zakyzr.com

Wednesday, 16 March 2016

Mengelu-elukan Romantika Sejarah yang Tak Indah


Perwajahan situs-situs bersejarah di Indonesia, hampir selalu diwakili oleh peninggalan kerajaan Hindu-Budha. Bila membicarakan kejayaan Nusantara, pastilah yang disebut Majapahit lagi, Sriwjaya lagi. Seakan tidak ada lagi peradaban yang benar-benar baik yang pernah bercokol di Nusantara. Majapahit dan Sriwijaya memang baik, tetapi apakah harus selalu mengelu-elukan mereka? Tentu hal ini perlu pengkajian lebih dalam yang sifatnya harus obyektif dan tidak berat sebelah. Sebagaimana kita ketahui, penduduk beragama Hindu maupun Budha di Indonesia justru termasuk kaum minoritas, alih-alih mayoritas mengingat kejayaan Sriwijaya, Majapahit, Pajajaran, dan kerajaan lainnya yang selalu dielu-elukan oleh para sejarahwan Barat dan sejarahwan yang hanya mengikuti jejak sejarah populer.
Mengingat Kuntowijoyo yang menjabarkan tentang penjelasan sejarah, yakni (1) penjelasan sejarah adalah hermeneutics dan verstehen, artinya menafsirkan dan mengerti; (2) penjelasan sejarah adalah penjelasan tentang waktu yang memanjang;  dan (3) penjelasan sejarah adalah tentang peristiwa tunggal. Disamping itu, tekanan utama dalam penjelasan sejarah adalah tentang penjelasan sebab-akibat. (Lihat, Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008) hlm. 10). Apabila yang terjadi di lapangan bernama Indonesia sekarang mayoritas penduduknya beragama Hindu atau Budha, maka hubungan sebab-akibat tersebut memang nyata. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, penduduk beragama Hindu ataupun Budha menjadi minoritas; lalu mengapa harus Majapahit lagi dan Sriwijaya lagi yang dielu-elukan?
            Coba pikirkan, hal ini unik sekali; apabila orang-orang luar negeri berkunjung ke Indonesia, mereka akan mendapat suguhan peninggalan-peninggalan Hindu-Budha, padahal mayoritas rakyatnya sekarang muslim. Namun, apabila kita berkunjung ke Spanyol, misalnya; kita akan mendapat suguhan wisata ke tempat-tempat peninggalan Islam. Hal yang disebut terakhir ini tidaklah ironis. Karena setelah jatuhnya Kerajaan Granada di Andalusia, umat Islam di sana hanya mendapatkan dua pilihan; memilih agama Kristen atau dibunuh. Jika ingin tetap memilih Islam dan tidak ingin dibunuh, mereka harus angkat kaki dari Andalusia. Jelas ada pemaksaan, sehingga jejak-jejak Islam yang tersisa di Spanyol hanyalah istana-istana dan bangunan-bangunannya yang megah, menandakan maju dan berkelasnya peradaban yang ketika itu dipegang oleh umat Islam. Raja Granada terakhir sendiri, Abu Abdillah Muhammad bin al-Ahmar ash-Shaghir, dengan kerdilnya menyerahkan Granada kepada Ferdinand V dan Isabella. (Lihat, Raghib as-Sirjani, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, penj. Muhammad Ihsan dan Abdul Rasyad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 814). Kisah yang paling menyedihkan dalam episode ini adalah ketika Abu Abdillah keluar istana menuju negeri Andaraz, dia menatap nanar ke arah Istana al-Hambra yang sangat megah. Karena tak kuasa menahan sedih, ia pun menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu, ibunya yang bernama ‘Aisyah al-Hurrah berkata, “Menangislah, kini kau menangis seperti perempuan yang kehilangan, padahal kau tidak mampu menjaga kerajaan sebagaimana laki-laki perkasa.”
