zakyzr.com

Wednesday, 10 August 2016

Menikah Muda Harga Mati (?)


Baru-baru ini kompor-mengompor untuk menikah muda kembali gencar. Apalagi penyebabnya kalau bukan momen pernikahan putra dari K.H. Muhammad Arifin Ilham, Muhammad Alvin Faiz, yang masih terbilang unyu-unyu dengan perempuan beretnis Tionghoa, Larissa Chou. Menjadi fenomena dan media untuk kompor-mengompor karena usia pasangan tersebut yang masih sangat hijau. Larissa masih berusia dua puluh tahun, sedangkan Alvin lebih unyu lagi, berusia tujuh belas tahun yang artinya ia harus menjalani persidangan agar dapat diizinkan oleh negara untuk membina rumah tangga, dimana usia minimal yang disyaratkan adalah sembilan belas tahun.
            Sekejap saja muncul berita-berita bersliweran di pelbagai macam media. Menariknya, saya menandai ada dua topik besar yang hangat diperbincangkan di antara berita-berita tersebut. Topik pertama adalah –apalagi kalau bukan- ajakan untuk menikah muda. Topik kedua –dan ini yang menurut saya menarik karena cenderung ilmiah- adalah bagaimana kecerdasan Alvin dapat mematahkan logika Larissa beserta ayah dan neneknya untuk memeluk Islam. Kedua topik ini berkaitan dengan masalah peradaban, namun jangan heran kalau hanya topik pertama yang terus-menerus diangkat dan dielu-elukan. Terlebih di negeri kurang kasih sayang ini, topik cinta-cintaan selalu laris di pasaran. Berapa banyak novel bernafaskan cinta dan nikah muda, pun berapa banyak film bertemakan cinta, tak terkecuali Film Tausiyah Cinta. Bahasan cinta, apalagi nikah muda, sudah kadung menjangkiti hati dan pikiran para aktivis muslim yang tanpa sadar hidupnya diarahkan oleh politik. Kini, coba Anda klasifikasikan, lebih banyak mana antara aktivis yang menyukai bacaan dan bahasan cinta-cintaan dengan aktivis yang menyukai bahasan berat soal kenegaraan dan pergerakan. Kalau penasaran, cobalah Anda hitung berapa banyak yang hadir pada seminar nasional ketahanan bangsa dan seberapa sering frekuensi diadakannya, kemudian bandingkan dengan hadhirin wal hadhirat seminar nasional pra-nikah membangun keluarga sakinah penuh inspirasi tak menjemukan diri juga jangan lupa hitung seberapa sering frekuensi diadakannya seminar sejenis. Sama atau beda? Kalau beda, lebih banyak yang mana?
            Jikalau agama saya membolehkan bertaruh, saya akan jadi kaya raya karena menebak lebih banyak dan lebih sering yang disebut kedua ketimbang yang pertama. Mengapa? Saya tertarik ketika Alvin Faiz bertanya kepada wartawan dalam tayangan berita selebriti –sumpah, hanya sekadar lewat, saya tidak benar-benar menontonnya-, “Mengapa anak muda pada pacaran?” kemudian ia menjawabnya sendiri, “Karena itu fitrah. Fitrahnya manusia butuh pasangan.” Saya angkat topi dengan pernyataan ini. Karena anak sekecil itu tidak berkelahi dengan waktu, ya memang karena tidak berlama-lama ia membujang, dan anak kecil yang berkelahi dengan waktu hanyalah si Budi dalam lagunya Iwan Fals. Alvin di usianya yang belum menginjak kepala dua sudah bisa bijak untuk tidak menghujat para bujang yang perlahan menua karena menunda pernikahan. Alvin lebih memilih untuk mengatakan bahwa fitrahnya manusia itu butuh pasangan. You’re my man!
            Dus, mengapa tema cinta-cintaan dan nikah-nikahan lebih diminati ketimbang tema lainnya? Karena memang fitrah. Cinta itu fitrah, manusia butuh kasih sayang dan penyaluran hasrat seksual. Bahkan al-Qur’an pun sampai menggunakan bahasa “mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka”. Kata “pakaian” memang harus ditebalkan agar jelas penekanannya. Ini bukan perkara mudah, karena pakaian adalah kebutuhan primer kita, bahkan seringkali lebih dibutuhkan daripada makanan. Pilih mana antara puasa seharian di pesta makan dengan telanjang seharian di muka umum? Kalau orang waras pasti memilih yang pertama. Tetapi berita tentang pernikahan muda acapkali tidak hanya berhenti di bahasan fitrah manusia, melainkan jauh daripada itu. Bahasan yang diangkat adalah keutamaan menikah muda, mengapa menunda pernikahan, mengapa tidak berani berikan kepastian, mengapa modus sana-sini yang akhirnya semua bahasan tersebut mengarah kepada lelaki atau bahasa kerennya ‘ikhwan’ yang memang selalu salah sepanjang masa.
