Perwajahan situs-situs bersejarah di
Indonesia, hampir selalu diwakili oleh peninggalan kerajaan Hindu-Budha. Bila membicarakan
kejayaan Nusantara, pastilah yang disebut Majapahit lagi, Sriwjaya lagi. Seakan
tidak ada lagi peradaban yang benar-benar baik yang pernah bercokol di
Nusantara. Majapahit dan Sriwijaya memang baik, tetapi apakah harus selalu
mengelu-elukan mereka? Tentu hal ini perlu pengkajian lebih dalam yang sifatnya
harus obyektif dan tidak berat sebelah. Sebagaimana kita ketahui, penduduk beragama
Hindu maupun Budha di Indonesia justru termasuk kaum minoritas, alih-alih
mayoritas mengingat kejayaan Sriwijaya, Majapahit, Pajajaran, dan kerajaan
lainnya yang selalu dielu-elukan oleh para sejarahwan Barat dan sejarahwan yang
hanya mengikuti jejak sejarah populer.
Mengingat
Kuntowijoyo yang menjabarkan tentang penjelasan sejarah, yakni (1) penjelasan
sejarah adalah hermeneutics dan verstehen, artinya menafsirkan
dan mengerti; (2) penjelasan sejarah adalah penjelasan tentang waktu yang
memanjang; dan (3) penjelasan sejarah
adalah tentang peristiwa tunggal. Disamping itu, tekanan utama dalam penjelasan
sejarah adalah tentang penjelasan sebab-akibat. (Lihat, Kuntowijoyo, Penjelasan
Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008) hlm. 10). Apabila yang terjadi di
lapangan bernama Indonesia sekarang mayoritas penduduknya beragama Hindu atau
Budha, maka hubungan sebab-akibat tersebut memang nyata. Namun, yang terjadi
justru sebaliknya, penduduk beragama Hindu ataupun Budha menjadi minoritas;
lalu mengapa harus Majapahit lagi dan Sriwijaya lagi yang dielu-elukan?
Coba
pikirkan, hal ini unik sekali; apabila orang-orang luar negeri berkunjung ke
Indonesia, mereka akan mendapat suguhan peninggalan-peninggalan Hindu-Budha,
padahal mayoritas rakyatnya sekarang muslim. Namun, apabila kita berkunjung ke
Spanyol, misalnya; kita akan mendapat suguhan wisata ke tempat-tempat
peninggalan Islam. Hal yang disebut terakhir ini tidaklah ironis. Karena setelah
jatuhnya Kerajaan Granada di Andalusia, umat Islam di sana hanya mendapatkan
dua pilihan; memilih agama Kristen atau dibunuh. Jika ingin tetap memilih Islam
dan tidak ingin dibunuh, mereka harus angkat kaki dari Andalusia. Jelas ada
pemaksaan, sehingga jejak-jejak Islam yang tersisa di Spanyol hanyalah
istana-istana dan bangunan-bangunannya yang megah, menandakan maju dan
berkelasnya peradaban yang ketika itu dipegang oleh umat Islam. Raja Granada
terakhir sendiri, Abu Abdillah Muhammad bin al-Ahmar ash-Shaghir, dengan
kerdilnya menyerahkan Granada kepada Ferdinand V dan Isabella. (Lihat, Raghib
as-Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, penj. Muhammad Ihsan dan
Abdul Rasyad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 814). Kisah yang
paling menyedihkan dalam episode ini adalah ketika Abu Abdillah keluar istana
menuju negeri Andaraz, dia menatap nanar ke arah Istana al-Hambra yang sangat
megah. Karena tak kuasa menahan sedih, ia pun menangis tersedu-sedu. Melihat hal
itu, ibunya yang bernama ‘Aisyah al-Hurrah berkata, “Menangislah, kini kau
menangis seperti perempuan yang kehilangan, padahal kau tidak mampu menjaga
kerajaan sebagaimana laki-laki perkasa.”
Sejarahwan
dan pengamat politik di Indonesia tak
jarang menjadikan Majapahit sebagai patokan
kesuksesan politik dan pemerintahan. Padahal pada masa tersebut
perseteruan untuk mendapatkan tampuk kekuasaan dengan saling bunuh lazim sekali
terjadi. Mereka pun melakukannya secara terang-terangan. Perseteruan politik
zaman sekarang memang dapat dikatakan tidak jauh berbeda, namun bukan berarti
dapat kita katakan sama. Setidaknya peristiwa ‘saling bunuh’ di kancah
perpolitikan negara ini tidak sesadis dan seterang-terangan zaman Majapahit. Lantas,
mengapa harus mengelu-elukan Majapahit lagi, Sriwiajaya lagi, Singasari lagi,
atau Pajajaran lagi? Berbagai peninggalan Hindu-Budha diangkat sedemikian rupa,
sehingga dianggap sebagai simbol kejayaan Nusantara di masa lampau. Bahkan Candi
Borobudur yang sudah terkubur, diusahakan agar menjadi cagar budaya dan
ditujukan sebagai simbol kejayaan Nusantara di masa lalu. Candi dianggap
sebagai simbol kebesaran budaya Nusantara di masa lampau.
