “Siapa yang meninggalkan tiga Jum'at (shalatnya) tanpa udzur (alasan yang dibenarkan) maka ia ditulis termasuk golongan orang-orang munafik.”[11], “Sungguh aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk shalat mengimami manusia kemudian aku membakar rumah-rumah para lelaki yang meninggalkan shalat Jum’at.”[12]
            Demikian beragamnya iming-iming imbalan dan ancaman yang berat dalam satu koridor saja; Jumatan. Sesungguhnya inilah ibadah yang menjadikan lelaki menjadi sebenar-benarnya lelaki. Bagaimana mungkin harus ada aturan yang kompleks untuk mengatur ibadah yang hanya berdurasi maksimal satu jam –kecuali ada beberapa masjid dan khatib yang kuat berlama-lama khutbah- jika memang ibadah ini bukanlah ibadah yang hampa makna. Hari Jumat adalah hari raya umat Islam, hari dimana Islam disempurnakan oleh-Nya, dan juga hari datangnya kiamat. Padanya terdapat ibadah yang tidak ada pada hari-hari lain. Setiap lelaki muslim dituntut  serius untuk menjalani Jumatan. Maka ketika Jumatan, kita dapat melihat mereka yang ogah-ogahan berangkat ke masjid. Tiba di masjid pun bukannya mencari tempat terdepan, tetapi mencari tempat yang paling kondusif untuk tidur dan terhindar dari kotak amal. Ada pula yang ketika Jumatan justru sibuk dengan gadget atau ngobrol dengan kawannya. Barangkali apabila bisa memesan kopi, mereka pun memesan kopi ketika khutbah. Untuk mengevaluasi keseriusan kita dalam menjalani kehidupan, dapat kita evaluasi dari seberapa serius kita menjalani aktivitas Jumatan yang sedemikian singkat waktunya, namun padat makna di dalamnya.
            Segala peraturan, kewajiban, larangan, imbalan, dan ancaman, membuat ibadah Jumatan ini menjadi lengkap sebagai ibadah yang dapat mengukur sejauh mana tingkat keimanan dan keseriusan seorang lelaki dalam komitmennya menjalani hidup hingga matinya. Patut diingat, jangan terlena dengan kalimat-kalimat yang bersliweran di media sosial, “Cowok yang Jumatan itu gantengnya nambah 1000%” itu jelas-jelas hoax. Karena orang Jumatan ke masjid, dan masjid itu bukan salon.



[1] Keluaran 20:8
[2] Ulangan 5:12
[3] Al-Jumu’ah 62:9
[4] Muttafaq ‘alayh
[5] Abu Dawud
[6] Muslim
[7] Tirmidzi
[8] Bukhari-Muslim
[9] Tirmidzi
[10] Muslim
[11] Thabrani
[12] Muslim

2 comments:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com