zakyzr.com

Wednesday, 16 November 2016

Pencuri Qur’an dan Perwajahan Tiongkok di Indonesia


Tragedi penistaan al-Qur’an masih sangat relevan dibicarakan hingga hari ini, setelah kalimat yang menyakitkan dari seorang Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, disebar ke publik dalam bentuk video. Sejatinya penistaan agama di negeri ini bukan hanya terjadi sekali-dua kali, namun sebuah tindakan kurang pantas dari orang yang pantas ini menjadi penyebabnya. Mengapa saya katakan Ahok adalah orang yang pantas? Karena memang sedari awal dirinya naik secara cuma-cuma menjadi gubernur menggantikan Joko Widodo yang naik secara hura-hura menjadi presiden, Ahok selalu menuai kontroversi. Masyarakat –khususnya umat Islam- harus jujur, bahwa Ahok melakukan beberapa perubahan demi kemajuan ibukota. Namun masyarakat non-muslim dan abangan juga harus jujur, sikap seorang pemimpin di hadapan rakyatnya haruslah baik dan menjadi teladan bagi siapapun. Menurut hemat penulis, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun. Namun, sebagaimana biasa, saya tidak akan membahas hal yang sedang menjadi mainstream pembicaraan masyarakat, saya tidak akan membahas proses hukum Ahok, dan juga saya tidak akan membahas demo 411.
            Tentang judul di atas, sekitar satu tahun lalu di blog ini saya menulis tulisan berjudul “Ketika al-Qur’an Dicuri Ant-Man” yang menurut pandangan saya, seharusnya umat Islam jauh lebih terinspirasi kepada semut yang memang dicitrakan baik dalam al-Qur’an. Tapi nyatanya semangat semut itu dapat dengan cantik diejawantahkan oleh komikus Marvel dalam bentuk Ant-Man, superhero yang dapat membesar atau mengecilkan ukuran tubuhnya. Pada tulisan kali ini, pencurian qur’an yang akan saya bahas adalah apa yang dilakukan oleh Ahok. Para pembela Ahok mengatakan bahwa bisa saja ketika itu Ahok tidak sengaja berkata demikian, atau sebenarnya tidak berniat menistakan qur’an. Maka berdasarkan hal itu, Ahok tidaklah pantas dihukum, apalagi Ahok sudah mengutarakan permohonan maaf. Namun setelah ditelusuri, pada kenyataannya Ahok memang sering membahas al-Maidah: 51 di hadapan publik dengan penyampaian yang realtif sama. Bahkan ia juga menulis di dalam bukunya, “Merubah Indonesia”, bahwa ada sekelompok orang dan ahli agama yang menggunakan ayat itu sebagai alat membohongi. Dengan kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan Ahok tidak sengaja soal kasus penistaan al-Maidah: 51 secara otomatis tertolak.
            Siapapun harus jujur, bahwa sejatinya Ahok terinspirasi dengan al-Qur’an, kemudian ia mencurinya. Mencuri semangat al-Qur’an untuk mengambil simpati masyarakat muslim. Bagaimana tidak, di khalayak ramai ia selalu mengaku lulusan sekolah Islam, mengerti al-Qur’an, mengerti tafsir, bahkan mengatakan bisa saja menghafal Qur’an kalau ia mau. Padahal muslim yang bertahun-tahun belajar di pesantren, belum tentu dapat menghafal qur’an dan mengerti kaidah-kaidah tafsir. Seharusnya Ahok yakin saja dengan prinsip keagamaannya sebagai seorang Kristen Protestan, tidak perlu mengaku-ngaku islami demi meraih simpati rakyat. Bila memang ia memiliki prinsip yang baik dalam memimpin sebuah provinsi, seharusnya berawal dari memiliki prinsip yang baik dalam beragama. Bila prinsip beragamanya saja compang-camping, maka prinsip memimpinnya juga pasti compang-camping. Karena norma agama yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk berlaku adil dan menebarkan kasih sayang. Norma di luar agama tidak mengajarkan itu. Norma-norma budaya yang lahir ke tengah-tengah masyarakat Indonesia juga dipengaruhi oleh agama. Tidak akan ada norma “mencuri adalah sebuah keburukan” tanpa campur tangan agama di dalamnya.
