Era globalisasi
menawarkan banyak budaya baru. Masa kini, dianggap oleh para ilmuwan bukan lagi
era modern, tetapi sudah jauh melampaui era modern. Maka yang dikenal sekarang
adalah era postmodern. Tahu makna postmodern? Oh, atau saya ganti saja pertanyaannya;
pernah dengar istilah postmodern? Kalau tidak pernah sama sekali mendengarnya,
saya beri satu saran: jangan terlalu lama mengalami keterbelakangan informasi.
Istilah postmodern sudah marak di pelbagai media, juga tidak asing di telinga
kita, terutama di telinga para akademisi. Bila Anda ada waktu luang, silakan
ketik saja kata “postmodern” di kolom pencarian mesin pencari Anda. Pasti Anda
akan menemukan kemajemukan yang mengembel-embeli istilah postmodern. Sebut saja
postmodern art, postmodern anthropology, postmodern architecture, postmodern
dance, dan masih banyak lagi istilah lainnya. Setidaknya hal ini
menunjukkan bahwa istilah postmodern memang sudah lazim digunakan, dan banyak
yang menganggap sekarang adalah era postmodern. Lantas, sebenarnya apa itu
postmodern? Singkatnya, post-mo adalah perubahan budaya –mulai dari budaya
hidup hingga paradigma berpikir- yang terjadi akibat perkembangan ilmu
pengetahuan. Jadi, sesuatu yang sudah modern dan mapan dianggap tidak lagi
relevan, sehingga harus dikritik dengan mempertimbangkan subyektivitas,
obyektivitas, aspek sosial-historis, bahasa, paradigma, dan kerangka
konseptual. (Lihat, Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode,
(Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 24).
Hari ini, kita melihat segala hal
menjadi mudah. Dunia seperti dilipat. Dahulu, untuk naik haji saja dari
Indonesia membutuhkan waktu sembilan bulan untuk perjalanan pergi-pulang.
Padahal untuk berhaji hanya butuh meluangkan waktu setidaknya satu minggu.
Tetapi sekarang dengan adanya pesawat udara, perjalanan menjadi lebih singkat.
Bahkan dengan membayar ongkos yang lebih, kita bisa melakukan haji hanya dalam
waktu satu minggu. Istilahnya ONH plus-plus. Berita kerusuhan di London sana,
bisa kita terima hanya dalam hitungan menit setelah kejadian. Informasi
meluncur begitu cepat, bahkan bisa jadi lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan
oleh mata kita untuk sekadar berkedip. Selain itu, dengan adanya aplikasi chatting
layaknya Whatsapp, Line, Telegram, ataupun, BBM, segala
komunikasi menjadi lebih mudah. Tanpa khawatir kehabisan pulsa, siapapun bisa
berkomunikasi dengan skala antar-negara, yang penting ada koneksi internet.
Simpel. Kita tiba pada masa yang jika disebut tradisional sudah tidak mungkin,
jika disebut modern, justru telah jauh melampau modernitas. Oleh sebab itu
banyak para sosiolog berpendapat bahwa sekarang memasuki era postmodern.
Ada hal-hal menarik yang tidak kalah
uniknya, khususnya di kalangan umat Islam. Sekarang banyak sekali komunitas
yang mengandalkan aplikasi chatting sebagai sarana penunjang aktivitas
dakwah dan ibadah mereka. Sebut saja komunitas One Day One Juz. Komunitas ini
mengumpulkan banyak orang dalam satu grup whatsapp (WA), kemudian dicek satu per satu
apakah anggotanya telah melaksanakan tilawah satu juz dalam satu hari. Setelah booming ODOJ,
banyak bermunculan komunitas lain dengan metode yang relatif sama. Intinya sama-sama menggiatkan ibadah bagi para anggota
komunitasnya. Tren ini pun terus berkembangnya dengan cepatnya. Hingga kini,
banyak sekali aktivitas-aktivitas yang cukup dikoordinasi lewat WA. Mulai dari diskusi
online, kajian, hingga mempelajari suatu materi tertentu seperti bahasa asing.
