Ini soal
harapan. Ya, tulisan ini soal harapan. Setiap orang pasti pernah berharap dalam
hidupnya. Apa yang diharapkan pastilah sesuatu yang diinginkan. Keinginan yang
menjadi harapan pun pastilah atas dasar pertimbangan tertentu. Misalnya saja
ketika pasangan suami-istri mendapatkan momongan. Mereka pasti akan memberikan
nama yang terbaik bagi anaknya, dengan harapan nama tersebut menjadi doa dan
bisa menginspirasi sang anak ketika dewasa kelak. Maka para orang tua pastilah
berharap anaknya menjadi anak yang berguna bagi keluarga, bangsa, bahkan agama.
Tidak ada harimau yang memakan anaknya sendiri. Begitupun manusia yang lebih
mulia daripada harimau. Manusia bukan hanya tidak ingin mencelakakan anaknya
sendiri, namun lebih dari itu, manusia berharap anak-anaknya dapat meneruskan
cita-cita dan perjuangannya kelak. Atas dasar harapan yang tinggi itulah,
hampir mustahil apabila para orang tua berharap anaknya sekadar “asal jangan
durhaka”.
Harapan itu tidak ada batasnya. Harapan
dibatasi oleh pelakunya sendiri. Nyatanya sah-sah saja berharap
setinggi-tingginya, asalkan jangan memaksakan keadaan. Itulah yang dilakukan
para nabi di masa lampau. Salah satunya adalah harapan yang dipatri oleh Nabi
Zakariyya ‘alayhissalam, “Dan aku tidak pernah kecewa dalam berdoa
kepada-Mu, wahai Tuhanku.”[1]Sejatinya
mempunyai anak adalah termasuk ketetapan-Nya. Ada yang ditakdirkan memiliki
anak banyak, ada yang ditakdirkan hanya memiliki seorang anak, ada pula yang
ditakdirkan tidak memiliki anak sama sekali. Sayang
seribu sayang, lelaki tua ini adalah seorang nabi yang Allah limpahkan karunia
padanya. Tidak memiliki putra, berarti tidak memiliki pelanjut estafer perjuangan. Tubuh Zakariyya ‘alaihissalam telah ringkih, rambutnya sudah memutih,
hatinya bersedih, kemudian berdoa dengan suara lirih. Tentunya sebuah harapan yang
sangat melangit apabila ia meminta anak di usia setua itu. Tentunya harapan
yang dibangun oleh Zakariyya bukanlah sekadar harapan “asal jangan tak
berketurunan”, tetapi harapan akan ada orang yang melanjutkan risalah
dakwahnya.
Belakangan ini, harapan “asal jangan”
menjadi populer. Apalagi penyebabnya kalau bukan pilkada DKI yang akan
menampilkan tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur. Harapan awal yang
dibangun umat Islam dari kalangan islamis –karena banyak umat Islam dari
kalangan abangan- di Jakarta beberapa kali menyuarakan agar umat Islam
mengusung satu pasangan calon saja. Dikarenakan mereka tidak menginginkan Ahok,
yang notabene beragama non-Islam untuk memimpin DKI Jakarta. Harapan umat
semakin tinggi manakala muncul koalisi kekeluargaan yang dibangun oleh beberapa
partai, sebut saja PPP, PAN, Demokrat, PKB, Gerindra, dan PKS. Sembari menunggu
PDIP bergabung, koalisi tersebut memunculkan sejumlah nama yang akan diusung. Selain
Sandiaga Uno, nama-nama yang muncul menyentuh nama Ridwan Kamil, Yusril Ihza Mahendra,
Yusuf Mansur, hingga walikota perempuan fenomenal, Tri Rismaharini yang
rencananya akan dicabut dari kursi walikota Surabaya untuk dipinang warga DKI. Namun,
harapan tinggallah harapan. Hingga batas kesabaran koalisi kekeluargaan habis,
PDIP belum juga bergabung, yang artinya Risma pun semakin sulit dijangkau.
