http://i678.photobucket.com/albums/vv147/falasik/berhentimenyalahkanoranglain.png
Masih hangat
diperbincangkan soal calon gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahaja
Purnama, alias Ahok yang mengingatkan masyarakat sebuah daerah di Kepulauan
Seribu agar tidak mudah dibodohi orang lain, hingga dibohongi dengan surah
al-Maaidah ayat 51. Meskipun Ahok sudah meminta maaf secara terbuka, namun
gelas yang pecah tidak mungkin dapat rapat kembali. Itulah yang terjadi pada
umat Islam yang merasa terhina oleh tutur kata Ahok yang sungguh tidak sopan.
Ini bukan sekali-dua kali Ahok melakukan blunder di hadapan publik. Beberapa
kali Ahok kerap dan memang patut disalahkan karena berkata tidak pantas di muka
publik, terlepas dari benar atau salah tindakannya.
Memang pada kenyataannya tiada manusia yang dibenci oleh seluruh manusia
yang lain, pun tiada manusia yang dicintai oleh seluruh manusia yang lain. Toh
tidak sedikit pihak muslim membela perbuatan dan perkataan Ahok. Salah satunya
siapa lagi kalau bukan Nusron Wahid, yang belakangan juga ramai diperbincangkan
di dunia maya sebab sikapnya berkoar-koar membela Ahok dan menyalahkan MUI
dalam sebuah forum diskusi yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi
nasional. Tetapi inti tulisan ini bukanlah untuk membicarakan soal Ahok dan
Nusron.
Saya sebagai penulis tunggal
–setidaknya hingga tulisan ini saya publikasikan- dalam situs ini ingin
membicarakan soal mendudukkan kembali siapa yang harus disalahkan, siapa
yang harus dibenarkan, dan juga siapa yang harus dipertanyakan. Disadari atau
tidak, umat manusia –khususnya umat Islam- dari zaman ke zaman belum selesai
dalam membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip. Masih banyak muncul
pertanyaan semacam, “apakah Islam itu ideologi?”, atau pertanyaan, “apakah
al-Qur’an benar-benar otentik atau sudah diubah sebagaimana Injil dan Taurat?”.
Lucunya pertanyaan-pertanyaan remeh seperti itu dipertanyakan oleh umat Islam
sendiri, bahkan para akademisi di kampus-kampus Islam. Padahal sudah seharusnya
umat Islam mengetahui dengan jelas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Memang ada kesalahan terstruktur yang tidak disadari sedari dulu, yakni soal
penanaman paham yang kuat kepada umat Islam sejak dini. Kita –umat Islam- bahwa
shalat lima waktu itu wajib, zakat itu wajib, puasa Ramadhan wajib, shalat
tarawih sunnah, memotong kuku pada hari Jumat itu sunnah atau makan daging babi
itu haram, tanpa pernah diberitahu sebab-sebabnya. Padahal, untuk menetapkan
sebuah amalan itu wajib atau sunnah, tidaklah semudah itu. Ada petunjuk teknis
dan petunjuk pelaksanaan dalam hukum Islam, sebagaimana dalam hukum yang lain. Ahkamul
khamsah yang sudah kita ketahui sejak kecil tidak muncul secara bim salabim
abrakadabra lalu muncullah hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Tetapi mengalami proses pengkajian yang panjang oleh para ulama dan juga fuqaha
(ahli fikih). Bahkan dalam Mazhab Hanafi, Imam Abu Hanifah menetapkan hal
yang berbeda, yakni menjadi fardhu, wajib, mandub/sunnah, makruh
tanzihiyan, makruh tahrimiyan, haram dan mubah. Semua itu melalui proses
pengkajian yang cukup panjang.
Semenjak runtuhnya supremasi
kejayaan Islam yang diwajahi oleh Dinasti Ottoman di awal abad ke-20, umat
Islam kehilangan kekuatan hampir di segala aspek. Itulah awalan yang membuat
kebanyakan bagian dari umat Islam hanya menjadi penonton hingga detik ini.
Percepatan informasi, kecanggihan teknologi, kemajuan peradaban, dan
keistimewaan lainnya hanya bisa dinikmati umat Islam tanpa mereka bisa
menciptakannya. Bersamaan dengan itu, mulai muncul kembali tokoh-tokoh Islam
yang ingin mengembalikan kejayaan. Sebut saja Hasan al-Banna dengan Ikhwanul
Muslimin-nya, atau Taqiyuddin an-Nabhani dengan Hizbut Tahrir-nya. Mereka
kembali mengingatkan kepada umat Islam tentang janji-janji Allah dan Rasul-Nya,
tentang keutamaan menegakkan syariat, tentang kenikmatan di akhirat kelak.
Mereka mencoba memantik semangat umat Islam yang lama tertidur panjang dalam
buaian mimpi. Sementara di pihak Barat, muncul pula upaya-upaya untuk
mencederai usaha mereka. Maka dibuatlah penelitian untuk mengkritisi teks
al-Qur’an, mendekonstruksi syariat, hingga mengundang para pemuda muslim untuk
dibina oleh mereka dengan dalih pewarnaan dalam keilmuan.