            Sejarahwan dan pengamat politik  di Indonesia tak jarang menjadikan Majapahit sebagai patokan  kesuksesan politik dan pemerintahan. Padahal pada masa tersebut perseteruan untuk mendapatkan tampuk kekuasaan dengan saling bunuh lazim sekali terjadi. Mereka pun melakukannya secara terang-terangan. Perseteruan politik zaman sekarang memang dapat dikatakan tidak jauh berbeda, namun bukan berarti dapat kita katakan sama. Setidaknya peristiwa ‘saling bunuh’ di kancah perpolitikan negara ini tidak sesadis dan seterang-terangan zaman Majapahit. Lantas, mengapa harus mengelu-elukan Majapahit lagi, Sriwiajaya lagi, Singasari lagi, atau Pajajaran lagi? Berbagai peninggalan Hindu-Budha diangkat sedemikian rupa, sehingga dianggap sebagai simbol kejayaan Nusantara di masa lampau. Bahkan Candi Borobudur yang sudah terkubur, diusahakan agar menjadi cagar budaya dan ditujukan sebagai simbol kejayaan Nusantara di masa lalu. Candi dianggap sebagai simbol kebesaran budaya Nusantara di masa lampau.
Kenyataannya, menurut Susiyanto yang dikutip oleh Adian Husaini menyebutkan bahwasanya kebudayaan candi masa tersebut sebenarnya tidak pernah menjadi bagian dari ‘jiwa’ masyarakat Jawa. Candi-candi tersebut dibuat untuk mengokohkan kewibawaan kasta Brahmana dan Ksatria. Adapun rakyat jelata, yang umumnya berasal dari kasta Sudra, kerapkali dilibatkan dalam proses kerja rodi untuk membangun candi tersebut. Jadi, sesungguhnya candi adalah simbol ketertindasan rakyat jelata oleh kekuasaan yang ada di atasnya. Akan tetapi, kenyataan ini jarang sekali dimunculkan dalam buku-buku sejarah di Indonesia. (Lihat, Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata “Allah” dalam Agama Kristen, (Depok: Gema Insani, 2015), hlm. 195). Pada gilirannya, usaha memunculkan kembali peninggalan-peninggalan Hindu-Budha menurut Ceyler T. Young: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada aqidah-aqidah sebelum Islam, tetapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut.” (Adian Husaini, Kerukunan Beragama... hlm. 196).
Sementara itu di saat yang sama, sejarahwan yang berasal dari kalangan non-islamis bersepakat bahwa Islam ‘baru’ masuk pada abad ke-13, dibawa oleh para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat, yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam pertama, yakni Kerajaan Samudera Pasai. Sedangkan apabila kita pikir dengan akal sehat, tidaklah mungkin semudah dan secepat itu membangun kerajaan. Butuh usaha yang keras dan panjang untuk dapat membangun peradaban sekelas kerajaan. Terori yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 adalah Teori Gujarat yang diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje, seorang munafik yang mempelajari Islam untuk menjatuhkan Islam dari dalam. Apabila benar Islam di Indonesia dibawa oleh orang Gujarat dan Persia, seharusnya penduduk Nusantara menjadi Syiah, tetapi bukti mengatakan sebaliknya. Mayoritas rakyat Indonesia hingga sekarang beraqidah Sunni. Buya Hamka dalam sebuah seminar yang dikutip oleh Prof. Mansur Suryanegara mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M dengan bukti adanya perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatera. (Lihat, Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, cet.V, 2012), hlm.99). Cukup logis, karena dengan teori ini –yang juga disebut Teori Makkah, jarak waktu antara masuknya Islam dengan berdirinya kerajaan terpaut sekitar 6 abad. Sedangkan Majapahit sendiri baru berdiri setelah runtuhnya Kerajaan Singasari pada abad ke-13. Hal ini juga dikuatkan dengan bukti arkeologis di Barus, Sumatera Utara. Barus adalah kota internasional tertua di Indonesia. Karena sudah berabad-abad yang lalu Barus mengekspor kapur wangi –yang kita kenal dengan Kapur Barus-  untuk mengawetkan dan memberi aroma harum pada mumi raja-raja Mesir. Nama Barus juga sudah disebut-sebut di dalam literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China, dan lain sebagainya. (Lihat, Dhurorudin Mashad, Muslim Bali, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hlm. 49-50).
