zakyzr.com

Wednesday, 25 May 2016

Transformasi Budaya Manusia dan Kontribusi Islam Terhadapnya

A.    Budaya
Budaya berarti sebuah pemikiran, adat istiadat atau akal budi. Secara tata bahasa, arti dari kebudayaan diturunkan dari kata budaya dimana cenderung menunjuk kepada cara berpikir manusia. (Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Koentjaraningrat, budaya merupakan sebuah sistem gagasan dan rasa, sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia di dalam kehidupannya yang bermasyarakat, yang dijadikan kepunyaannya dengan belajar. (Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996)). Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. (Lihat, Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.25). Dapat kita simpulkan bahwa budaya adalah hasil dari prilaku dan komunikasi antar-manusia dalam suatu tempat.
Ada beberapa unsur kebudayaan. Para ahli berbeda pendapat; ada yang mengatakan empat unsur, ada yang mengatakan lima, ada pula yang mengatakan tujuh unsur. Namun dari beberapa pendapat ahli, setidaknya dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur budaya –sebagaimana yang dinyatakan oleh C. Klukhohn- adalah: bahasa, sistem pengetahuan sistem teknologi  dan peralatan, sistem kesenian, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, sistem kekerabatan, dan organisasi kemasyarakatan. (Mengenai budaya dan unsur-unsur budaya, lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi).

B.     Transformasi Budaya
Kuntowijoyo dalam bukunya, Budaya dan Masyarakat, membuka bahasan transformasi budaya dengan kutipan Ranggawarsito tentang zaman edan. (Lihat, Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat: Edisi Paripurna, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 11.) Mengingat salah satu kutipannya sejatinya cukup menggelitik, “Mengalami jaman gila serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut gila tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tetapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia yang sabar dan waspada.” (Lihat, Karkono Partokusumo, Zaman Edan: Pembahasan Serat Kalitadha Ranggawarsita, (Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983), hlm. 9, 11).
Transformasi budaya selalu terjadi yang salah satu faktornya karena kejadian-kejadian yang dianggap luar biasa pada masa itu. Sebut saja ketika momen G-30/S PKI; pada saat itu diberlakukan jam malam, dan warga non-pribumi seperti hidup di antara jurang karena mereka dianggap komunis –terlebih orang-orang keturunan Tionghoa. Hingga sekarang, transformasi budaya terus terjadi. Saya masih ingat satu dekade yang lalu manakala melihat orang menggunakan ponsel layar sentuh, dapat dipastikan pengguna ponsel tersebut memiliki status ekonomi menengah ke atas. Namun hari ini, bahkan memesan ojek pun dapat dilakukan hanya dengan menyentuh satu-dua kali layar ponsel kita.
Budaya manusia berbeda antara zaman ke zaman dan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Budaya dari zaman ke zaman mengalami transformasi, sedangkan budaya antara satu daerah dengan daerah yang lain terjadi karena perbedaan perilaku dan gaya hidup yang disebabkan faktor keadaan daerah tersebut. Manusia sendiri adalah makhluk yang unik, tidak dapat disamakan dengan binatang atau malaikat sekalipun. Oleh sebab itu para ahli dari pelbagai bidang studi tak pernah mencapai kata sepakat dalam mendefinisikan manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan beragamnya penamaan manusia, seperti homo sapiens (binatang berakal) ada juga yang menyebutnya homo economicus (binatang ekonomi). Namun tidak demikian bila Islam yang mendefinisikan. (Lihat, Daud Ali dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 9). Tentang pandangan Islam, akan kita bahas di belakang.
Bila ingin melihat transformasi budaya dari masa ke masa, tidak sulit untuk mengidentifikasinya. Perubahan umat manusia adalah keniscayaan, disebabkan kehidupan manusia tidaklah cukup hanya memperoleh makanan semata. Manusia butuh bergotong royong (ta’awun) agar semua kebutuhannya dapat terpenuhi. (Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. XI 2013) hlm. 72). Pengorganisasian itulah yang memberikan perbedaan hingga perubahan budaya pada umat manusia. Semenjak Nabi Adam alayhissalam hidup di muka bumi, semenjak itulah budaya manusia tercipta. Hingga kemudian Adam beranak-pinak dan anak-cucunya menyebar ke segala penjuru dunia. Anak-cucu Adam yang menyebar inilah yang kemudian menciptakan budaya masing-masing kawasannya dengan prilaku dan pola komunikasi yang masing-masing berbeda.
Bahkan tak perlu jauh-jauh untuk melihat transformasi budaya, karena di Indonesia sendiri memiliki keragaman budaya, dan masing-masing budayanya mengalami transformasi. Masuknya pelbagai macam budaya ke Indonesia, menjadikan Indonesia memiliki warna kebudayaan yang paling warna-warni. Hingga warga keturunan asing yang banyak didominasi ras Tionghoa dan Arab tidak lagi terlihat ke-Tionghoa-annya atau ke-Arab-annya oleh sebab terjadinya akulturasi yang begitu kencang antara kebudayaan yang mereka bawa dari leluhurnya dengan kebudayaan tempatnya tinggal sekarang. Kendati ada beberapa daerah dimana warga keturunan asing masih sulit berbaur dengan warga setempat. Sebut saja orang-orang Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat, hingga kini tidak sedikit mereka yang tidak mampu berbahasa lokal (Melayu Sambas) bahkan Bahasa Indonesia. Hal ini menurut Poerwanto disebabkan adanya diskriminasi dan prasangka (prejudice) dalam hubungan mayoritas-minoritas. (Lihat, Hari Poerwanto, Cina Khek di Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, cet. II 2014), hlm. 12).

C.    Bagaimana Peran Islam?
Hari ini, perubahan budaya semakin tidak terkendali. Banyak para filosof memandang bahwa kini sudah masuk masa postmodern. Bahkan ilmu-ilmu kontemporer juga menggunakan postmodern. Sebut saja di antaranya postmodern art, postmodern dance, postmodern film, postmodern literature, postmodern feminism, dan lain sebagainya. Postmodern sendiri artinya perubahan budaya –mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir- yang terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. (Lihat, Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cet.II 2014), hlm.24). Sementara banyak yang terlena dengan dunia postmodern, tidak sedikit umat Islam yang lupa kepada buku panduannya sendiri, yakni al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri sering dituduh kuno dan tidak ilmiah oleh banyak kalangan –yang mengaku dan dicap oleh publik sebagai- cendekiawan muslim. Nasr Hamid Abu Zayd bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya) setelah ia banyak mengakrabi hermeneutika. Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Abu Zayd menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi Kritik Sastra (literary criticism). Dalam pandangannya metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam.” (Lihat, Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an, (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, cet.II 1994), hlm. 27).
            Benarkah demikian apa yang disampaikan oleh Nasr Hamid Abu Zayd? Kenyataannya justru sebaliknya. Islam berdiri di luar pergulatan budaya, kemudian masuk ke dalamnya. Islam bukan ikut arus transformasi budaya, melainkan Islam yang menawarkan transfomasi dari budaya yang buruk kepada budaya yang baik. Apabila al-Qur’an dikatakan produk budaya dari Arab, dimana buktinya? Apakah karena perempuan wajib berkerudung? Perbedaan penempatan antara lelaki dengan  perempuan? Atau karena syariat yang terkesan mengungkung? Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Dahulu di Arab hanya ada hukum yang berdasarkan kesepakatan dan hanya pihak yang berkuasa yang diuntungkan. Bangsa Arab sendiri dinamakan “Arab” karena menurut Firas Alkhateeb berasal dari akar kata bahasa Semit yang berarti “wandering” (pengembaraan) atau “nomadic” (nomaden). (Lihat, Firas Alkhateeb, Lost Islamic History, (London: C. Hurst & Co. Ltd., 2014) hlm. 2). Dengan penamaan terhadap bangsa Arab tersebut, dapat kita pahami bahwa karakter orang Arab cenderung keras dan tak beradab. Lantas, mana mungkin bangsa yang tidak diperhitungkan sama sekali kemudian dapat berkembang dan melakukan aneksasi terhadap bangsa-bangsa di kanan-kirinya yang jauh lebih besar? Hanya akan menjadi mungkin apabila ada sebuah pengajaran yang baik dan itu merupakan elemen pengubah peradaban, dari yang semula hanya peradaban tertinggal menjadi peradaban maju.