Kenyataannya,
menurut Susiyanto yang dikutip oleh Adian Husaini menyebutkan bahwasanya
kebudayaan candi masa tersebut sebenarnya tidak pernah menjadi bagian dari ‘jiwa’
masyarakat Jawa. Candi-candi tersebut dibuat untuk mengokohkan kewibawaan kasta
Brahmana dan Ksatria. Adapun rakyat jelata, yang umumnya berasal dari kasta
Sudra, kerapkali dilibatkan dalam proses kerja rodi untuk membangun candi
tersebut. Jadi, sesungguhnya candi adalah simbol ketertindasan rakyat jelata
oleh kekuasaan yang ada di atasnya. Akan tetapi, kenyataan ini jarang sekali dimunculkan
dalam buku-buku sejarah di Indonesia. (Lihat, Adian Husaini, Kerukunan
Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata “Allah” dalam Agama Kristen,
(Depok: Gema Insani, 2015), hlm. 195). Pada gilirannya, usaha memunculkan
kembali peninggalan-peninggalan Hindu-Budha menurut Ceyler T. Young: “Di setiap
negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar
peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan
umat Islam kepada aqidah-aqidah sebelum Islam, tetapi cukuplah bagi kami
membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban
lama tersebut.” (Adian Husaini, Kerukunan Beragama... hlm. 196).
Sementara
itu di saat yang sama, sejarahwan yang berasal dari kalangan non-islamis
bersepakat bahwa Islam ‘baru’ masuk pada abad ke-13, dibawa oleh para pedagang
dari Arab, Persia, dan Gujarat, yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam
pertama, yakni Kerajaan Samudera Pasai. Sedangkan apabila kita pikir dengan
akal sehat, tidaklah mungkin semudah dan secepat itu membangun kerajaan. Butuh usaha
yang keras dan panjang untuk dapat membangun peradaban sekelas kerajaan. Terori
yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 adalah Teori Gujarat
yang diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje, seorang munafik yang mempelajari
Islam untuk menjatuhkan Islam dari dalam. Apabila benar Islam di Indonesia
dibawa oleh orang Gujarat dan Persia, seharusnya penduduk Nusantara menjadi
Syiah, tetapi bukti mengatakan sebaliknya. Mayoritas rakyat Indonesia hingga
sekarang beraqidah Sunni. Buya Hamka dalam sebuah seminar yang dikutip oleh
Prof. Mansur Suryanegara mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-7 M dengan bukti adanya perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatera.
(Lihat, Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani,
cet.V, 2012), hlm.99). Cukup logis, karena dengan teori ini –yang juga disebut
Teori Makkah, jarak waktu antara masuknya Islam dengan berdirinya kerajaan
terpaut sekitar 6 abad. Sedangkan Majapahit sendiri baru berdiri setelah
runtuhnya Kerajaan Singasari pada abad ke-13. Hal ini juga dikuatkan dengan
bukti arkeologis di Barus, Sumatera Utara. Barus adalah kota internasional
tertua di Indonesia. Karena sudah berabad-abad yang lalu Barus mengekspor kapur
wangi –yang kita kenal dengan Kapur Barus-
untuk mengawetkan dan memberi aroma harum pada mumi raja-raja Mesir. Nama
Barus juga sudah disebut-sebut di dalam literatur Arab, India, Tamil, Yunani,
Syria, Armenia, China, dan lain sebagainya. (Lihat, Dhurorudin Mashad, Muslim
Bali, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hlm. 49-50).
Seandainya
kita mencoba lebih teliti, bukti-bukti kejayaan Majapahit sejatinya masih dalam
tanda tanya besar. Sejarahnya terklasifikasi kurang jelas. Sampai hari ini,
sumber utama yang digunakan para sejarahwan ketika menulis sejarah ini pada
umumnya terbatas pada Pararaton (Kitab Raja-raja) dalam Bahasa Kawi dan
Negarakertagama dalam Bahasa Jawa Kuno. (Dhurorudin Mashad, Muslim Bali,
hlm.57). Siapa sesungguhnya Raden Wijaya, darimana asalnya Gajah Mada, hingga
hari ini terus menjadi tanda tanya. Keruntuhannya pun seperti disembunyikan
sejarahnya. Padahal, bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa Majapahit runtuh
bukan karena diinvasi oleh Kerajaan Islam Demak, namun karena para petinggi
Kerajaan Majapahit banyak yang telah memeluk Islam. Bahkan di ibukota Majapahit
sendiri sudah ada pemukiman muslim, yakni situs kuno Makam Troloyo, Kecamatan
Trowulan, Mojokerto. (Lihat, Dhurorudin Mashad, Muslim Bali, hlm. 65). Demikian
halnya yang terjadi dengan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang disinyalir tidak
memiliki istana tetap –karena istananya berada di kapal- ini juga runtuh karena
para petingginya sudah tidak memegang teguh ajaran Budha lagi. Ketika pusat
kekuasaan berpindah ke Jambi, rakyat Sriwijaya banyak yang sudah masuk Islam.
