zakyzr.com

Saturday, 25 June 2016

Aktivitas Ibadah Postmodern


Era globalisasi menawarkan banyak budaya baru. Masa kini, dianggap oleh para ilmuwan bukan lagi era modern, tetapi sudah jauh melampaui era modern. Maka yang dikenal sekarang adalah era postmodern. Tahu makna postmodern? Oh, atau saya ganti saja pertanyaannya; pernah dengar istilah postmodern? Kalau tidak pernah sama sekali mendengarnya, saya beri satu saran: jangan terlalu lama mengalami keterbelakangan informasi. Istilah postmodern sudah marak di pelbagai media, juga tidak asing di telinga kita, terutama di telinga para akademisi. Bila Anda ada waktu luang, silakan ketik saja kata “postmodern” di kolom pencarian mesin pencari Anda. Pasti Anda akan menemukan kemajemukan yang mengembel-embeli istilah postmodern. Sebut saja postmodern art, postmodern anthropology, postmodern architecture, postmodern dance, dan masih banyak lagi istilah lainnya. Setidaknya hal ini menunjukkan bahwa istilah postmodern memang sudah lazim digunakan, dan banyak yang menganggap sekarang adalah era postmodern. Lantas, sebenarnya apa itu postmodern? Singkatnya, post-mo adalah perubahan budaya –mulai dari budaya hidup hingga paradigma berpikir- yang terjadi akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Jadi, sesuatu yang sudah modern dan mapan dianggap tidak lagi relevan, sehingga harus dikritik dengan mempertimbangkan subyektivitas, obyektivitas, aspek sosial-historis, bahasa, paradigma, dan kerangka konseptual. (Lihat, Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme: Teori dan Metode, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 24).
            Hari ini, kita melihat segala hal menjadi mudah. Dunia seperti dilipat. Dahulu, untuk naik haji saja dari Indonesia membutuhkan waktu sembilan bulan untuk perjalanan pergi-pulang. Padahal untuk berhaji hanya butuh meluangkan waktu setidaknya satu minggu. Tetapi sekarang dengan adanya pesawat udara, perjalanan menjadi lebih singkat. Bahkan dengan membayar ongkos yang lebih, kita bisa melakukan haji hanya dalam waktu satu minggu. Istilahnya ONH plus-plus. Berita kerusuhan di London sana, bisa kita terima hanya dalam hitungan menit setelah kejadian. Informasi meluncur begitu cepat, bahkan bisa jadi lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan oleh mata kita untuk sekadar berkedip. Selain itu, dengan adanya aplikasi chatting layaknya Whatsapp, Line, Telegram, ataupun, BBM, segala komunikasi menjadi lebih mudah. Tanpa khawatir kehabisan pulsa, siapapun bisa berkomunikasi dengan skala antar-negara, yang penting ada koneksi internet. Simpel. Kita tiba pada masa yang jika disebut tradisional sudah tidak mungkin, jika disebut modern, justru telah jauh melampau modernitas. Oleh sebab itu banyak para sosiolog berpendapat bahwa sekarang memasuki era postmodern.
            Ada hal-hal menarik yang tidak kalah uniknya, khususnya di kalangan umat Islam. Sekarang banyak sekali komunitas yang mengandalkan aplikasi chatting sebagai sarana penunjang aktivitas dakwah dan ibadah mereka. Sebut saja komunitas One Day One Juz. Komunitas ini mengumpulkan banyak orang dalam satu grup whatsapp (WA), kemudian dicek satu per satu apakah anggotanya telah melaksanakan tilawah satu juz dalam satu hari. Setelah booming ODOJ, banyak bermunculan komunitas lain dengan metode yang relatif sama. Intinya sama-sama menggiatkan ibadah bagi para anggota komunitasnya. Tren ini pun terus berkembangnya dengan cepatnya. Hingga kini, banyak sekali aktivitas-aktivitas yang cukup dikoordinasi lewat WA. Mulai dari diskusi online, kajian, hingga mempelajari suatu materi tertentu seperti bahasa asing.