            Saya sengaja menulis ini sekarang, ketika status saya masih bujangan. Karena jika saya menulisnya ketika sudah menikah, mungkin emosi saya ketika menulis tidak lagi menggebu-menggebu. Bukan, saya sama sekali bukan sedang membela diri atau berdalih menunda menikah. Kalau memang bisa, saya akan menikah sebelum usia saya menginjak kepala dua. Tetapi jodoh adalah masalah takdir, dan takdir semacam ini bukan takdir yang bisa kita ubah seenak jidat. Takdir semodel ini murni Tuhan yang menetapkan tanpa bisa diganggu-gugat. Maka apapun yang kita usahakan, kalau belum waktunya pasti tertolak juga, meskipun tidak ada usaha yang sia-sia.
            Bahasan pertama, dan ini yang paling sering muncul, adalah ‘menikah itu nikmat’. Buku-buku, kajian-kajian, seminar-seminar, atau apapun tentang pernikahan yang islami selalu memunculkan bahasan ini. Menikah itu nikmat. Tidak ada kerugian yang kita dapatkan apabila kita menikah. Seolah-olah perjuangan hidup, perjuangan cinta, juga perjuangan melawan kemalasan kita selesai setelah menikah. Seolah-olah pernikahan adalah jaminan surga yang tidak dapat ditawar lagi. Bahasan kedua, hukum menikah itu ada lima, bukan hanya satu. Di antaranya wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Pada bahasan ini banyak yang mengacu kepada hadits “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian memiliki ba’ah, maka meniukahlah, karena yang demikian itu dapat menundukkan pandangan dan  memelihara kehormatan, tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia puasa, karena (puasa) itu menahan nafsu baginya.”[1] Sayangnya banyak yang memaknai hadits ini secara serampangan. Para ulama memang berbeda pendapat menyoal “ba’ah”. Sebagian mengatakan maknanya adalah kemampuan berjima’. Di zaman para ulama dahulu, memang dapat dikatakan cukup bila mampu bersetubuh, karena para bujangan justru akan dikayakan oleh pemerintah agar dapat membina rumah tangga. Tetapi di masa sekarang, pendapat beberapa ulama, termasuk Imam an-Nawawi lebih rasional, yakni maknanya adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan. Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim Juz IX/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah. Selain itu, Asy-Syaukani dalam Naylu Al-Awthar Juz VI/229 juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa maksud kata mampu yang kedua “siapa yang tidak mampu menikah” adalah tidak mampu menikah karena sedikitnya kemampuan menanggung beban-beban pernikahan dan karena kekurangan dalam bersetubuh, maka baginya berpuasa. Oleh sebab itu, hukum menikah tidak hanya satu, tergantung situasi dan kondisi. Maka, yang paling mengetahui bahwa seseorang sudah wajib atau masih dalam tahap sunnah, atau bahkan haram menikah adalah orang itu sendiri. Bukan hak manusia manapun menentukan hukum bagi orang tersebut selain orang itu sendiri.
            Pada era modern seperti sekarang, beban pernikahan tidak hanya mencakup satu-dua poin saja, tetapi mulai menumpuk layaknya pakaian siap cuci di laundry. Berhentilah menyalahkan zaman. Berhentilah mengejek bujang takut miskin. Berhentilah menyalahkan orang tua yang jual mahal untuk anak gadisnya. Berhentilah menghina para ‘cewe matre’. Karena semua itu tidak menyelesaikan masalah. Secara logika, memang harta bukan segalanya. Tetapi coba bandingkan, lebih nikmat mana menangis di dalam mobil ber-AC dibandingkan menangis di dalam bajaj yang super bising? Ini memang bukan soal harta, tetapi masalah meyakinkan beberapa individu. Baiklah si bujang siap menikah, si gadis siap dipinang, tetapi apakah semua orang tua yang memiliki anak gadis di dunia ini berpikiran harta bukanlah segalanya? Baiklah si bujang siap menikah, si gadis siap dipinang, orang tua si gadis terima apa adanya, tetapi keluarga si bujang belum sreg dengan calon besannya, atau belum sreg melepas anak bujangnya sekalipun telah menunjukkan gelagat mandiri. Bukankah lelaki tidak butuh wali? Benar. Tetapi jangan lupa, menikah bukan hanya pertautan antara si bujang dengan gadis, tetapi juga ‘perkawinan’ bagi dua keluarga. Jangan harap hidup bahagia bila ridho orang tua belum diraih.
