Tragedi
penistaan al-Qur’an masih sangat relevan dibicarakan hingga hari ini, setelah
kalimat yang menyakitkan dari seorang Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki
Tjahaja Purnama, alias Ahok, disebar ke publik dalam bentuk video. Sejatinya
penistaan agama di negeri ini bukan hanya terjadi sekali-dua kali, namun sebuah
tindakan kurang pantas dari orang yang pantas ini menjadi penyebabnya. Mengapa
saya katakan Ahok adalah orang yang pantas? Karena memang sedari awal dirinya
naik secara cuma-cuma menjadi gubernur menggantikan Joko Widodo yang naik
secara hura-hura menjadi presiden, Ahok selalu menuai kontroversi. Masyarakat
–khususnya umat Islam- harus jujur, bahwa Ahok melakukan beberapa perubahan
demi kemajuan ibukota. Namun masyarakat non-muslim dan abangan juga harus
jujur, sikap seorang pemimpin di hadapan rakyatnya haruslah baik dan menjadi
teladan bagi siapapun. Menurut hemat penulis, hal ini tidak bertentangan dengan
ajaran agama manapun. Namun, sebagaimana biasa, saya tidak akan membahas hal
yang sedang menjadi mainstream pembicaraan masyarakat, saya tidak akan
membahas proses hukum Ahok, dan juga saya tidak akan membahas demo 411.
Tentang judul di atas, sekitar satu
tahun lalu di blog ini saya menulis tulisan berjudul “Ketika al-Qur’an Dicuri
Ant-Man” yang menurut pandangan saya, seharusnya umat Islam jauh lebih
terinspirasi kepada semut yang memang dicitrakan baik dalam al-Qur’an. Tapi
nyatanya semangat semut itu dapat dengan cantik diejawantahkan oleh komikus
Marvel dalam bentuk Ant-Man, superhero yang dapat membesar atau mengecilkan
ukuran tubuhnya. Pada tulisan kali ini, pencurian qur’an yang akan saya bahas
adalah apa yang dilakukan oleh Ahok. Para pembela Ahok mengatakan bahwa bisa
saja ketika itu Ahok tidak sengaja berkata demikian, atau sebenarnya tidak
berniat menistakan qur’an. Maka berdasarkan hal itu, Ahok tidaklah pantas
dihukum, apalagi Ahok sudah mengutarakan permohonan maaf. Namun setelah
ditelusuri, pada kenyataannya Ahok memang sering membahas al-Maidah: 51 di
hadapan publik dengan penyampaian yang realtif sama. Bahkan ia juga menulis di
dalam bukunya, “Merubah Indonesia”, bahwa ada sekelompok orang dan ahli agama
yang menggunakan ayat itu sebagai alat membohongi. Dengan kenyataan ini, maka
pendapat yang mengatakan Ahok tidak sengaja soal kasus penistaan al-Maidah: 51
secara otomatis tertolak.
Siapapun harus jujur, bahwa
sejatinya Ahok terinspirasi dengan al-Qur’an, kemudian ia mencurinya. Mencuri
semangat al-Qur’an untuk mengambil simpati masyarakat muslim. Bagaimana tidak,
di khalayak ramai ia selalu mengaku lulusan sekolah Islam, mengerti al-Qur’an,
mengerti tafsir, bahkan mengatakan bisa saja menghafal Qur’an kalau ia mau.
Padahal muslim yang bertahun-tahun belajar di pesantren, belum tentu dapat
menghafal qur’an dan mengerti kaidah-kaidah tafsir. Seharusnya Ahok yakin saja
dengan prinsip keagamaannya sebagai seorang Kristen Protestan, tidak perlu
mengaku-ngaku islami demi meraih simpati rakyat. Bila memang ia memiliki
prinsip yang baik dalam memimpin sebuah provinsi, seharusnya berawal dari
memiliki prinsip yang baik dalam beragama. Bila prinsip beragamanya saja
compang-camping, maka prinsip memimpinnya juga pasti compang-camping. Karena
norma agama yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk berlaku adil dan
menebarkan kasih sayang. Norma di luar agama tidak mengajarkan itu. Norma-norma
budaya yang lahir ke tengah-tengah masyarakat Indonesia juga dipengaruhi oleh
agama. Tidak akan ada norma “mencuri adalah sebuah keburukan” tanpa campur
tangan agama di dalamnya.