            Baik atau buruk? Seperti biasa, kita tidak bisa menilai sebuah hal hanya melalui satu sudut pandang saja. Seperti biasa pula, fenomena semacam ini akan menimbulkan pro dan kontra. Orang-orang yang mobilitasnya tinggi, jadwal aktivitasnya amat padat, pastinya pro dan mungkin sangat mendukung fenomena ini. Di sisi lain, mereka yang konservatif pastinya kontra dan menginginkan keadaan kembali sebagaimana dahulu, agar tercipta intensitas tegur-sapa yang baik, dan budaya yang ramah lingkungan.
Bagaimanapun, fenomena ini sudah terjadi dan membuat kita yang menjadi korban sekaligus pelaku sudah sedemikian jauh terbawa arus. Upaya untuk mengembalikan keadaan seperti semula akan berujung sia-sia. Sedangkan tindakan untuk mendukung sepenuhnya, sepertinya akan membawa kita pada zaman acuh tak acuh. Karena tidak bisa dipungkiri, fenomena ini menjadikan masyarakat minim sosialisasi, bertegur-sapa, ataupun hidup bergotong-royong. Yang jauh terasa dekat, yang dekat terasa begitu jauh. Bahkan beberapa aktivis mahasiswa menjadikan fenomena ini sebagai alasan menurunnya militansi aktivis sekarang, karena dimanjakan dengan segala fasilitas yang ada. Tindakan-tindakan preventif acap dilakukan. Misalnya menonaktifkan ponsel ketika bercengkerama, atau yang lebih ekstrem adalah menghapus semua aplikasi berbasis chatting dari ponsel pintarnya. Tentunya tindakan bijak harus dipikirkan bersama, agar kondisi negatif tidak berlarut-larut, dan kita berharap fenomena ini justru bisa menunjang produktivitas hidup masyarakat.
Dampak negatif yang terjadi sekarang, jelas telah diprediksi secara akurat seratus persen dalam Al-Qur’an. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan manusia; Allah Menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[1] Jika kita perhatikan, ayat tersebut menyebutkan kata “sebagian”. Manusia hanya menerima sebagian balasan akibat perbuatan mereka, bukan keseluruhan. Artinya, Allah masih memberikan kesempatan bagi manusia untuk mengevaluasi kesalahannya, demi menjadikannya pelajaran, sehingga kemudian kembali ke jalan yang benar. Bisa saja, komunitas ibadah berbasis aplikasi chatting dikatakan sebagai media untuk kembali ke jalan yang benar. Namun, bisa saja media tersebut menjadi bumerang, dan menjadikan kita sebagaimana orang munafik yang Allah terus diperingatkan Allah kepada kita. “Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas”[2]. Dengan fasilitas yang semakin memanjakan, bukan tidak mungkin fokus kita justru teralihkan dan menjadi lalai beribadah. Semua tergantung niatnya, memang. Tetapi siapa yang bisa mengecek niat orang lewat whatsapp? Lagi-lagi kita butuh evaluasi bersama untuk kebaikan jangka panjang.
Tulisan ini tidak memberikan solusi? Jelas, kalau ada solusi, saya tidak menuliskannya di sini. Saya hanya seorang pengeluh-kesah yang suka menulis. Maka harapannya adalah orang-orang yang membaca ini, dapat mengajak saya mendiskusikan solusinya. Karena saya manusia, dan kodratnya manusia itu memang diciptakan suka berkeluh-kesah.
Apakah saya berlebihan? Mungkin saja. Toh era sekarang adalah eranya segala sesuatu yang berlebihan. Perlombaan menghafal qur’an, atau sering dikenal dengan MHQ (Musabaqah Hifzhil Qur’an) yang sering bersanding dengan MTQ (Musababaqah Tilawatil Qur’an) kini sudah digelar sedemikian mentereng. Ditampilkan di televisi, dengan menggalang dukungan via polling SMS. Ditambah ada pula lomba da’i yang tidak kalah dibuat serunya. Uniknya dipandu oleh satu atau beberapa host yang biasanya juga memandu acara-acara yang bertolak-belakang nilainya, sebut saja misalnya acara dangdut. Kini, semua serba berlebihan. Segala batas ditembus demi mendapatkan banyak keuntungan. Dahulu, lomba-lomba semacam itu dibuat sederhana dan bertujuan untuk menemukan bibit-bibit baru yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, bukan justru menjadi tontonan yang kemudian menjadi selebriti baru. Dan jangan lupa, siapakah yang paling diuntungkan dalam tayangan-tayangan semacam itu?



[1] Ar-Ruum (30): 41
[2] An-Nisaa (4): 142
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com