Jengah, koalisi kekeluargaan mulai
pecah. Gerindra dan PKS, sebagai dua partai pemilik kursi parlemen terbanyak di
DKI setelah PDIP, mantap mengangkat duet Sandiaga Uno-Mardani Ali Sera. Publik yang
awalnya mulai membayangkan peta persaingan yang semakin menguatkan Ahok,
kemudian mulai pesimis terhadap pasangan calon yang diusung oleh Gerindra-PKS. Namun
di menit-menit akhir, Mardani hilang dari peredaran, menyisakan Sandi yang
belum jelas akan dipasangkan dengan siapa. Yusril yang setahun belakangan ini
mulai digadang-digadang untuk menduduki kursi DKI 1 semakin muncul ke
permukaan. Perundingan yang dilakukan PKS dan Gerindra pun menemui mufakat,
bahwa Yusril takkan diusung oleh mereka. Desas-desus beredar bahwa syahwat
politik yang terlalu besar dalam diri Yusril membuat Gerindra dan PKS enggan
mengusungnya. Yusril berencana untuk nyapres di 2019. Artinya, Yusril
akan mengikuti jejak Jokowi. Bedanya, Jokowi digambarkan oleh media sebagai
manusia tanpa dosa yang bergelimang prestasi sebagai pemimpin daerah. Sedangkan
Yusril tergambar di media sebagai orang cerdas yang angkuh dan belum teruji
apabila diberi kesempatan memimpin sekian juta rakyat dalam sebuah provinsi. Selain
itu, status Yusril yang masih menjabat sebagai pimpinan sebuah partai juga
menjadi masalah tersendiri bagi Gerindra dan PKS. Wajar, mereka saja sulit
mengusung tokohnya dalam pilkada DKI, masak harus mengajukan tokoh dari
partai lain? Jelas rasa gengsi menyelimuti. Bayangan pertarungan antara anak
Belitung Barat (Yusril) dengan anak Belitung Timur (Ahok) pupus sudah. Harapan yang
tadinya muncul agar Ahok kalah telak atas head to head yang ada, sirna
begitu saja. Karena di menit-menit akhir, peta pertarungan berubah.
Koalisi kekeluargaan pecah, dengan
menyisakan Gerindra berjuang berdua bersama PKS yang secara mengejutkan
mengusung Anies Baswedan yang disandingkan dengan Sadiaga Uno sebagai wakilnya.
Sedangkan yang lain bergabung mengusung Agus dan Sylvi. Menariknya, Anies
adalah orang yang dianggap berpandangan liberal soal agama, dan tentunya ini
bertentangan dengan ideologi Islam yang dianut para kader PKS. Artinya,
kader-kader PKS yang dulunya sering ‘menghujat’ Anies, setidaknya akan memuji
dan mencari kebaikan Anies dalam setahun ke depan, atau justru enam tahun ke
depan apabila Anies-Sandi terpilih. Hal ini tidak mengherankan, karena dahulu
ketika pemilihan presiden pun kader-kader PKS yang awalnya ‘menghujat’ Prabowo
dan tokoh partai lain, berbalik mendukung dan memuji habis-habisan ketika PKS
memutuskan untuk mendukungnya.
Sementara itu, pencalonan Agus
sebagai calon gubernur dari Demokrat dinilai hanya ingin memenuhi ambisi ayahnya
yang tidak ingin namanya tenggelam di kancah perpolitikan Indonesia. Agus yang
memang cukup cerdas dari segi akademik dan kemiliteran, dengan mudahnya melepas
status ketentaraannya untuk maju di pilkada DKI. Entah peluang apa yang sedang
dibaca ayahnya. Yang jelas, kalah atau menang, Agus akan melanjutkan kiprah
ayahnya di dunia politik pasca pilkada DKI. Sedangkan PDIP sebagai partai –yang
mengaku- raja di DKI akhirnya menjatuhkan pilihan kepada pasangan Ahok-Djarot. Risma
yang tadinya digadang-gadang akan dimajukan, nampaknya hanya akan disimpan
untuk diusung menjadi Jatim 1, atau bahkan menjadi RI 1 di 2019 apabila Jokowi
nantinya ‘susah dibilangin’. Karena di masa yang akan datang, PDIP akan
menghadapi nama-nama yang terbilang berat dan bersih, Ridwan Kamil misalnya.
Akhirnya, harapan umat Islam yang
tadinya menginginkan head to head antara calon muslim dengan calon
non-muslim sekarang buyar. Lagi-lagi hanya karena syahwat politik yang tak
terbendung demi menggapai kekuasaan. Anekdot pun berkembang di tengah
masyarakat, “Mau Agus atau Anies, yang penting asal jangan Ahok”. Publik
seolah haram berharap setinggi-tingginya soal pemimpin DKI, karena kondisi yang
memaksa demikian. Harapan yang dibangun dengan “asal jangan” hanyalah harapan
kosong yang dibalut dengan keputus-asaan. Pada akhirnya mereka yang berharap
akan kecewa dan berbalik melawan, tetapi tidak menutup kemungkinan harapan itu
justru berakhir manis, atau malah melebihi ekspektasi. Yang jelas, para islamis
di DKI bisa mendapat pahala atas harapan “asal jangan”-nya karena berikhtiar
agar tidak memilih pemimpin non muslim –yang menzalimi umat.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
Delete