Baik atau buruk? Seperti biasa, kita
tidak bisa menilai sebuah hal hanya melalui satu sudut pandang saja. Seperti biasa
pula, fenomena semacam ini akan menimbulkan pro dan kontra. Orang-orang yang
mobilitasnya tinggi, jadwal aktivitasnya amat padat, pastinya pro dan mungkin
sangat mendukung fenomena ini. Di sisi lain, mereka yang konservatif pastinya kontra
dan menginginkan keadaan kembali sebagaimana dahulu, agar tercipta intensitas
tegur-sapa yang baik, dan budaya yang ramah lingkungan.
Bagaimanapun,
fenomena ini sudah terjadi dan membuat kita yang menjadi korban sekaligus
pelaku sudah sedemikian jauh terbawa arus. Upaya untuk mengembalikan keadaan seperti
semula akan berujung sia-sia. Sedangkan tindakan untuk mendukung sepenuhnya,
sepertinya akan membawa kita pada zaman acuh tak acuh. Karena tidak bisa
dipungkiri, fenomena ini menjadikan masyarakat minim sosialisasi,
bertegur-sapa, ataupun hidup bergotong-royong. Yang jauh terasa dekat, yang
dekat terasa begitu jauh. Bahkan beberapa aktivis mahasiswa menjadikan fenomena
ini sebagai alasan menurunnya militansi aktivis sekarang, karena dimanjakan
dengan segala fasilitas yang ada. Tindakan-tindakan preventif acap dilakukan. Misalnya
menonaktifkan ponsel ketika bercengkerama, atau yang lebih ekstrem adalah
menghapus semua aplikasi berbasis chatting
dari ponsel pintarnya. Tentunya tindakan bijak harus dipikirkan bersama,
agar kondisi negatif tidak berlarut-larut, dan kita berharap fenomena ini justru
bisa menunjang produktivitas hidup masyarakat.
Dampak
negatif yang terjadi sekarang, jelas telah diprediksi secara akurat seratus
persen dalam Al-Qur’an. “Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan manusia; Allah
Menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).[1]
Jika kita perhatikan, ayat tersebut menyebutkan kata “sebagian”. Manusia hanya
menerima sebagian balasan akibat perbuatan mereka, bukan keseluruhan. Artinya,
Allah masih memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengevaluasi kesalahannya,
demi menjadikannya pelajaran, sehingga kemudian kembali ke jalan yang benar. Bisa
saja, komunitas ibadah berbasis aplikasi chatting
dikatakan sebagai media untuk kembali ke jalan yang benar. Namun, bisa saja
media tersebut menjadi bumerang, dan menjadikan kita sebagaimana orang munafik
yang Allah terus diperingatkan Allah kepada kita. “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah
yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan
malas”[2].
Dengan fasilitas yang semakin memanjakan, bukan tidak mungkin fokus kita
justru teralihkan dan menjadi lalai beribadah. Semua tergantung niatnya,
memang. Tetapi siapa yang bisa mengecek niat orang lewat whatsapp? Lagi-lagi kita butuh evaluasi bersama untuk kebaikan
jangka panjang.
Tulisan
ini tidak memberikan solusi? Jelas, kalau ada solusi, saya tidak menuliskannya
di sini. Saya hanya seorang pengeluh-kesah yang suka menulis. Maka harapannya
adalah orang-orang yang membaca ini, dapat mengajak saya mendiskusikan
solusinya. Karena saya manusia, dan kodratnya manusia itu memang diciptakan
suka berkeluh-kesah.
Apakah
saya berlebihan? Mungkin saja. Toh era sekarang adalah eranya segala sesuatu
yang berlebihan. Perlombaan menghafal qur’an, atau sering dikenal dengan MHQ (Musabaqah Hifzhil Qur’an) yang sering
bersanding dengan MTQ (Musababaqah
Tilawatil Qur’an) kini sudah digelar sedemikian mentereng. Ditampilkan di
televisi, dengan menggalang dukungan via polling SMS. Ditambah ada pula lomba
da’i yang tidak kalah dibuat serunya. Uniknya dipandu oleh satu atau beberapa host yang biasanya juga memandu acara-acara
yang bertolak-belakang nilainya, sebut saja misalnya acara dangdut. Kini, semua
serba berlebihan. Segala batas ditembus demi mendapatkan banyak keuntungan. Dahulu,
lomba-lomba semacam itu dibuat sederhana dan bertujuan untuk menemukan
bibit-bibit baru yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, bukan justru
menjadi tontonan yang kemudian menjadi selebriti baru. Dan jangan lupa, siapakah
yang paling diuntungkan dalam tayangan-tayangan semacam itu?