Seandainya kita mencoba lebih teliti, bukti-bukti kejayaan Majapahit sejatinya masih dalam tanda tanya besar. Sejarahnya terklasifikasi kurang jelas. Sampai hari ini, sumber utama yang digunakan para sejarahwan ketika menulis sejarah ini pada umumnya terbatas pada Pararaton (Kitab Raja-raja) dalam Bahasa Kawi dan Negarakertagama dalam Bahasa Jawa Kuno. (Dhurorudin Mashad, Muslim Bali, hlm.57). Siapa sesungguhnya Raden Wijaya, darimana asalnya Gajah Mada, hingga hari ini terus menjadi tanda tanya. Keruntuhannya pun seperti disembunyikan sejarahnya. Padahal, bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa Majapahit runtuh bukan karena diinvasi oleh Kerajaan Islam Demak, namun karena para petinggi Kerajaan Majapahit banyak yang telah memeluk Islam. Bahkan di ibukota Majapahit sendiri sudah ada pemukiman muslim, yakni situs kuno Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. (Lihat, Dhurorudin Mashad, Muslim Bali, hlm. 65). Demikian halnya yang terjadi dengan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang disinyalir tidak memiliki istana tetap –karena istananya berada di kapal- ini juga runtuh karena para petingginya sudah tidak memegang teguh ajaran Budha lagi. Ketika pusat kekuasaan berpindah ke Jambi, rakyat Sriwijaya banyak yang sudah masuk Islam.
Lihatlah di sekitar bekas kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya, adakah tersisa banyak penganut Hindu dan Budha? Bahkan  di sekitar komplek Candi Budha terbesar, Candi Muaro, saja hanya terdapat penduduk muslim. Setelah Majapahit tercerai-berai itulah kadipaten-kadipaten mulai membentuk pemerintahan baru. Di pesisir utara Jawa Tengah, seorang bernama Jin Bun merintis daerah Demak sebagai daerah dakwah Islam dan perdagangan. Berdirilah Kerajaan Demak di akhir abad ke-15 dengan Raden Fatah –putra dari Bhre Kertabumi dari selir seorang putri Tiongkok- sebagai raja pertamanya. (Lihat, M. Akrom Unjiya, Lasem Negeri Dampoawang, (Yogyakarta: Salma Idea, 2014), hlm. 96-97). Penduduk Majapahit yang masih memegang kepercayaan Hindu-nya lari ke arah timur. Sebagian ke sekitar Gunung Bromo, mereka adalah keluarga dan pengikut Roro Anteng dan Joko Seger. Kemudian mereka menetap di sana, dan jadilah mereka Suku Tengger (singkatan dari Anteng dan Seger), itulah mengapa Suku Tengger menganut agama Hindu. Sebagian penduduk Majapahit lainnya, tertahan tidak bisa kembali dari Pulau Bali, itulah alasan di Bali mayoritasnya adalah orang Hindu.
Sampai di sini, sesungguhnya apa yang membuat kita terus-menerus membanggakan Majapahit dan kerajaan Hindu-Budha lainnya? Mereka tidak meninggalkan apa-apa selain kisah-kisah yang kebanyakan hanya menjadi dongeng pengantar tidur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Selain itu, candi-candi yang ada, hanya menampilkan kemubaziran, karena candi-candi tersebut hanyalah bangunan yang tidak bisa menjadi tempat tinggal. Hanya sebagai tempat pemujaan. Padahal pengerjaannya butuh tenaga dan usaha yang ekstra besar. Kita lupa akan perjuangan raja-raja muslim yang berhadapan langsung dengan para penjajah. Sultan Hasanuddin harus dibuang oleh Belanda karena memberikan perlawanan keras terhadap Belanda dalam naungan Kerajaan Gowa. Tuanku Imam Bonjol, harus mendapat pengkhianatan dari saudara sekaumnya sendiri hanya karena ingin menegakkan kebenaran di tengah-tengah Kaum Adat yang ketika itu meminta bantuan Belanda untuk melawan Kaum Padri. Nasib akhir dari Imam Bonjol sendiri juga diasingkan, sebagaimana Sultan Hasanuddin. Pangeran Diponegoro, tak jauh berbeda nasibnya karena harus dibuang ke Makassar, kemudian ke Manado setelah melakukan perlawanan sengit terhadap Keraton yang disokong Belanda. Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Raden Intan II, Sultan Thaha Saifuddin, Sultan Mahmud Badaruddin II, Ahmad Lussy –yang lebih dikenal dengan Pattimura-, hingga Sisingamangaraja XII Sang Pemimpin Batak –yang nyata-nyata adalah seorang muslim karena stempel dan cap kerajaan yang dibuatnya menggunakan tahun Hijrah Nabi-, mereka semua adalah pahlawan muslim yang seharusnya dielu-elukan atas nama perjuangan Indonesia. Bukan kerajaan-kerajaan penindas di masa lampau yang tidak memberikan manfaat signifikan bagi Nusantara.
