zakyzr.com

Saturday, 28 October 2017

Pribumi dan Asgard


Mohon maaf, bukan saya ingin mempekeruh suasana, atau memperpanjang bahasan soal pribumi, tetapi karena baru-baru ini saya menonton film Marvel keluaran terbaru yang berjudul Thor: Ragnarok, saya jadi tergugah untuk menuliskannya. Tenang saja, saya tidak berniat untuk menyajikan spoiler atau bocoran-bocoran dalam film, jadi bagi yang belum menonton, tidak perlu khawatir untuk membaca tulisan ini sampai selesai.
            Singkatnya, film Thor edisi kali ini adalah tentang tanah airnya para dewa, yakni Asgard, yang akan menemui ujung usianya, atau dengan kata lain kiamat; kiamat lokal. Akhir dari Asgard ini disebut dengan Ragnarok. Memang dalam mitologi Nordik, Ragnarok ini akan terjadi. Dewa sekelas Odin sekalipun tidak akan sanggup melawannya, dengan kata lain, Odin, sebagai penguasa Sembilan Dunia pun akan mati. Dewa kok mati, ya? Lucu juga. Berbeda dengan kisah aslinya, dalam film yang memang disesuaikan dengan alur komik Marvel, Ragnarok ini ternyata didalangi oleh Hela, anak sulung Odin sendiri, yang tak lain adalah kakak dari Thor dan Loki. Kemudian Thor dan Loki, yang di edisi sebelumnya bermusuhan, bergabung untuk sama-sama menyelamatkan Asgard dari Ragnarok. Tetapi suasana menjadi keruh ketika Hela muncul, Thor dan Loki belum siap melawannya. Oleh sebab ketidakmampuan itulah Thor dan Loki terbuang ke tempat antah-berantah. Sampai di sini, saya tidak akan cerita lebih banyak lagi. Karena khawatir akan menjadi spoiler bagi yang belum menontonnya.
            Ketika Thor dilanda pesimis tidak bisa menyelamatkan Asgard, dia bertemu dengan ayahnya, Odin, di alam khayal. Saat bertemu itulah Thor mendapat pelajaran akan satu hal. “Asgard is not a place. It’s people,” demikian Odin berkata, yang kemudian perkataan itu diteruskan kepada saudara angkatnya, Loki. Ya, kata Odin, Asgard bukanlah tempat, tetapi Asgard adalah masyarakat. Maksud Odin, Asgard adalah kita, yang dinisbatkan kepada dia, Thor, dan seluruh rakyatnya. Maka, tidak penting dimana rakyatnya akan tinggal kelak, Asgard tetaplah Asgard, yang menjadi identitas bagi seluruh penduduknya.
            Pikiran saya langsung melayang menuju topik yang belum lagi dingin, yakni soal pribumi. Tempo hari, setelah pelantikan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan dalam pidatonya berbicara soal pribumi. Sebagaimana yang telah diprediksi, kata itu pun langsung menjadi perbincangan hangat di berbagai media, bahkan ada yang mempolisikan pidato Anies tersebut. Isu tersebut terus digoreng untuk memperkuat status Anies sebagai pihak yang intoleran di kancah pilkada DKI. Saya bukan pendukung fanatik Anies, walau tentu saja saya menginginkan dia menjadi gubernur ketimbang dipimpin kembali oleh Pak Basuki yang kurang nyantai itu. Namun, saya memandang tidak ada yang salah dengan sebutan itu. Dengan adanya pihak-pihak yang meributkan pidato tersebut –dan Anda tahu dari kubu mana mereka berasal- saya semakin yakin bahwa orang-orang itu sejatinya hanya mencari-cari kesalahan gubernur baru, karena junjungannya kalah telak di pilkada putaran kedua. Kalau memang mereka merasa sebagai pribumi juga, mengapa harus ribut. Atau jangan-jangan mereka merasa sebagai pihak lain yang disebut dalam pidato itu, yakni kolonial. Jika memang Anda pribumi, mengapa harus tersinggung ketika ada kalimat “pribumi harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri”, kecuali memang Anda merasa disinggung sebagai pihak yang merebut rumah orang.
            Kembali lagi ke Asgard, ketika Odin mengatakan Asgard bukanlah tempat melainkan rakyat, sejatinya itu menegaskan bahwa yang namanya pribumi itu bukan masalah tempat, tetapi soal identitas. Hal itu diperkuat –dengan cerdasnya- saat orang-orang Asgard disorot, mereka terdiri dari berbagai warna kulit, bahkan di antara mereka ada yang berwajah oriental. Identitas sama dengan jati diri, setidaknya itu yang tertera di KBBI. Maka ia akan melekat sesuai jati diri. Kalau orang Indonesia, memiliki kartu identitas sebagai WNI yang artinya diakui sebagai WNI, bertindaklah sebagaimana orang Indonesia bertindak. Jika tidak sesuai, maka Anda bukan pribumi. Jika Anda mengaku bangsa Indonesia, tetapi tidak berusaha untuk berkontribusi bagi Indonesia, berarti Anda bukanlah pribumi. Sesimpel itu.

            Karena pribumi bukan hanya masalah dimana kamu menduduki tempat, tetapi juga soal bagaimana kamu bermanfaat bagi tempat yang kamu duduki tersebut.

