Pernah lihat prosesi qurban
kerbau? Atau kalau memang itu kejadian yang cukup asing di mata kita,
setidaknya pernahkah Anda makan daging kerbau? Bagi sebagian kita, memang asing
memakan daging kerbau, apalagi untuk dijadikan hewan qurban. Tetapi tentu saja
itu bukan menjadi pemandangan yang asing di Kudus dan sekitarnya di Provinsi
Jawa Tengah. Kebanyakan mereka berqurban kambing atau kerbau yang harganya relatif
lebih mahal dibanding harga sapi karena membudayakan “dawuh” Sunan Kudus
yang melarang warga Kudus untuk menyembelih sapi. Jika pun ada masyarakat Kudus
yang berqurban sapi pada hari raya Idul Adha, biasanya adalah orang luar daerah
Kudus yang menetap di Kudus atau kelompok masyarakat yang menyengaja untuk
tidak lagi menjaga tradisi ini.
Ini adalah hasil dakwah dari Ja’far Shadiq, seorang
keturunan sultan yang lahir di Palestina. Terinsipirasi dari tanah lahirnya
yakni al-Quds, jadilah ia memberikan nama Kudus bagi kota yang didiaminya.
Orang pun menjulukinya Sunan Kudus. Julukan ini terus melekat dan pada akhirnya
jauh lebih terkenal ketimbang nama aslinya sendiri. Dalam ilmu fiqh, ada
istilah al-adat al-muhakkamah, bahwa adat istiadat bisa saja menjadi
sebuah hukum di tempat tertentu, selama tidak menentang hal yang pokok atau
menentang hal yang berkaitan dengan aqidah. Sunan Kudus berijtihad untuk
melarang kaum muslimin di Kudus menyembelih sapi, dan menggantinya dengan
kerbau. Sapi adalah hewan yang dianggap suci oleh umat Hindu yang pada saat itu
memang sebagai penduduk mayoritas. Untuk menjaga tali persaudaraan tetap
terjalin, Sunan Kudus melarang menyembelih sapi, karena mungkin itu akan
menyakiti umat Hindu dan mereka justru menjauh, alih-alih mendekat kepada
Islam.
Inilah mudarah yang Rasul shallallahu ‘alayhi
wasallam kepada umat Islam yang dengan apik dipraktikkan oleh Sunan Kudus. “Sesungguhnya
Allah memerintahkan aku agar mudarah kepada manusia sebagaimana aku
diperintahkan untuk menegakkan (menjalankan) semua kewajiban-kewajiban.”
(HR. Al-Dailami).
Secara
singkat, Mudarah adalah beramah-tamah dengan orang lain, berhubungan
dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka
tidak menjauh dari kita, khususnya bagi para da’i. Dalam Fathul Bari
disebutkan bahwa Ibnu Baththal menyatakan Mudarah adalah akhlak para mukminin,
yaitu bersikap rendah hati kepada manusia, berbicara dengan lemah lembut dan
meninggalkan sikap keras terhadap manusia. Dengan mudarah inilah akan
tercipta persatuan yang kokoh. Mudarah ini terejawantahkan pula dalam
istilah Jawa tepo seliro, yang berarti tenggang rasa, atau mencoba
merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga tercipta keadaan saling
menjaga perasaan, baik itu kepada sesama muslim maupun kepada non-muslim.
Mudarah yang dilakukan Sunan Kudus ini tentu saja dilakukan demi
kelangsungan ajaran Islam di Tanah Jawa, khususnya di Kudus sendiri. Tujuannya
agar umat beragama lain, khususnya Hindu, bisa tertarik, kemudian luluh hatinya
untuk menerima Islam. Mudarah ini jelas berbeda dengan mudahanah,
yakni mengorbankan agama untuk kemaslahatan duniawi. Orang yang mudarah berlemah
lembut kepada non muslim tetapi tidak meninggalkan prinsip agamanya, sedangkan mudahanah
akan menghalalkan segala cara untuk menarik simpati yang orientasinya pasti
lebih banyak soal duniawi, misalnya untuk meraih kepentingan politik. Hasil
yang signifikan dari mudarah ini pun dapat kita lihat dampaknya hingga
sekarang. Walau kini di Kudus sudah mayoritas muslim, adat itu tetap
dipertahankan, karena memang tidak menentang syari’at yang ada. Qurban kerbau
diperbolehkan, walau harganya memang lebih mahal ketimbang sapi apalagi
kambing.