Dengan prinsip tauhid, para sultan dan ulama membakar semangat rakyat untuk menumpas penjajah dari bumi Nusantara. Hanya umat Islam yang mempunyai komitmen dan dedikasi tinggi untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Dengan semangat tauhid pula, Kiyai Hasyim Asy’ari mengeluarkan resolusi Jihad bagi warga Nahdhatul ‘Ulama agar membakar semangat peperangan melawan Belanda. Kini, perlukah kita mengelu-elukan romantika sejarah yang tak indah tentang kerajaan-kerajaan penindas, alih-alih kerajaan-kerajaan yang jelas-jelas memberikan kebebasan dan pembebasan pada rakyatnya, serta mengusir penjajah dari tanah Nusantara yang kita cintai ini?

“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.”  (QS. Ash-Shaff: 8).

Thursday, 3 March 2016

Penduduk Pahit Lidah di Negeri Gemah Ripah

Nusantara memiliki banyak kekayaan. Tidak hanya kekayaan alam yang dimiliki oleh Nusantara, tetapi juga kekayaan budaya dan bahasa. Perpaduan kekayaan ini menjadikan Indonesia bertahan sebagai pemegang banyak rekor dunia. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang membuatnya menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Bahkan tiga pulau di antaranya termasuk dalam enam besar pulau terbesar di dunia. Indonesia juga negara maritim terbesar dunia, memiliki wilayah perairan seluas 93.000 km persegi, dan pantai seluas 81.000 km persegi atau 25% wilayah pantai di dunia. Indonesia merupakan negara dengan suku bangsa terbanyak di dunia, dimana terdapat setidaknya 740 suku bangsa/etnis. Satu wilayah Papua –termasuk Papua Barat- saja sudah memuat 270 suku. Indonesia juga memiliki 583 bahasa daerah dan dialek dari 67 bahasa induk, yang mana Bahasa Jawa adalah bahasa yang paling banyak penuturnya. Tanpa berlelah-lelah mencari data pun saya akan percaya. Karena saya merasakannya sendiri ketika berada di kampung halaman. Kampung halaman saya terletak di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Di Sumatera Selatan, jangankan antar kabupaten/kota, terkadang antar desa saja sudah berbeda bahasa. Sampai di sini saja, dunia pun sudah mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya. Tidak sedikit penelitian yang menyatakan bahwa Atlantis yang hilang, sebenarnya adalah Indonesia.
            Sebuah lagu yang dipopulerkan Koes Plus berjudul Kolam Susu berlirik, “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, memang terjadi betul di negeri ini. Tanah Indonesia sangat subur. Ketika para sejarahwan secara tidak langsung membela penjajah dengan mengatakan Portugis, Spanyol, Belanda dan penjajah lainnya ke Indonesia awalnya ‘hanya’ bertujuan mengambil rempah-rempah karena tanah Indonesia yang subur, ternyata invasi bangsa asing ke Nusantara bahkan sudah lebih lawas lagi. Tahu apa yang digunakan oleh orang-orang Mesir zaman Fir’aun untuk mengawetkan mumi? Ya, mereka menggunakan kapur barus sebagai pengawet sekaligus pengharum. Untuk mendapatkan kapur barus, mereka harus berlayar jauh hingga ke daerah Barus, Sumatera Utara. Itulah mengapa disebut kapur barus, karena asalnya memang dari Barus. Ada bagian dari Nusantara ini yang tanahnya tidak subur, tetapi toh tidak kehilangan akal untuk menyejahterakan dirinya. Ada yang menambang emas dan permata, ada pula yang menjadikan ‘tongkat’ sebagai makanan pokoknya, yakni singkong. Ada pula yang ‘memanen’ garam untuk mendulang uang. Faktor-faktor tersebut menjadikan Indonesia berjuluk Gemah Ripah Loh Jinawi (Tentram makmur, subur tanahnya).