Sikap seorang Ahok yang demikian
semakin memperburuk citra orang Tiongkok di Indonesia. Jika Laksmana Cheng Ho
memberikan kesan yang baik ketika melancong ke negeri-negeri di luar Tiongkok,
maka berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang Tiongkok lainnya di
Indonesia. Melihat sejarah, hingga abad ke-8 hubungan Nusantara dengan Tiongkok
hanya sekadar kunjungan-kunjungan keagamaan yang dilakukan oleh pendeta Budha
dari Tiongkok. Sekitar tahun 400 M, seorang pendeta Budha bernama Fa Hian
singgah di Jawa selama lima bulan, dan melaporkan belum ada orang Tiongkok di
sana. Kemudian I-Tsing juga melaporkan pengelanaannya di Nusantara, tepatnya di
Pulau Jawa. Menurut laporannya, telah ada kerajaan di Jawa Tengah bernama
Ho-Ling, yang berdasarkan toponimnya, dapat diperkirakan bahwa Ho-Ling adalah
Kerajaan Kalinga. I-Tsing melawat ke Nusantara antara tahun 671 hingga 692 M.
Itulah periode pertama masuknya orang-orang Tiongkok ke Nusantara, yakni hingga
abad ke-10.
Periode kedua adalah abad ke-12
hingga 19. Pada periode ini orientasi kunjungan mulai berubah. Selain untuk
mengekspansi wilayah dinasti di Tiongkok, dilakukan pula
perdagangan-perdagangan yang membuat interaksi antara kedua belah pihak semakin
intens. Lama-kelamaan, banyak warga Tiongkok berdatangan ke Nusantara untuk
berdagang. Pada tahun 992 M, muncul
hubungan komersial antara Dinasti Song (960-1279 M) dengan kepulauan di
Nusantara, walaupun ada yang berpendapat hubungan tersebut sudah berlangsung
sejak abad ke-3. Sejak saat itulah rute perdagangan Laut Selatan atau yang
dikenal dengan Nanyang mulai diketahui dan menjadi rute strategis untuk
berdagang. Kemudian semakin ramailah orang-orang Tiongkok yang ke Nusantara.Karena
semakin lama semakin banyak, maka dibuatlah pemukiman warga Tiongkok di
beberapa daerah. Palembang, Bangka, Belitung, Pontianak, Sambas, dan beberapa
daerah pesisir utara di Jawa seperti Semarang, Cirebon, Tuban, Gresik,
Surabaya, dan lain-lain adalah daerah-daerah yang banyak didirikan pemukiman
Tionghoa. Ketika kejatuhan Dinasti Yuan (1271-1368) terjadi pada tahun 1368 M,
hubungan dengan Nanyang menjadi tidak lancar. Peraturan yang membatasi
perdagangan di Nanyang diberlakukan. Salah satunya adalah pelarangan
perdagangan secara individu. Hal ini membuat orang-orang Tiongkok yang masih
berada di Nusantara untuk melakukan perdagangan individual mengalami dilema,
apakah harus kembali ke negeri asal atau justru menetap di Nusantara. Kemudian
banyak yang menetap, dan sayangnya tidak sedikit mereka yang membentuk
kelompok-kelompok bandit, seperti yang terjadi di Sumatera Selatan (mencakup
Bangka dan Belitung). Saat itu (abad ke-14) Palembang menjadi pusat bajak laut
yang terkenal. Dengan adanya pemukiman
Tiongkok, ditambah dengan mereka yang berbuat kejahatan, maka otomatis membuat
etnis Tionghoa memiliki jarak dengan pribumi.