            Apabila kita membuka karya para ulama tentang fiqh munakahat, menikah adalah perkara besar yang sekilas rumit. Barangkali itulah yang membuat para ulama sekelas Imam Bukhari –kabarnya beliau sudah menikah, kemudian istrinya wafat lalu memilih membujang-, Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, hingga Sayyid Quthb memilih berlama-lama membujang demi menuntut ilmu, mengingat butuh banyak ilmu yang harus dipersiapkan untuk menikah. Toh takdir menggariskan mereka memang tidak berjodoh dengan siapapun di dunia, tetapi jodoh di surga jauh lebih pantas bagi mereka. Ini prinsip, mana mungkin kita berani mencibir mereka karena memilih menjomblo? Jelas kualitas kita amat jauh di bawah mereka. Tetapi bukan berarti kita punya hak untuk leluasa menekan kawan-kawan yang menunda pernikahan karena tanggung menyelesaikan studinya. Rusaknya lagi, para aktivis muslim yang lebih sering disapa “akhi” dan “ukhti” dalam kesehariannya mudah tergiur disebabkan foto-foto mesra para pasangan muda yang bertebaran di media sosial. Ini salah siapa? Ah, tidak ada asap jika tidak ada api. Mohon para pasutri muda yang bijaksana, jangan memulai. Kalian bukan lagi anak SMA yang harus mengekspos kegiatan mesranya di media sosial. Itu sungguh kekanak-kanakan. Alangkah mulia apabila kalian menyimpan kemesraan di kamar peraduan.
            Sekali lagi, saya bukan sedang membela diri karena belum –kunjung- menikah, tetapi hanya ingin menyampaikan kepada khalayak bahwa tidak semua bujangan memiliki masalah yang sama soal menunda menikah, dan tidak semua bujangan menunda menikah hanya karena takut miskin. Ada banyak faktor yang membuat mereka belum menikah, dan seringkali faktor-faktor tersebut bukanlah konsumsi publik. Tujuan saya menulis ini adalah agar para suami ataupun istri memiliki jiwa solidaritas yang tinggi agar berhenti –atau setidaknya mengurangi- bahasan-bahasan yang menyerang para jomblo. Kalau memang bullyan bertujuan untuk memberi semangat, berilah semangat dengan cara yang baik. Bukan main kompor-komporan. Percayalah, mereka semua sama seperti kalian, ingin segera menikah, ingin segera melanjutkan keturunan, ingin segera menggenapkan separuh agamanya. Hanya saja nasib mereka tidak sebaik kalian. Mungkin mereka harus menanggung beban hidup keluarganya, mungkin mereka terhalang karena baktinya kepada ilmu, mungkin mereka sedang berjuang meyakinkan pihak keluarga mereka sendiri, atau mungkin mereka masih syok karena incarannya kadung dinikahi orang lain, dan ini yang paling sakit.
            Terakhir, ingat bunyi awal ayat surah al-Baqarah ayat ke-256? Ya, Laa ikraaha fi ad-diin. Para ulama tafsir termasuk Ibnu Katsir menafsirkan bahwa maknanya adalah tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam agama Islam. Bila dilihat dari keumuman ayat, makna ayat ini termasuk pula tidak ada paksaan untuk menjalankan syari’at Islam. Karena qad tabayyana ar-rusydu min al-ghay. Sudah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat. Orang beriman yang sehat akalnya pasti berjalan di atas jalan yang benar. Lagi-lagi, percayalah. Para jomblo yang beriman dan berakal sehat sesungguhnya tidak ingin menunda pernikahan, tetapi masalah mereka memang beragam. Maka bersolidaritaslah, wahai para manusia yang telah menikah.




[1] Bukhari
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com