Kesempatan
kali ini, saya akan mengulas perihal iklan-iklan yang memberikan pesan kurang
baik kepada publik. Sebut saja sebuah slogan merk deterjen pencuci pakaian ternama
yang telah menghegemoni. Banyak sekali orang Indonesia tidak mahir menyebut
kata ‘deterjen’ atau setidaknya ‘sabun pencuci pakaian’. Mereka lebih memilih
jalan simpel dengan menyebut merk yang telah lebih dahulu merajai dunia
per-deterjen-an. Slogannya “berani kotor itu baik” memang terasa meneduhkan. Karena
slogan ini membuat para orang tua tidak khawatir apabila anaknya main
hujan-hujanan atau kotor-kotoran. Dengan segenap janji bahwa deterjen tersebut
akan dapat membersihkan kuman pada pakaian hingga tuntas ditambah dengan
mencontohkan bahwa anak yang kotor-kotoran bukanlah anak yang nakal, slogan ini
kemudian masuk ke alam bawah sadar masyarakat. Berani kotor itu baik. Benarkah?
Slogan-slogan
yang dipromosikan lewat iklan pelbagai produk memang sedap dibaca dan enak
didengar. Saya ingat ada slogan sebuah produsen parfum yang booming di
akhir 90-an, “Kesan pertama begitu mengggoda, selanjutnya terserah Anda.” Pada era
milenium, setiap produk berlomba-lomba untuk mengeluarkan slogan-slogan yang
mudah diingat, sehingga menarik minat masyarakat untuk membeli produk mereka. Slogan
“Tiada duanya” mengingatkan kita pada sebuah merk mobil pabrikan Jepang. Slogan
“Yang lebih mahal, banyak” akan langsung mengingatkan masyarakat pada sebuah
merk obat anti-nyamuk. Slogan “Satu hati” atau “Semakin di depan” kini cukup booming
untuk mengingatkan masayarakat kepada produsen sepeda motor pabrikan Jepang.
Sadar
atau tidak sadar, masyarakat akan terbiasa dengan slogan-slogan yang
dipromosikan lewat layar televisi, radio, ataupun media cetak. Tidak jarang,
mereka secara spontan menyitir slogan tersebut dalam pembicaraan sehari-hari. Namun,
apakah masyarakat menyadari, bahwasanya tidak semua slogan yang diperkenalkan
lewat iklan itu bermakna baik, atau setidaknya tidak ada pesan-pesan negatif
yang tersimpan di balik slogan-slogan tersebut? Jawabannya tidak perlu
menggunakan survei-survei besar, atau menggunakan teori psikologi dan teori lainnya
untuk sekadar membicarakan slogan yang masuk ke alam bawah sadar banya manusia.
Ya, tidak semua slogan-slogan tersebut bermakna baik dan mengajak kepada
kebaikan. Tidak sedikit produsen-produsen yang menyelipkan makna tersirat di
balik apa yang tersurat. Hal ini sejatinya perlu diwaspadai.
Tahukah
Anda produsen apa yang paling banyak mengeluarkan slogan-slogan bernas nan
renyah, juga diminati dan dinikmati oleh banyak penduduk negeri ini? Kalau masih
salah, berarti Anda belum peka terhadap masalah-masalah kecil yang berpotensi
besar. Jawabannya adalah produsen rokok. Saya sebut saja secara terang-terangan
di sini. Siapa yang tidak ingat slogan “Nggak ada lo nggak rame”? atau
slogan yang cukup populer di kalangan ‘ahli-hisap’, “Go Ahead”?
Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sesungguhnya slogan-slogan
produsen rokok tersebut mengandung pesan yang sangat mematikan di dalamnya. Pernahkah
terpikir oleh Anda semua apa makna sesungguhnya di balik “Nggak ada lo nggak
rame”? atau “Go Ahead”? Dengan slogan yang ringan, bernas, dan mudah
diingat, dibalut dengan iklan yang cukup menarik dan nikmat bila ditonton,
publik merasa asyik-asyik saja ketika mereka dibodohi oleh iklan-iklan semacam
itu.
Hal
unik yang patut kita perhatikan adalah setiap iklan rokok, tidak pernah
menampilkan adegan orang yang sedang merokok. Begitu pula yang terjadi pada
iklan rokok yang dipajang di emperan-emperan jalan. Iklan rokok ini hampir
setara dengan iklan pembalut perempuan yang tidak diperlihatkan cara
menggunakan produknya. Seharusnya kita menyadari bahwa apa yang tidak
diperkenankan ditampilkan di depan umum, sejatinya juga tidak diperkenankan
untuk dilakukan di depan umum pula. Perempuan tidak mungkin melakukannya di depan
umum, karena itu adalah hal privasi dan harus dilakukan di tempat tertutup yang
menjamin privasinya. Tetapi mengapa hal ini tidak terjadi pada rokok?
Sekadar
memberi kabar saja, slogan seperti “Go ahead” yang berarti “lanjutkan”
mengandung makna “Lanjutkan saja aktivitas merokokmu!” Ya, sekalipun Anda
dihujat dan disumpahserapahi orang-orang sekitar, lanjutkan saja aktivitas
merokok Anda. Toh Anda bisa berbagi kenikmatan, sehingga Anda tidak sendirian
menikmatinya. Ya, sekalipun merokok bisa merusak tubuh Anda, menyebarkan
penyakit ke seluruh anggota keluarga Anda, bahkan hingga merenggut nyawa Anda,
semua itu hanya masalah waktu. Maka lanjutkan saja aktivitas merokok Anda! Demikian
halnya yang dipesankan dalam slogan “Nggak ada lo nggak rame”. Ya, kalau
tidak ada rokok tersebut, maka suasana jadi tidak ramai dan tidak seru. Bagi mereka,
rokok menjadi alat pemersatu dan penghangat suasana. Tanpa adanya rokok, maka
perkumpulan jadi terasa hambar dan kikuk. Maka ditambah pula dengan slogan “Asyiknya
rame-rame” yang semakin mempertegas arti, “Kalau merokok, lebih asyik
ramai-ramai”. Sekalipun dalam iklannya tidak pernah menampilkan adegan orang
merokok, propaganda yang digencarkan oleh produsen rokok tetap memengaruhi
masyarakat untuk tetap bersikap permisif terhadap rokok, juga kepada orang
merokok. Padahal sudah banyak upaya untuk mengurangi konsumsi rokok dari
pemerintah.
Apa
yang harus kita lakukan adalah melakukan filter terhadap slogan-slogan yang
ditawarkan oleh pelbagai produk dalam iklannya. Bukan hanya memilih dan memilah
produk-produk yang ada, tetapi juga bagaimana melatih pikiran kita untuk tidak
terpengaruh oleh slogan. Slogan “Berani kotor itu baik”, memang terdengar indah
di telinga. Tetapi sedikit dari kita yang khawatir akan pengaruh dari slogan
tersebut. Sejatinya tidak benar seseorang dikatakan baik bila berani kotor. Kalau
orang dikatakan baik karena berani kotor, artinya kita membenarkan bahwa orang
yang berani korupsi itu juga baik, orang tidak membayar pajak itu baik, orang
yang berprestasi karena menyontek itu baik, dan lain sebagainya. Karena hal-hal
tersebut adalah perbuatan kotor, dan kita memberikan ‘izin’ bagi mereka untuk
berani kotor-kotoran. Seharusnya slogannya diganti menjadi, “Berani bersih itu
baik”. Kita harus mengajarkan kepada keluarga dan lingkungan, bahwa dalam
keadaan apapun, sekalipun kita terancam, kita harus tetap berlaku bersih dan
taat aturan.
Sesungguhnya
permasalahan propaganda dalam sebuah iklan ini termasuk ke dalam istilah yang
disebutkan al-Qur’an, yakni zukhruf al-qawli ghurura, yakni perkataan
dusta yang seolah-olah indah. Seolah-olah indah, namun kenyataannya buruk,
seolah-olah indah, namun kenyataannya menyesatkan.
“Dan
demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari
setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang
lain perkataan yang indah sebagai tipuan.”[1]