zakyzr.com

Saturday, 9 July 2016

Kaum Beriman Marginal

https://ekoprayoga.wordpress.com/2010/03/29/potret-kehidupan-masyarakat-marginal/
Sebelum kita berbicara lebih jauh, barangkali ada yang bertanya; maksud dari judul ini apakah kaum beriman yang marginal, atau kaum beriman yang imannya marginal? Baiklah, sebenarnya sama saja. Karena pada tulisan kali ini, saya akan membahas masalah kaum beriman yang berada di pinggir, dan orang-orang yang kadar imannya hanya di bagian pinggir saja, yakni tidak menyeluruh. Setiap muslim tidak boleh memaksa manusia lain untuk beriman, mereka boleh mengajak tetapi tidak boleh memaksa. Tetapi sesungguhnya tidak ada larangan bagi setiap muslim memaksa dirinya sendiri untuk lebih beriman, lebih taat, dan lebih baik dari yang lain dalam hal ibadah, maka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
            Teringat sepenggal lagu grup band Gigi yang dibuat berdasarkan sebuah hadis. “Pagi beriman, siang lupa lagi. Sore beriman, malam amnesia”. Sebagaimana hadits yang berbunyi, “Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.”[1]
            Marginal, kita bukan sedang membicarakan nama sebuah grup band dengan lagu-lagunya yang menyuarakan perlawanan terhadap penguasa serakah. Tetapi sedang membicarakan makna marginal itu sendiri yang dapatlah kita artikan sebagai pinggir, tepi, atau kata apapun yang dapat dinisbatkan kepada hal-hal yang berada di pinggir. Oleh karena itu, saya menggunakan istilah marginal kali ini. Kaum beriman yang marginal, atau kaum yang imannya marginal. Tidak, pembicaraan ini tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja. Tetapi karena saya seorang penganut agama Islam, saya menggunakan dasar-dasar dari hukum Islam. Setidaknya sebagai pencitraan saja bahwa saya –berusaha- menunjukkan bukan termasuk bagian dari kaum beriman marginal. Adapun masalah iman, bukan hanya mereka yang beragama Islam saja yang paling berhak membicarakannya. Karena agama lain pun juga memiliki konsep beriman.
            Baiklah. Begini, kita sebagai umat beragama –mohon maaf bagi yang mengaku tidak beragama, selamat menikmati hari-hari tanpa aturan- baiknya berlomba-lomba saja dalam kebaikan, karena itulah sesungguhnya makna toleransi. “Dan setiap umat memiliki kiblat yang mereka menghadap kepadanya, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan!”[2]. Seyogianya tidaklah perlu bagi umat beragama manapun untuk mengorbankan prinsip aqidahnya hanya untuk dikatakan toleran.
Seorang pemimpin non-muslim, mengaku sanggup saja menghafal qur’an, kemudian dia juga membayar zakat. Padahal, perbuatannya itu sia-sia saja, sebab syarat utama berzakat haruslah bersyahadat terlebih dahulu. Sementara dalam agamanya, tidaklah diperbolehkan melaksanakan syariat agama lain, apalagi motifnya politis semata. Ada lagi manusia yang sebangsa dengan pemimpin non-muslim tersebut, kemudian melakukan santunan ke pesantren-pesantren. Apa pentingnya? Toh belum tentu dia menang ketika pemilu. Rakyat belum tentu senang kepadanya, apalagi Tuhannya. Tidak, saya bukan sedang menjadi ‘juru bicara’ tuhan seperti yang dikatakan para liberalis, tetapi justru saya mengikuti logika liberalis, kalau rakyat saja tidak suka, apa lagi tuhan? Bukankah suara rakyat adalah suara tuhan? Di pihak muslim pun sama rimbanya. Ada seorang ‘Gus’ yang mengikuti buka puasa bersama di sebuah gereja, kemudian memberikan ceramahnya di gereja. Apa faedahnya? Ini bukan toleransi, tetapi sudah kebablasan. Begitulah setidaknya cerminan orang beriman marginal, imannya tidak sepenuhnya, keyakinannya tidak sepenuhnya karena ada pengaruh eksternal yang membuatnya tidak yakin sepenuhnya.
            Khusus bagi umat Islam, untuk mengidentifikasi kaum beriman marginal ini mudah sekali. Apalagi belum lama ini Bulan Ramadhan telah berakhir, lebih mudah lagi mengidentifikasinya. Mereka yang di Bulan Ramadhan sangat alim seakan-akan menjadi ulama, tetapi di luar Ramadhan zalim seakan-akan menjadi durjana itu banyak sekali. Saking banyaknya sampai terkadang kita tidak sadar bahwa muslim yang seperti itu termasuk pula diri kita sendiri. Karena beriman hanya di bagian pinggirnya saja, lantas bila ada iming-iming yang mengenakkan, dia bersemangat untuk menggapainya. Tetapi tanpa ada iming-iming, dia lebih memilih mengejar yang lebih tampak bagi matanya. Maka membabi-butalah ia mengejar dunia. Karena beriman hanya di bagian tepi saja, maka dia malu berkumpul dengan orang beriman yang lain, bahkan menunjukkan keimanannya pun dia tak sampai hati karena malu.
            Rugi di dunia, rugi pula di akhirat bila kita beriman hanya di bagian pinggir saja. Maka bagi siapapun yang merasa beragama, berimanlah, beramallah dengan sebaik-baik dan sebenar-benarnya. Berlomba-lomba dalam kebaikan itulah yang utama, tanpa harus sikut-sikutan tentunya. Karena peraturan lomba manapun mengharuskan pesertanya untuk menjalankan lomba secara fair play. Toleransi itu bukan terletak pada sejauh mana kita mengikuti ibadah umat agama lain, tetapi sejauh mana kita menjaga perbuatan kita agar tidak mengganggu ibadah umat agama lain, dan tentunya sejauh mana kita menjaga kesungguhan kita dalam beribadah. Karena siapapun yang beribadah secara sungguh-sungguh dalam agamanya masing-masing, pasti mereka menemukan kebenaran yang hakiki. Dalam kebenaran hakiki itulah, mereka tidak menemukan satupun alasan untuk mencela, menyakiti, atau justru mengikuti prosesi peribadatan agama lain.
        “Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di pinggir; maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dua berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.”[3]




[1] HR. Ahmad.
[2] Al-Baqarah (2): 148.
[3] Al-Hajj (22): 11.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com