            Sikap seorang Ahok yang demikian semakin memperburuk citra orang Tiongkok di Indonesia. Jika Laksmana Cheng Ho memberikan kesan yang baik ketika melancong ke negeri-negeri di luar Tiongkok, maka berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang Tiongkok lainnya di Indonesia. Melihat sejarah, hingga abad ke-8 hubungan Nusantara dengan Tiongkok hanya sekadar kunjungan-kunjungan keagamaan yang dilakukan oleh pendeta Budha dari Tiongkok. Sekitar tahun 400 M, seorang pendeta Budha bernama Fa Hian singgah di Jawa selama lima bulan, dan melaporkan belum ada orang Tiongkok di sana. Kemudian I-Tsing juga melaporkan pengelanaannya di Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa. Menurut laporannya, telah ada kerajaan di Jawa Tengah bernama Ho-Ling, yang berdasarkan toponimnya, dapat diperkirakan bahwa Ho-Ling adalah Kerajaan Kalinga. I-Tsing melawat ke Nusantara antara tahun 671 hingga 692 M. Itulah periode pertama masuknya orang-orang Tiongkok ke Nusantara, yakni hingga abad ke-10.
            Periode kedua adalah abad ke-12 hingga 19. Pada periode ini orientasi kunjungan mulai berubah. Selain untuk mengekspansi wilayah dinasti di Tiongkok, dilakukan pula perdagangan-perdagangan yang membuat interaksi antara kedua belah pihak semakin intens. Lama-kelamaan, banyak warga Tiongkok berdatangan ke Nusantara untuk berdagang.  Pada tahun 992 M, muncul hubungan komersial antara Dinasti Song (960-1279 M) dengan kepulauan di Nusantara, walaupun ada yang berpendapat hubungan tersebut sudah berlangsung sejak abad ke-3. Sejak saat itulah rute perdagangan Laut Selatan atau yang dikenal dengan Nanyang mulai diketahui dan menjadi rute strategis untuk berdagang. Kemudian semakin ramailah orang-orang Tiongkok yang ke Nusantara.Karena semakin lama semakin banyak, maka dibuatlah pemukiman warga Tiongkok di beberapa daerah. Palembang, Bangka, Belitung, Pontianak, Sambas, dan beberapa daerah pesisir utara di Jawa seperti Semarang, Cirebon, Tuban, Gresik, Surabaya, dan lain-lain adalah daerah-daerah yang banyak didirikan pemukiman Tionghoa. Ketika kejatuhan Dinasti Yuan (1271-1368) terjadi pada tahun 1368 M, hubungan dengan Nanyang menjadi tidak lancar. Peraturan yang membatasi perdagangan di Nanyang diberlakukan. Salah satunya adalah pelarangan perdagangan secara individu. Hal ini membuat orang-orang Tiongkok yang masih berada di Nusantara untuk melakukan perdagangan individual mengalami dilema, apakah harus kembali ke negeri asal atau justru menetap di Nusantara. Kemudian banyak yang menetap, dan sayangnya tidak sedikit mereka yang membentuk kelompok-kelompok bandit, seperti yang terjadi di Sumatera Selatan (mencakup Bangka dan Belitung). Saat itu (abad ke-14) Palembang menjadi pusat bajak laut yang terkenal.  Dengan adanya pemukiman Tiongkok, ditambah dengan mereka yang berbuat kejahatan, maka otomatis membuat etnis Tionghoa memiliki jarak dengan pribumi.