Menurut beberapa sosiolog, kebencian
kepada etnis Tionghoa di beberapa tempat, khususnya di Indonesia adalah karena prejudice
(prasangka). Prasangka-prasangka tersebut tercipta karena terjadi
kesenjangan komunikasi. Kesenjangan yang terjadi karena jarak yang tidak
sengaja dibangun antar penduduk pribumi dan Tionghoa sebagaimana yang telah
disebutkan tadi. Bahkan kita masih dapat menyaksikan orang-orang Tionghoa yang
tidak bisa berbahasa Indonesia, padahal sudah tinggal di Indonesia
bertahun-tahun dan beranak-pinak. Hal ini mungkin akan sulit kita temukan di
Pulau Jawa, tetapi sangat mudah sekali kita temukan di daerah-daerah seperti
Kalimantan Barat dan Sumatera. Di Singkawang, Kalimantan Barat, yang setengah
penduduknya beretnis Tionghoa, tidak sedikit dari mereka yang bertutur bahasa
etnisnya masing-masing dalam kesehariannya ketimbang Bahasa Indonesia. Hal itu
membuat mereka sulit berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia. Kenyataan-kenyataan
inilah yang membuat prasangka buruk antar pribumi dengan etnis Tionghoa semakin
menjadi-jadi.
Sejak dulu memang orang Tionghoa
memiliki orientasi sangat kuat kepada leluhurnya, dan lagi-lagi ini yang
membuat mereka sulit berasimilasi dengan warga setempat. Apalagi chauvinisme di
kalangan mereka cukup tinggi, sehingga sebagian dari mereka memandang bangsanya
lebih bermartabat daripada suku lain. Pada zaman kemerdekaan, pemimpin redaksi
harian Sin Po, Kwee Kek Beng, menyebut warga pribumi dengan istilah Hoan Nah,
yakni bermakna “tidak beradab”. Sedangkan masyarakat Singkawang kadang menyebut
pribumi dengan sebutan Fan Nyin, yang artinya “setengah manusia” atau
bisa disebut juga barbar. Maka wajar saja jika etnis Tionghoa selalu dekat
dengan prasangka buruk dari orang-orang pribumi.
Kita kembali lagi ke masalah Ahok.
Karena tidak jarang Ahok mengaku bahwa dirinya sering berkata-kata kasar karena
ia lahir dan besar di Belitung. Pernyataan ini serta-merta ditentang Yusril
Ihza Mahendra. Sebagai orang Belitung asli dan merasa lebih pantas sebagai
orang Belitung karena dia adalah pribumi, Yusril mengatakan bahwa orang
Belitung itu tuturannya santun, bahkan ia menunjukkan penghargaannya pada tahun
2003 sebagai tokoh yang baik dalam berbahasa. Kemudian Yusril mengatakan bahwa
mungkin Ahok bersikap seperti itu karena adat Tionghoa Khek di Belitung,
bukan karena Belitung-nya.
Dengan demikian seharusnya Ahok
tidak semakin menunjukkan bahwa prasangka buruk masyarakat terhadap etnis
Tionghoa itu benar. Seharusnya ia mencoba untuk memperbaiki hubungan tersebut.
Karena persatuan bangsa merupakan hal yang sangat inti dalam soal bermasyarakat
dan bernegara. Jangan salahkan orang yang menghina etnisnya Ahok, karena
menurut mereka etnisnya Ahok dari dulu memang begitu. Sekalipun kita harus
melarang orang yang menghina etnisnya Ahok, karena Ahok adalah individu, dan
yang kita salahkan sikap individunya, bukan etnisnya.
Sudah sepatutnya penegak hukum adil
dan tidak berlaku naif soal proses hukum Ahok. Tidak ada ketidaksengajaan yang
dilakukan Ahok, karena ia memang murni berpikiran bahwa banyak orang-orang yang
menggunakan QS. Al-Maidah: 51 untuk “membohongi” agar tidak memilih pemimpin
non-muslim. Ahok adalah seorang Kristen Protestan, maka bukanlah domainnya membicarakan
al-Qur’an, apalagi mengaku paham tafsir al-Qur’an. Sungguh naif orang yang
demikian, karena jauh lebih baik ia memegang teguh prinsip agamanya. Juga
sebagai orang beretnis Tionghoa, seharusnya Ahok menyadari bahwa sikap seperti
itu hanya memperkeruh suasana, dan menambah citra buruk etnis Tionghoa di
Nusantara.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete