A.
Budaya
Budaya
berarti sebuah pemikiran, adat istiadat atau akal budi. Secara tata bahasa,
arti dari kebudayaan diturunkan dari kata budaya dimana cenderung menunjuk kepada
cara berpikir manusia. (Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut
Koentjaraningrat, budaya merupakan sebuah sistem gagasan dan rasa, sebuah
tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia di dalam kehidupannya yang
bermasyarakat, yang dijadikan kepunyaannya dengan belajar. (Lihat,
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta,
1996)). Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia. (Lihat, Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi
Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.25). Dapat kita simpulkan bahwa budaya adalah
hasil dari prilaku dan komunikasi antar-manusia dalam suatu tempat.
Ada
beberapa unsur kebudayaan. Para ahli berbeda pendapat; ada yang mengatakan
empat unsur, ada yang mengatakan lima, ada pula yang mengatakan tujuh unsur.
Namun dari beberapa pendapat ahli, setidaknya dapat dirumuskan bahwa
unsur-unsur budaya –sebagaimana yang dinyatakan oleh C. Klukhohn- adalah: bahasa,
sistem pengetahuan sistem teknologi dan
peralatan, sistem kesenian, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, sistem
kekerabatan, dan organisasi kemasyarakatan. (Mengenai budaya dan unsur-unsur
budaya, lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi).
B.
Transformasi Budaya
Kuntowijoyo
dalam bukunya, Budaya dan Masyarakat, membuka bahasan transformasi
budaya dengan kutipan Ranggawarsito tentang zaman edan. (Lihat,
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat: Edisi Paripurna, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006), hlm. 11.) Mengingat salah satu kutipannya sejatinya cukup
menggelitik, “Mengalami jaman gila serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tidak
tahan, kalau tidak ikut gila tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tetapi
takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih
bahagia yang sabar dan waspada.” (Lihat, Karkono Partokusumo, Zaman Edan:
Pembahasan Serat Kalitadha Ranggawarsita, (Yogyakarta: Proyek Javanologi,
1983), hlm. 9, 11).
Transformasi
budaya selalu terjadi yang salah satu faktornya karena kejadian-kejadian yang
dianggap luar biasa pada masa itu. Sebut saja ketika momen G-30/S PKI; pada
saat itu diberlakukan jam malam, dan warga non-pribumi seperti hidup di antara
jurang karena mereka dianggap komunis –terlebih orang-orang keturunan Tionghoa.
Hingga sekarang, transformasi budaya terus terjadi. Saya masih ingat satu
dekade yang lalu manakala melihat orang menggunakan ponsel layar sentuh, dapat
dipastikan pengguna ponsel tersebut memiliki status ekonomi menengah ke atas.
Namun hari ini, bahkan memesan ojek pun dapat dilakukan hanya dengan menyentuh
satu-dua kali layar ponsel kita.
Budaya
manusia berbeda antara zaman ke zaman dan antara satu daerah dengan daerah yang
lain. Budaya dari zaman ke zaman mengalami transformasi, sedangkan budaya
antara satu daerah dengan daerah yang lain terjadi karena perbedaan perilaku
dan gaya hidup yang disebabkan faktor keadaan daerah tersebut. Manusia sendiri
adalah makhluk yang unik, tidak dapat disamakan dengan binatang atau malaikat
sekalipun. Oleh sebab itu para ahli dari pelbagai bidang studi tak pernah
mencapai kata sepakat dalam mendefinisikan manusia. Hal ini dapat dibuktikan
dengan beragamnya penamaan manusia, seperti homo sapiens (binatang
berakal) ada juga yang menyebutnya homo economicus (binatang ekonomi).
Namun tidak demikian bila Islam yang mendefinisikan. (Lihat, Daud Ali dkk, Islam
untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang,
1989), hlm. 9). Tentang pandangan Islam, akan kita bahas di belakang.
Bila
ingin melihat transformasi budaya dari masa ke masa, tidak sulit untuk
mengidentifikasinya. Perubahan umat manusia adalah keniscayaan, disebabkan
kehidupan manusia tidaklah cukup hanya memperoleh makanan semata. Manusia butuh
bergotong royong (ta’awun) agar semua kebutuhannya dapat terpenuhi.
(Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa Ahmadie Thoha, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, Cet. XI 2013) hlm. 72). Pengorganisasian itulah yang
memberikan perbedaan hingga perubahan budaya pada umat manusia. Semenjak Nabi
Adam alayhissalam hidup di muka bumi, semenjak itulah budaya manusia tercipta.