            Menurut beberapa sosiolog, kebencian kepada etnis Tionghoa di beberapa tempat, khususnya di Indonesia adalah karena prejudice (prasangka). Prasangka-prasangka tersebut tercipta karena terjadi kesenjangan komunikasi. Kesenjangan yang terjadi karena jarak yang tidak sengaja dibangun antar penduduk pribumi dan Tionghoa sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Bahkan kita masih dapat menyaksikan orang-orang Tionghoa yang tidak bisa berbahasa Indonesia, padahal sudah tinggal di Indonesia bertahun-tahun dan beranak-pinak. Hal ini mungkin akan sulit kita temukan di Pulau Jawa, tetapi sangat mudah sekali kita temukan di daerah-daerah seperti Kalimantan Barat dan Sumatera. Di Singkawang, Kalimantan Barat, yang setengah penduduknya beretnis Tionghoa, tidak sedikit dari mereka yang bertutur bahasa etnisnya masing-masing dalam kesehariannya ketimbang Bahasa Indonesia. Hal itu membuat mereka sulit berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia. Kenyataan-kenyataan inilah yang membuat prasangka buruk antar pribumi dengan etnis Tionghoa semakin menjadi-jadi.
            Sejak dulu memang orang Tionghoa memiliki orientasi sangat kuat kepada leluhurnya, dan lagi-lagi ini yang membuat mereka sulit berasimilasi dengan warga setempat. Apalagi chauvinisme di kalangan mereka cukup tinggi, sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya lebih bermartabat daripada suku lain. Pada zaman kemerdekaan, pemimpin redaksi harian Sin Po, Kwee Kek Beng, menyebut warga pribumi dengan istilah Hoan Nah, yakni bermakna “tidak beradab”. Sedangkan masyarakat Singkawang kadang menyebut pribumi dengan sebutan Fan Nyin, yang artinya “setengah manusia” atau bisa disebut juga barbar. Maka wajar saja jika etnis Tionghoa selalu dekat dengan prasangka buruk dari orang-orang pribumi.
            Kita kembali lagi ke masalah Ahok. Karena tidak jarang Ahok mengaku bahwa dirinya sering berkata-kata kasar karena ia lahir dan besar di Belitung. Pernyataan ini serta-merta ditentang Yusril Ihza Mahendra. Sebagai orang Belitung asli dan merasa lebih pantas sebagai orang Belitung karena dia adalah pribumi, Yusril mengatakan bahwa orang Belitung itu tuturannya santun, bahkan ia menunjukkan penghargaannya pada tahun 2003 sebagai tokoh yang baik dalam berbahasa. Kemudian Yusril mengatakan bahwa mungkin Ahok bersikap seperti itu karena adat Tionghoa Khek di Belitung, bukan karena Belitung-nya.
            Dengan demikian seharusnya Ahok tidak semakin menunjukkan bahwa prasangka buruk masyarakat terhadap etnis Tionghoa itu benar. Seharusnya ia mencoba untuk memperbaiki hubungan tersebut. Karena persatuan bangsa merupakan hal yang sangat inti dalam soal bermasyarakat dan bernegara. Jangan salahkan orang yang menghina etnisnya Ahok, karena menurut mereka etnisnya Ahok dari dulu memang begitu. Sekalipun kita harus melarang orang yang menghina etnisnya Ahok, karena Ahok adalah individu, dan yang kita salahkan sikap individunya, bukan etnisnya.

            Sudah sepatutnya penegak hukum adil dan tidak berlaku naif soal proses hukum Ahok. Tidak ada ketidaksengajaan yang dilakukan Ahok, karena ia memang murni berpikiran bahwa banyak orang-orang yang menggunakan QS. Al-Maidah: 51 untuk “membohongi” agar tidak memilih pemimpin non-muslim. Ahok adalah seorang Kristen Protestan, maka bukanlah domainnya membicarakan al-Qur’an, apalagi mengaku paham tafsir al-Qur’an. Sungguh naif orang yang demikian, karena jauh lebih baik ia memegang teguh prinsip agamanya. Juga sebagai orang beretnis Tionghoa, seharusnya Ahok menyadari bahwa sikap seperti itu hanya memperkeruh suasana, dan menambah citra buruk etnis Tionghoa di Nusantara.

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com