            Aturan-aturan yang ada pada Islam justru membentuk budaya yang baru. Ketika ayat tentang hijab turun, perempuan-perempuan mukmin di kalangan sahabat tanpa basa-basi langsung mencari kain apapun agar dapat digunakan sebagai kerudung mereka. Ketika turun ayat pengharaman khamr, para sahabat yang hobi dan sedang meminum khamr bahkan langsung memuntahkannya sembari berucap “intahaynaa ya Rabb! Intahaynaa!” (Kami sudah berhenti, Ya Tuhan! Kami sudah berhenti!). Sebelum ayat tentang perintah menikah perempuan dengan jumlah dua, tiga, atau empat turun, para lelaki Arab membudayakan menggilir perempuan yang mereka senangi, dan jika nanti perempuan tersebut mengandung, maka diadakan undian untuk menentukan siapa yang menjadi ayahnya. Jika al-Qur’an memang produk budaya Arab, mengapa justru bertolak belakang dengan budaya Arab sendiri?
            Majunya peradaban Arab karena pembentukan budaya oleh Islam bahkan diakui oleh orang Barat sendiri. “Life for the majority of people in mainland Christian Europe was short, brutal and barbaric when compared with the sophisticated, learned, and tolerant regime in Islamic Spain.” (Lihat, Tim-Wallace Murphy, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization, (London: Watkins Publishing, 2006), hlm. 129). Ketika di Barat masih tidak mengetahui bagaimana caranya memilih makanan yang enak dan masih memakan makanan mentah, masyarakat di kerajaan Islam sudah dapat meracik bumbu dan membuat masakan yang enak. Ketika Barat tidak tahu bagaimana caranya membersihkan badan dengan baik dan benar, masyarakat muslim telah merasakan nikmatnya pemandian air panas. Hingga pada akhirnya, justru masyarakat muslim yang kian mundur, dan kini Barat merajai kebudayaan di dunia. Umat Islam kehilangan jati diri, sehingga lebih memilih untuk patuh pada kebudayaan dan teknologi Barat. Hingga lupa bahwa Barat pun sejatinya belajar dari kebudayaan Islam. Inilah yang dinyatakan Muhammad Asad, “Tetapi kita harus menyadari bahwa karena kelalaian kaum Muslimin-lah, dan bukan karena kekurangan ajaran-ajaran Islam, yang menyebabkan kemunduran kita sekarang.” (Lihat, Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, alih bahasa M. Hashem, (Bandung: Pustaka, cet.III 1983), hlm. 80).


Referensi:
Ali, Daud dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Alkhateeb, Firas, Lost Islamic History, London: C. Hurst & Co. Ltd., 2014.
Asad, Muhammad, Islam di Simpang Jalan, alih bahasa M. Hashem, Bandung: Pustaka, cet.III 1983.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. XI 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat: Edisi Paripurna, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
Lubis, Akhyar Yusuf, Postmodernisme: Teori dan Metode, Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cet.II 2014.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Murphy, Tim-Wallace, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization, London: Watkins Publishing, 2006.
Partokusumo, Karkono, Zaman Edan: Pembahasan Serat Kalitadha Ranggawarsita, Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983.
Poerwanto, Hari, Cina Khek di Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, cet. II 2014

Zayd, Nasr Hamid Abu, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, cet.II 1994.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com