Hingga kemudian Adam beranak-pinak dan anak-cucunya menyebar ke segala penjuru
dunia. Anak-cucu Adam yang menyebar inilah yang kemudian menciptakan budaya
masing-masing kawasannya dengan prilaku dan pola komunikasi yang masing-masing
berbeda.
Bahkan
tak perlu jauh-jauh untuk melihat transformasi budaya, karena di Indonesia
sendiri memiliki keragaman budaya, dan masing-masing budayanya mengalami
transformasi. Masuknya pelbagai macam budaya ke Indonesia, menjadikan Indonesia
memiliki warna kebudayaan yang paling warna-warni. Hingga warga keturunan asing
yang banyak didominasi ras Tionghoa dan Arab tidak lagi terlihat
ke-Tionghoa-annya atau ke-Arab-annya oleh sebab terjadinya akulturasi yang
begitu kencang antara kebudayaan yang mereka bawa dari leluhurnya dengan
kebudayaan tempatnya tinggal sekarang. Kendati ada beberapa daerah dimana warga
keturunan asing masih sulit berbaur dengan warga setempat. Sebut saja
orang-orang Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat, hingga kini tidak sedikit
mereka yang tidak mampu berbahasa lokal (Melayu Sambas) bahkan Bahasa
Indonesia. Hal ini menurut Poerwanto disebabkan adanya diskriminasi dan
prasangka (prejudice) dalam hubungan mayoritas-minoritas. (Lihat, Hari
Poerwanto, Cina Khek di Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, cet. II
2014), hlm. 12).
C.
Bagaimana Peran Islam?
Hari
ini, perubahan budaya semakin tidak terkendali. Banyak para filosof memandang
bahwa kini sudah masuk masa postmodern. Bahkan ilmu-ilmu kontemporer juga
menggunakan postmodern. Sebut saja di antaranya postmodern art, postmodern
dance, postmodern film, postmodern literature, postmodern feminism, dan
lain sebagainya. Postmodern sendiri artinya perubahan budaya –mulai dari gaya
hidup hingga paradigma berpikir- yang terjadi akibat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi. (Lihat, Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme:
Teori dan Metode, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cet.II 2014), hlm.24). Sementara
banyak yang terlena dengan dunia postmodern, tidak sedikit umat Islam yang lupa
kepada buku panduannya sendiri, yakni al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri sering
dituduh kuno dan tidak ilmiah oleh banyak kalangan –yang mengaku dan dicap oleh
publik sebagai- cendekiawan muslim. Nasr Hamid Abu Zayd bahkan menyatakan bahwa
al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya) setelah ia banyak
mengakrabi hermeneutika. Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji
al-Quran, Abu Zayd menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj
tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi Kritik Sastra
(literary criticism). Dalam pandangannya metode tersebut merupakan
satu-satunya metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab
itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang
mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam.” (Lihat,
Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an, (Beirut:
al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, cet.II 1994), hlm. 27).
Benarkah
demikian apa yang disampaikan oleh Nasr Hamid Abu Zayd? Kenyataannya justru
sebaliknya. Islam berdiri di luar pergulatan budaya, kemudian masuk ke
dalamnya. Islam bukan ikut arus transformasi budaya, melainkan Islam yang
menawarkan transfomasi dari budaya yang buruk kepada budaya yang baik. Apabila
al-Qur’an dikatakan produk budaya dari Arab, dimana buktinya? Apakah karena
perempuan wajib berkerudung? Perbedaan penempatan antara lelaki dengan perempuan? Atau karena syariat yang terkesan
mengungkung? Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Dahulu di Arab hanya ada
hukum yang berdasarkan kesepakatan dan hanya pihak yang berkuasa yang
diuntungkan. Bangsa Arab sendiri dinamakan “Arab” karena menurut Firas Alkhateeb
berasal dari akar kata bahasa Semit yang berarti “wandering” (pengembaraan)
atau “nomadic” (nomaden). (Lihat, Firas Alkhateeb, Lost Islamic
History, (London: C. Hurst & Co. Ltd., 2014) hlm. 2). Dengan penamaan
terhadap bangsa Arab tersebut, dapat kita pahami bahwa karakter orang Arab
cenderung keras dan tak beradab. Lantas, mana mungkin bangsa yang tidak
diperhitungkan sama sekali kemudian dapat berkembang dan melakukan aneksasi
terhadap bangsa-bangsa di kanan-kirinya yang jauh lebih besar? Hanya akan
menjadi mungkin apabila ada sebuah pengajaran yang baik dan itu merupakan
elemen pengubah peradaban, dari yang semula hanya peradaban tertinggal menjadi
peradaban maju.
Aturan-aturan
yang ada pada Islam justru membentuk budaya yang baru. Ketika ayat tentang
hijab turun, perempuan-perempuan mukmin di kalangan sahabat tanpa basa-basi
langsung mencari kain apapun agar dapat digunakan sebagai kerudung mereka.
Ketika turun ayat pengharaman khamr, para sahabat yang hobi dan sedang
meminum khamr bahkan langsung memuntahkannya sembari berucap “intahaynaa
ya Rabb! Intahaynaa!” (Kami sudah berhenti, Ya Tuhan! Kami sudah
berhenti!). Sebelum ayat tentang perintah menikah perempuan dengan jumlah dua,
tiga, atau empat turun, para lelaki Arab membudayakan menggilir perempuan yang
mereka senangi, dan jika nanti perempuan tersebut mengandung, maka diadakan
undian untuk menentukan siapa yang menjadi ayahnya. Jika al-Qur’an memang
produk budaya Arab, mengapa justru bertolak belakang dengan budaya Arab
sendiri?
Majunya
peradaban Arab karena pembentukan budaya oleh Islam bahkan diakui oleh orang
Barat sendiri. “Life for the majority of people in mainland Christian Europe was short,
brutal and barbaric when compared with the sophisticated, learned, and tolerant
regime in Islamic Spain.” (Lihat,
Tim-Wallace Murphy, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s
Contribution to Western Civilization, (London: Watkins Publishing, 2006),
hlm. 129). Ketika di Barat masih tidak mengetahui bagaimana caranya memilih
makanan yang enak dan masih memakan makanan mentah, masyarakat di kerajaan
Islam sudah dapat meracik bumbu dan membuat masakan yang enak. Ketika Barat
tidak tahu bagaimana caranya membersihkan badan dengan baik dan benar,
masyarakat muslim telah merasakan nikmatnya pemandian air panas. Hingga pada
akhirnya, justru masyarakat muslim yang kian mundur, dan kini Barat merajai
kebudayaan di dunia. Umat Islam kehilangan jati diri, sehingga lebih memilih
untuk patuh pada kebudayaan dan teknologi Barat. Hingga lupa bahwa Barat pun sejatinya
belajar dari kebudayaan Islam. Inilah yang dinyatakan Muhammad Asad, “Tetapi
kita harus menyadari bahwa karena kelalaian kaum Muslimin-lah, dan bukan karena
kekurangan ajaran-ajaran Islam, yang menyebabkan kemunduran kita sekarang.”
(Lihat, Muhammad Asad, Islam di Simpang Jalan, alih bahasa M. Hashem,
(Bandung: Pustaka, cet.III 1983), hlm. 80).
Referensi:
Ali,
Daud dkk, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Jakarta:
Bulan Bintang, 1989.
Alkhateeb, Firas, Lost Islamic History, London: C. Hurst
& Co. Ltd., 2014.
Asad,
Muhammad, Islam di Simpang Jalan, alih bahasa M. Hashem, Bandung:
Pustaka, cet.III 1983.
Ibn
Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka
Firdaus, Cet. XI 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
Rineka Cipta, 1996.
Kuntowijoyo,
Budaya dan Masyarakat: Edisi Paripurna, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
Lubis,
Akhyar Yusuf, Postmodernisme: Teori dan Metode, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, Cet.II 2014.
Mulyana,
Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Murphy,
Tim-Wallace, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to
Western Civilization, London: Watkins Publishing, 2006.
Partokusumo,
Karkono, Zaman Edan: Pembahasan Serat Kalitadha Ranggawarsita, Yogyakarta:
Proyek Javanologi, 1983.
Poerwanto,
Hari, Cina Khek di Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, cet. II 2014
Zayd,
Nasr Hamid Abu, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an, Beirut:
al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, cet.II 1994.
Wah, tulisannya macam jurnal ilmiah begini, tumben sekali. Walau begitu, tetap bermanfaat, Pak Zaky. Semangat menulis. Semoga tetap menginspirasi. -/\-
ReplyDeletekami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
Deletedan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
berikan 4 angka 2517 alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI bagi saudara yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi AKI SOLEH,,di no CLL (((082-313-336-747)))
insya allah anda bisa seperti Saya menang togel 689
juta, wassalam.
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....
Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1"Dikejar-kejar hutang
2"Selaluh kalah dalam bermain togel
3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat
5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..
Solusi yang tepat jangan anda putus asah....AKI SOLEH akan membantu
anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: AKI SOLEH DI NO: CLL (((082-313-336-747)))
KLIK DISINI >>> BOCORAN TOGEL HARI INI <<<
angka GHOIB: singapur 2D/3D/4D/
angka GHOIB: hongkong 2D/3D/4D/
angka GHOIB; malaysia
angka GHOIB; toto magnum 4D/5D/6D/
angka GHOIB; laos