Diskusi tentang integritas al-Qur’an
sebenarnya bukanlah ‘karya’ orisinil dari Barat, tetapi sudah terjadi pada
periode awal Islam. Soal ini telah dibahas oleh para cendekiawan terdahulu
macam Abu ‘Ubayd al-Qasim ibn Sallam, Imam al-Baqillani, hingga Jalaluddin as-Suyuthi.[1]
Namun, atas kealpaan umat Islam, juga kecerdikan cendekiawan Barat, isu-isu
semacam itu seolah-olah menjadi hal yang baru. Disamping itu, kodifikasi dan
penulisan al-Qur’an menjadi sebuah kitab yang baku sudah sangat ciamik
dilakukan oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Abu Bakr ash-Shiddiq. Utamanya
Zaid mengumpulkan ayat-ayat dari hafalan-hafalan orang lain, kemudian
diperbandingkan, diteliti, barulah ditulisnya dalam lembaran sebagai teks yang
baku.[2]
Kecerdikan para tokoh Barat sebenarnya sudah mulai terlihat ketika mereka
menyontek habis-habisan kemudian menggubahnya menjadi karya yang baru lewat
teori-teori yang dikemukakan Ibnu Sina soal kedokteran, al-Khawarizmi soal
matematika, Ibnu Khaldun soal sosial, dan ilmuwan-ilmuwan muslim lainnya. Ujung-ujungnya
syariat Islam dipertanyakan kembali, mulai dari jilbab, isu poligami, hukum
yang bias gender, hingga soal politik dan pemerintahan. Fase umat Islam yang
hingga memasuki abad ke-18 sudah sesuai dengan siklusnya, harus mengulang
kembali dari awal. Dimana umat Islam tidak memiliki apa-apa untuk dipamerkan ke
hadapan khalayak ramai. Pertanyaannya adalah, apa dan siapa yang harus
disalahkan, dibenarkan, dan dipertanyakan?
Tulisan-tulisan semacam ini
sesungguhnya sudah banyak sekali. Tulisan yang berisikan tentang semangat umat
Islam yang mulai menurun dan bagaimana melecutnya sudah banyak sekali beredar.
Salah satu yang paling terkenal adalah kumpulan jawaban dari pertanyaan seorang
ulama sekaligus raja asal Sambas, Kalimantan Barat, Basyuni Imran kepada Syaikh
Syakib Arsalan yang dibukukan dengan judul Limaadza Ta’akhkharal muslimin wa
Limadzaa Taqaddama Ghayruhum. Namun, kesadaran umat Islam belum juga
sepenuhnya mencapai titik puncak. Maka, kejadian tempo hari soal Ahok yang
berbicara soal “dibohongin pake surat al-Maidah 51” diikuti dengan
reaksi umat Islam di berbagai penjuru negeri adalah hal dapat dikatakan
terlambat meskipun tindakan semacam ini memang sangat perlu. Juga
kesalahan-kesalahan logika yang dipamerkan oleh Nusron Wahid yang tanpa
malu-malunya seharusnya membuat umat Islam terus belajar, bahwa seorang muslim
tidak boleh segegabah itu. Ketika Nusron mengatakan bahwa hanya Allah dan
Rasul-Nya yang berhak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sungguh Nusron seolah
tak pernah menengok sejarah dan hadis-hadis Rasulullah. Meskipun saya masih
tetap yakin, bahwa ilmu agama Nusron masih jauh di atas ilmu agama yang saya
miliki. Seorang santri seperti Nusron, tidak mungkin lupa dengan hadis, “Ambillah
bacaan Al Qur'an dari empat orang. Yaitu dari 'Abdullah bin Mas'ud, kemudian
Salim (maula Abu Hudzaifah), lalu Ubay bin Ka'ab dan Mu'adz bin Jabal”.[3]
Jelas sekali Rasulullah berpesan bahwa siapapun bisa menafsirkan isi al-Qur’an
seperti dirinya, asalkan memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana yang
dimiliki oleh keempat orang tersebut. Sedangkan Nusron juga mengetahui tentang
hadis yang menyebutkan zaman terbaik
adalah zaman Rasulullah, kemudian setelahnya (sahabat), kemudian setelahnya,
dan seterusnya. Artinya ia tidak perlu membahas soal gubernur beragama Nasrani
di zaman Khilafah ‘Abbasiyah, karena kita sebagai umat Islam harus mengikuti
zaman terbaik, yakni zaman Rasulullah. Untuk apa kita berlelah-lelah mengikuti
zaman yang kebaikannya jelas di bawah zaman Rasulullah.
Akhirnya, mungkin kita harus banyak
berterima kasih kepada orang-orang seperti Ahok dan Nusron Wahid, karena atas
‘jasa’ mereka-lah umat Islam dapat bersatu turun ke jalan menunjukkan
solidaritasnya sebagai umat Islam yang marah karena kitab sucinya dilecehkan
sebagaimana yang terjadi beberapa hari lalu. Ternyata, kita harus menyalahkan
diri kita sendiri, membenarkan orang-orang yang menghujat
kita, dan mempertanyakan keislaman kita.
[1]
Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani, 2008), hlm. 24.
[2]
Prof. Dr. M. M. Al-A’zami, The
History of The Qur’anic Text: from Revelation to Compilation A Comparative
Study with the Old and New Testaments, alih bahasa Sohirin Solihin dkk.,
(Depok: Gema Insani, 2005), hlm. 90.