Dakwah para
wali ini yang agaknya banyak ditinggalkan oleh para da’i zaman sekarang. Dengan
alasan purifikasi, kemudian segala hal yang tidak ada dalilnya di dalam
al-Qur’an maupun hadits dianggap harus dihindari dan tidak baik digunakan untuk
kemaslahatan agama, termasuk untuk dakwah. Sunan Kudus dengan mudarah-nya,
Sunan Kalijaga dengan filosofi kebudayaannya, Sunan Giri dan juga sunan yang
lain dengan keseniannya. Mereka semua melakukan inovasi dakwah yang terbukti
berhasil membumikan Islam di Nusantara khususnya di tanah Jawa.
Sangat
mengecewakan ketika ada seorang ustadz yang saya dan publik mengakui ketinggian
ilmunya, mengakui keasyikan cara dakwahnya, tetapi menyampaikan sesuatu yang
membuat saudaranya menjadi sakit hati. Permasalahannya bukan pada saudara yang
sakit hati, karena dakwah dengan cara apapun, tetap saja ada potensi menyakiti
pihak lain sekalipun saudara muslim juga. Masalahnya adalah penyampaiannya yang
tak berdasar, khususnya soal sorban. Katanya sorban yang digunakan para
pahlawan tidaklah islami, sebagaimana sorban yang digunakan oleh Pangeran
Diponegoro, Kiyai Mojo, juga Tuanku Imam Bonjol. Katanya lagi, sorban yang
mereka pakai itu adalah sorban yang dipakai orang Hindu, juga para pemuka agama
yang memakai tasbih tidaklah harus dianggap islami, karena tidak ada
tuntunannya menggunakan tasbih untuk berzikir dalam Islam.
Dengan
segala kerendahan ilmu, bagi saya yang melihat penyampaian yang demikian lewat
video sangat menyayat hati. Kemudian disarankan untuk melihat videonya secara
menyeluruh, bukan hanya potongan saja. Ternyata dari keseluruhan video pun
tetap tidak ada pencerahan soal anehnya penyampaian itu. Setelah marak protes,
kemudian Sang Ustadz pun membuat video klarifikasi, yang bagi saya blunder
kedua. Dalam video klarifikasi itu disebutkan bahwa itu video yang dipotong
sehingga menimbulkan multipersepsi, dan ngeles sana-sini hingga makin
terlihat ketidakbijaksanaannya dalam bersikap. Mengapa tidak buat video berisi
permintaan maaf saja tanpa embel-embel ajakan untuk belajar sejarah?
Lucunya,
kita –para penonton- video klarifikasi tersebut disarankan untuk membaca
sejarah lagi, supaya tidak terbodohi dengan sejarah yang sudah dipelintir.
Sekaligus mempertanyakan lukisan-lukisan dan patung-patung pahlawan seperti
Diponegoro yang bertempur dengan busana seperti itu. Sekarang, saya kembalikan
ajakan itu. Mari belajar sejarah lagi! Sejarah mana yang Anda baca? Referensi
apa yang Anda punya? Bukankah sebuah kebodohan jika berbicara tanpa ilmu dan
dalil yang jelas? Jika Anda punya waktu sedikit saja, cobalah berkunjung ke
Museum Bakorwil II Magelang. Di sana tersimpan jubah perang Diponegoro yang
digunakan dalam Perang Sabil-nya melawan Belanda. Menurut penuturan petugas
museum, jubah tersebut merupakan pemberian dari Kaisar Tiongkok pada saat itu.
Adapun Diponegoro memang selalu menggunakan jubah ala pemuka Perang Sabil,
bergaya Arab, menggunakan sorban, jubah dan baju putih sesuai arahan dari
penasihatnya, Syekh Ahmad al-Ansari asal Jeddah, Arab Saudi.