            Namun pertanyaan yang paling mendasar adalah, mengapa Indonesia masih sulit move on dari garis kemiskinan? Pengelolaan sumber daya yang kurang efisien dan keengganan untuk keluar dari zona nyaman adalah beberapa sebab di antara penyebabnya yang lain. Seorang kawan pernah berceloteh, “Allah itu adil ya. Dia Menciptakan tanah yang tidak subur, tapi penduduknya berpikir maju, jadi mereka melancong ke negeri orang untuk mengelola SDA-nya. Dia Menciptakan negeri yang subur seperti Indonesia ini, tapi penduduknya bodoh karena serakah. Bukan bodoh dalam arti harfiah.” Freeport berhasil dengan ‘gemilang’ mengubah bukit di Timika menjadi kawah. Silakan cari gambar bukit Grasberg sebelum dikeruk untuk diambil emasnya, dan bedakan dengan Grasberg yang sekarang. Lucunya, pemegang kepentingan di pihak Indonesia puas dengan mendapat ‘bagi hasil’ yang besarnya hanya 1% dan bonus kerusakan alam! Selain itu, fakta bahwa Indonesia sebagai negara maritim terbesar, tidak didukung dengan jumlah kapal selam yang dimiliki; yakni hanya 2 unit saja! Saat ini, jumlah kapal selam Indonesia hanya 2 unit saja, tidak lebih dan tidak kurang. Kedua unit kapal selam Indonesia ini adalah jenis U-209 berbobot 1300 ton buatan Jerman yang dibeli sekitar tahun 1977 dan mulai digunakan Angkatan Laut Indonesia sejak tahun 1981. Kedua unit kapal selam Indonesia dari jenis ini adalah KRI Cakra (401) KRI Nanggala (402). Negeri yang kaya, namun penduduknya tidak bermental kaya.
            Saya teringat akan seorang tokoh yang menjadi raja folklore Sumatera Bagian Selatan, ‘Si Pahit Lidah’. Rakyat Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung, pasti tidak asing dengan cerita rakyat tentang Si Pahit Lidah. Bahkan kisah tentangnya pernah diangkat ke layar kaca berjudul Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Dikisahkan bahwa Si Pahit Lidah adalah seorang pangeran bernama Serunting dari daerah Sumidang, anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang. Dijuluki Si Pahit Lidah karena kesaktiannya yang bisa mengutuk apapun dan siapapun menjadi batu hanya dengan sekali ucap. Temuan-temuan arkeolog berupa gua, batu, dan patung dipercaya rakyat sekitar sebagai hasil kutukan dari Si Pahit Lidah.
            Kesaktian Si Pahit Lidah ini seakan menjalar ke lidah-lidah penduduk Indonesia. Seringkali penulis temui rakyat kecil yang berprofesi sebagai pedagang atau penjual jasa seperti becak, ojek, dan jasa angkut yang mengeluhkan pemerintah yang kinerjanya buruk, wakil rakyat yang hobi tidur dan korupsi,  hingga cuaca pun acapkali menjadi kambing hitam kekesalannya. Sayangnya, ‘kesaktian’ Si Pahit Lidah juga menjalar ke lidah-lidah para birokrat dan pemegang kekuasaan. Kalau sudah dituduh tidak becus, yang dilakukan adalah mengambinghitamkan pihak lain, dan tidak jarang rakyat yang ditanya balik, “sudah berbuat apa untuk negara?”. Seakan sulit sekali duduk bersama dan turun sejenak melihat ke bawah dengan seksama apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang sebenarnya dibutuhkan. Karena pemimpin dan rakyatnya berpahit lidah, maka yang terjadi di sekitarnya justru seakan menjadi batu dan sulit untuk diambil manfaatnya. Seolah menjadi batu, karena sumber dayanya kadung diambil orang lain. Seolah menjadi batu, karena terlalu sering mengutuki nasib, sehingga tidak mampu memanfaatkan celah harapan yang ada di sekelilingnya. Seolah menjadi batu, karena semuanya dipandang salah dan tidak mendengarkannya.
            Ketika melawan Si Mata Empat, Si Pahit Lidah dikalahkan karena kesaktian Si Mata Empat yang dapat melihat apapun yang ada di sekitarnya tanpa harus berbalik badan. Kesaktiannya dapat membantu mengalahkan Si Pahit Lidah karena ia mampu memanfaatkan segala potensinya demi mengalahkan Si Pahit Lidah. Tulisan ini, bukan untuk mengawang-awang bagaimana kita menjadi Si Mata Empat. Namun, bagaimana kita dapat memanfaatkan segala potensi kita untuk menciptakan cahaya, sehingga terbitlah harapan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Bukan hanya mengutuk kegelapan dan nasib yang buruk, sehingga mata kita buta terhadap seberkas cahaya yang muncul di hadapan kita.

            Negeri ini akan tetap gemah ripah jika rakyatnya tidak terus-terusan berpahit lidah. Kekayaan yang dimiliki haruslah menjadi senjata untuk kemajuan, bukan justru menjadi senjata untuk saling menyerang antar saudara.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com