Lihatlah
di sekitar bekas kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya, adakah tersisa banyak
penganut Hindu dan Budha? Bahkan di
sekitar komplek Candi Budha terbesar, Candi Muaro, saja hanya terdapat penduduk
muslim. Setelah Majapahit tercerai-berai itulah kadipaten-kadipaten mulai
membentuk pemerintahan baru. Di pesisir utara Jawa Tengah, seorang bernama Jin
Bun merintis daerah Demak sebagai daerah dakwah Islam dan perdagangan. Berdirilah
Kerajaan Demak di akhir abad ke-15 dengan Raden Fatah –putra dari Bhre
Kertabumi dari selir seorang putri Tiongkok- sebagai raja pertamanya. (Lihat,
M. Akrom Unjiya, Lasem Negeri Dampoawang, (Yogyakarta: Salma Idea,
2014), hlm. 96-97). Penduduk Majapahit yang masih memegang kepercayaan
Hindu-nya lari ke arah timur. Sebagian ke sekitar Gunung Bromo, mereka adalah
keluarga dan pengikut Roro Anteng dan Joko Seger. Kemudian mereka menetap di
sana, dan jadilah mereka Suku Tengger (singkatan dari Anteng dan Seger), itulah
mengapa Suku Tengger menganut agama Hindu. Sebagian penduduk Majapahit lainnya,
tertahan tidak bisa kembali dari Pulau Bali, itulah alasan di Bali mayoritasnya
adalah orang Hindu.
Sampai
di sini, sesungguhnya apa yang membuat kita terus-menerus membanggakan
Majapahit dan kerajaan Hindu-Budha lainnya? Mereka tidak meninggalkan apa-apa
selain kisah-kisah yang kebanyakan hanya menjadi dongeng pengantar tidur dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selain itu, candi-candi yang
ada, hanya menampilkan kemubaziran, karena candi-candi tersebut hanyalah
bangunan yang tidak bisa menjadi tempat tinggal. Hanya sebagai tempat pemujaan.
Padahal pengerjaannya butuh tenaga dan usaha yang ekstra besar. Kita lupa akan
perjuangan raja-raja muslim yang berhadapan langsung dengan para penjajah. Sultan
Hasanuddin harus dibuang oleh Belanda karena memberikan perlawanan keras terhadap Belanda dalam naungan Kerajaan Gowa. Tuanku Imam Bonjol, harus mendapat pengkhianatan dari
saudara sekaumnya sendiri hanya karena ingin menegakkan kebenaran di
tengah-tengah Kaum Adat yang ketika itu meminta bantuan Belanda untuk melawan
Kaum Padri. Nasib akhir dari Imam Bonjol sendiri juga diasingkan, sebagaimana
Sultan Hasanuddin. Pangeran Diponegoro, tak jauh berbeda nasibnya karena harus
dibuang ke Makassar, kemudian ke Manado setelah melakukan perlawanan sengit terhadap
Keraton yang disokong Belanda. Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Raden Intan II,
Sultan Thaha Saifuddin, Sultan Mahmud Badaruddin II, Ahmad Lussy –yang lebih
dikenal dengan Pattimura-, hingga Sisingamangaraja XII Sang Pemimpin Batak –yang
nyata-nyata adalah seorang muslim karena stempel dan cap kerajaan yang dibuatnya
menggunakan tahun Hijrah Nabi-, mereka semua adalah pahlawan muslim yang
seharusnya dielu-elukan atas nama perjuangan Indonesia. Bukan kerajaan-kerajaan
penindas di masa lampau yang tidak memberikan manfaat signifikan bagi
Nusantara.
Dengan
prinsip tauhid, para sultan dan ulama membakar semangat rakyat untuk menumpas
penjajah dari bumi Nusantara. Hanya umat Islam yang mempunyai komitmen dan
dedikasi tinggi untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Dengan semangat tauhid
pula, Kiyai Hasyim Asy’ari mengeluarkan resolusi Jihad bagi warga Nahdhatul ‘Ulama
agar membakar semangat peperangan melawan Belanda. Kini, perlukah kita
mengelu-elukan romantika sejarah yang tak indah tentang kerajaan-kerajaan
penindas, alih-alih kerajaan-kerajaan yang jelas-jelas memberikan kebebasan dan
pembebasan pada rakyatnya, serta mengusir penjajah dari tanah Nusantara yang
kita cintai ini?
“Mereka ingin memadamkan cahaya
Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan
cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8).