Bagi
sebagian ulama, menggunakan sorban dianggap sunnah, dengan kata lain kita akan
meraih pahala jika menggunakannya dengan niat mengikuti sunnah Rasulullah,
tetapi bagi sebagian yang lain hanya sebatas mubah. Jika di antara kita ada
yang ikut pendapat bahwa itu sunnah, ya sudah, tidak perlu memaksakan pendapat
kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Soal dalil sorban, saya tidak
memiliki kompetensi untuk membahasnya. Tetapi soal sorban yang dipakai untuk
perang, saya tahu walau hanya sedikit tentangnya. Al-Hakim dalam Mustadrak-nya
menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam mengenakan sorban kuning dalam Perang Badr.
Jika memang menggunakan sorban dalam perang adalah sebuah kesalahan, seharusnya
nabi atau sahabat yang lain ada yang menegurnya, tetapi tidak pernah ada
penjelasan demikian. Lagipula, di luar dunia Islam juga sudah ada yang
menggunakan sorban sebagai pakaian perang. Mungkin sebagian dari kita ada yang
familiar dengan “Pemberontakan Sorban Kuning” yang terjadi sekitar abad ke-2
Masehi yang dipimpin oleh tiga bersaudara Zhang Jiao, Zhang Liang, dan Zhang
Bao. Mereka memberontak kepada Dinasti Han, dimana saat itu keadaan Dinasti Han
memang sedang lemah-lemahnya, meskipun akhirnya berhasil diberantas juga.
Kita juga
mengenal syimagh dan ghuthrah yang sering dipakai orang-orang
Arab. Syimagh adalah kain putih yang biasanya digunakan di atas peci, ghuthrah
juga sama dengan syimagh, hanya saja ia bercorak-corak merah. Kain ini sering
digunakan untuk menutup wajah para pejuang perang Hamas ketika berperang.
Tentunya, jika hal ini menghambat produktivitas para prajurit, pasti sudah
ditinggalkan. Tetapi buktinya mereka justru lebih nyaman jika menggunakannya,
karena wajah mereka tidak terlihat yang membantu mereka terhindar dari ‘ujub
dan riya’.
Dengan
tulisan ini, saya hanya berharap dakwah kita dan utamanya dakwah para da’i yang
budiman haruslah lebih tepo seliro, dan sebagaimana kaidah dakwah kita,
jangan berbicara hal-hal yang kita tidak punya ilmu terhadapnya. Cukuplah
bicara pada hal-hal yang kita dalami ilmunya. Toh kita berdakwah ini
menyampaikan agama agar yang haq itu tegak dan yang batil itu musnah, bukan
untuk merekrut sebanyak mungkin pengikut. Perdebatan-perdebatan yang ada,
hedaklah dihindari, atau diredakan sengan hati yang rendah serta kepala yang
dingin. Hindari pula membicarakan hal-hal yang kita tidak punya ilmu mendalam
terhadapnya, demi terciptanya kedamaian dan suasanya yang teduh.
Wali Songo
yang terkenal sangat berjasa itu pun tidak selalu luput dari perdebatan. Sunan
Kudus yang cukup keras beragama, acapkali tidak sepakat dengan segala gagasan
dan praktik dakwah milik Sunan Kalijaga. Tetapi mereka tetap bisa menghasilkan
dakwah yang produktif untuk membumikan Islam di Nusantara. Maka, soal sejarah
bangsa, hingga kepada soal qurban dan sorban, hendaknya tidak menjadikan kita
berpecah kembali. Zaman kita memang berbeda dengan zaman para wali, maka
pemurnian ajaran Islam harus lebih galak ketimbang masa lalu. Namun, orang
Indonesia tetaplah orang Indonesia dari dulu hingga sekarang. Dengan segala
kemajemukannya, inovasi dakwah yang makin beragam adalah hal niscaya. Maka
jauhilah lisan kita dari hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan umat.
Tetapi dekatkanlah telinga kita kepada segala penjelasan saudara kita, sehingga
hilanglah segala prasangka buruk.