https://ekoprayoga.wordpress.com/2010/03/29/potret-kehidupan-masyarakat-marginal/
Sebelum kita berbicara lebih jauh, barangkali ada yang bertanya; maksud
dari judul ini apakah kaum beriman yang marginal, atau kaum beriman yang
imannya marginal? Baiklah, sebenarnya sama saja. Karena pada tulisan kali ini,
saya akan membahas masalah kaum beriman yang berada di pinggir, dan orang-orang
yang kadar imannya hanya di bagian pinggir saja, yakni tidak menyeluruh. Setiap
muslim tidak boleh memaksa manusia lain untuk beriman, mereka boleh mengajak
tetapi tidak boleh memaksa. Tetapi sesungguhnya tidak ada larangan bagi setiap
muslim memaksa dirinya sendiri untuk lebih beriman, lebih taat, dan lebih baik
dari yang lain dalam hal ibadah, maka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan.
Teringat sepenggal lagu
grup band Gigi yang dibuat berdasarkan sebuah hadis. “Pagi beriman, siang lupa
lagi. Sore beriman, malam amnesia”. Sebagaimana hadits yang berbunyi, “Bersegeralah
beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap
gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir,
dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan
kesenangan dunia.”[1]
Marginal, kita bukan
sedang membicarakan nama sebuah grup band dengan lagu-lagunya yang menyuarakan
perlawanan terhadap penguasa serakah. Tetapi sedang membicarakan makna marginal
itu sendiri yang dapatlah kita artikan sebagai pinggir, tepi, atau kata apapun
yang dapat dinisbatkan kepada hal-hal yang berada di pinggir. Oleh karena itu,
saya menggunakan istilah marginal kali ini. Kaum beriman yang marginal, atau
kaum yang imannya marginal. Tidak, pembicaraan ini tidak hanya diperuntukkan
bagi umat Islam saja. Tetapi karena saya seorang penganut agama Islam, saya
menggunakan dasar-dasar dari hukum Islam. Setidaknya sebagai pencitraan saja
bahwa saya –berusaha- menunjukkan bukan termasuk bagian dari kaum beriman
marginal. Adapun masalah iman, bukan hanya mereka yang beragama Islam saja yang
paling berhak membicarakannya. Karena agama lain pun juga memiliki konsep
beriman.
Baiklah. Begini, kita
sebagai umat beragama –mohon maaf bagi yang mengaku tidak beragama, selamat
menikmati hari-hari tanpa aturan- baiknya berlomba-lomba saja dalam kebaikan,
karena itulah sesungguhnya makna toleransi. “Dan setiap umat memiliki kiblat
yang mereka menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan!”[2].
Seyogianya tidaklah perlu bagi umat beragama manapun untuk mengorbankan prinsip
aqidahnya hanya untuk dikatakan toleran.
Seorang pemimpin non-muslim, mengaku sanggup saja
menghafal qur’an, kemudian dia juga membayar zakat. Padahal, perbuatannya itu
sia-sia saja, sebab syarat utama berzakat haruslah bersyahadat terlebih dahulu.
Sementara dalam agamanya, tidaklah diperbolehkan melaksanakan syariat agama
lain, apalagi motifnya politis semata. Ada lagi manusia yang sebangsa dengan
pemimpin non-muslim tersebut, kemudian melakukan santunan ke
pesantren-pesantren. Apa pentingnya? Toh belum tentu dia menang ketika pemilu.
Rakyat belum tentu senang kepadanya, apalagi Tuhannya. Tidak, saya bukan sedang
menjadi ‘juru bicara’ tuhan seperti yang dikatakan para liberalis, tetapi
justru saya mengikuti logika liberalis, kalau rakyat saja tidak suka, apa lagi
tuhan? Bukankah suara rakyat adalah suara tuhan? Di pihak muslim pun sama
rimbanya. Ada seorang ‘Gus’ yang mengikuti buka puasa bersama di sebuah gereja,
kemudian memberikan ceramahnya di gereja. Apa faedahnya? Ini bukan toleransi,
tetapi sudah kebablasan. Begitulah setidaknya cerminan orang beriman marginal,
imannya tidak sepenuhnya, keyakinannya tidak sepenuhnya karena ada pengaruh
eksternal yang membuatnya tidak yakin sepenuhnya.
Khusus bagi umat Islam,
untuk mengidentifikasi kaum beriman marginal ini mudah sekali. Apalagi belum
lama ini Bulan Ramadhan telah berakhir, lebih mudah lagi mengidentifikasinya. Mereka
yang di Bulan Ramadhan sangat alim seakan-akan menjadi ulama, tetapi di luar
Ramadhan zalim seakan-akan menjadi durjana itu banyak sekali. Saking banyaknya
sampai terkadang kita tidak sadar bahwa muslim yang seperti itu termasuk pula
diri kita sendiri. Karena beriman hanya di bagian pinggirnya saja, lantas bila
ada iming-iming yang mengenakkan, dia bersemangat untuk menggapainya. Tetapi
tanpa ada iming-iming, dia lebih memilih mengejar yang lebih tampak bagi
matanya. Maka membabi-butalah ia mengejar dunia. Karena beriman hanya di bagian
tepi saja, maka dia malu berkumpul dengan orang beriman yang lain, bahkan
menunjukkan keimanannya pun dia tak sampai hati karena malu.
Rugi di dunia, rugi pula
di akhirat bila kita beriman hanya di bagian pinggir saja. Maka bagi siapapun
yang merasa beragama, berimanlah, beramallah dengan sebaik-baik dan
sebenar-benarnya. Berlomba-lomba dalam kebaikan itulah yang utama, tanpa harus
sikut-sikutan tentunya. Karena peraturan lomba manapun mengharuskan pesertanya
untuk menjalankan lomba secara fair play. Toleransi itu bukan terletak
pada sejauh mana kita mengikuti ibadah umat agama lain, tetapi sejauh mana kita
menjaga perbuatan kita agar tidak mengganggu ibadah umat agama lain, dan
tentunya sejauh mana kita menjaga kesungguhan kita dalam beribadah. Karena
siapapun yang beribadah secara sungguh-sungguh dalam agamanya masing-masing,
pasti mereka menemukan kebenaran yang hakiki. Dalam kebenaran hakiki itulah,
mereka tidak menemukan satupun alasan untuk mencela, menyakiti, atau justru
mengikuti prosesi peribadatan agama lain.
“Dan di antara manusia ada
yang menyembah Allah hanya di pinggir; maka jika dia memperoleh kebajikan, dia
merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dua berbalik ke belakang. Dia
rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.”[3]