Wednesday, 13 September 2017

Columbus, Genosida, dan Rohingya

Belum kering air mata umat Islam melihat penderitaan saudaranya di al-Aqsha, datang kabar baru tentang saudara muslim di Rakhine State. Kendati tentu saja kabar soal Orang-orang Rohingya yang mendapat siksaan oleh Junta militer dan oknum agamawan Budha ini bukanlah berita baru. Setidaknya dalam 3 tahun terakhir ini kita mendapat kabar soal pembantaian di sana. Tetapi memang berita kali ini lebih besar dan menyayat hati. Dengan video-video kekejaman Junta militer Myanmar dan orang-orang Rohingya yang melarikan diri secara menyedihkan, orang-orang awam makin perhatian kepada mereka. Belum lagi penggalangan dana dimana-mana yang meraup dana cukup besar. Meskipun tentu saja ada orang-orang yang sinis, orang-orang yang menganggap toleran tetapi sangat tidak suka melihat orang-orang muslim menjadi solid dalam menyuarakan kebenaran.
            Tentu saja bukan kapasitas saya membicarakan persoalan Rohingya karena ilmu saya yang amat terbatas. Tetapi setidaknya saya mewajibkan diri untuk terus berusaha mengingatkan khalayak akan siksaan yang dialami oleh orang-orang Rohingya di Rakhine State sana, agar terbuka mata kita bahwa banyak ketidakadilan di muka bumi. Bahwa penindasan mayoritas terhadap minoritas masih terjadi di dunia yang damai ini. Mari lihat dengan kacamata logika, apakah mereka pantas dianiaya sedemikian rupa, sehingga mereka harus berpayah-payah melarikan diri ke negeri seberang? Bagi yang hatinya belum mati, pastilah menjawab tidak pantas. Terlepas dari persoalan agama, orang-orang Rohingya dalam beberapa sumber disebutkan telah menduduki wilayah Arakan sejak abad ke-8 Masehi. Sensus Inggris tahun 1872 juga menunjukkan bahwa Rohingya sebagai komunitas muslim yang menduduki wilayah Arakan, saat itu Myanmar di bawah koloni Inggris. Pada tahun 1948, Konstitusi dan UU Kewarganegaraan menyatakan semua etnis diakui, termasuk Rohingya. Pada saat Myanmar merdeka tahun 1947, Rohingya dianggap sebagai etnis asli Myanmar, bukan pendatang, apalagi imigran ilegal seperti yang disebutkan oleh beberapa pihak. Tetapi pada tahun 1965, Junta militer merilis daftar 135 golongan etnis dan agama, yang ternyata di dalamnya etnis Rohingya telah dihapuskan, itu terjadi setelah kudeta militer yang mengawali rezim Junta militer di Myanmar, entah ada hubungannya atau tidak. Faktanya, orang Myanmar yang lahir setelah tahun 1965, kebanyakan mereka tidak tahu ada sebuah etnis di negaranya yang bernama Rohingya, atau setidaknya mereka kenal orang Rohingya sebagai keturuan Bangladesh, bukan orang Myanmar asli, karena memang nama Rohingya dihapuskan dari sejarah nasional secara sistematis.
            Kejahatan yang dilakukan oleh Junta militer memang jelas-jelas kejahatan genosida. Lucunya adalah ketika kita menerima kenyataan bahwa Aung San Suu Kyi, sang presiden sekaligus penerima Nobel Perdamaian hanya bersikap diam atas penyiksaan terhadap orang-orang Rohingya. Jadi, atas dasar apa Suu Kyi tetap menyandang status sebagai penerima Nobel Perdamaian? Myanmar berdiri atas pergulatan sejarah, mereka tidak terdiri dari satu suku aja. Ada banyak etnis yang membentuk negeri Myanmar. Rohingya sendiri bukanlah satu-satunya etnis muslim di Myanmar, tetapi mereka yang mengalami genosida. Kejahatan semacam itu sudah masuk kategori genosida, bukan yang lain. Genosida, menurut Konvensi PBB tahun 1984, tidaklah terbatas pada pembantaian secara fisik saja, tetapi juga menyakiti atau menyiksa sekelompok orang karena alasan identitas yang melekat pada ras, etnis, ataupun agama. Sebagian beranggapan karena Rohingya adalah muslim, tetapi sebagian berpendapat ini soal politik, karena tanah yang didiami orang-orang Rohingya adalah tanah yang memiliki kekayaan alam, dan ini sangat diincar pemerintah. Apapun alasannya, kejahatan menyiksa manusia lain, apalagi ras tertentu, tidak bisa dibenarkan sampai kapanpun. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan untuk menganiaya umat agama lain, atau ras tertentu. Soal ini, lagi-lagi harus saya katakan, saya tidak berkapasitas untuk membahasnya. Biarlah ini dijelaskan oleh mereka yang jauh lebih ahli. Harapan kita –yang masih punya hati- pasti sama, orang-orang Rohingya diberi kehidupan yang layak, dan mereka kembali ke tanah mereka.
            Ironisnya, genosida ini termasuk kejahatan yang berkali-kali dibiarkan oleh dunia. Awal abad ke-20, Suku Moriori di Pulau Chatham dibombardir oleh saudaranya sendiri, yakni Suku Mori, hingga tahun 1933 Suku Moriori benar-benar punah. Tahun 1980-an ada pemberantasan ratusan ribu orang Kurdi dengan operasi yang dikenal dengan Chemical Ali. Genosida terhadap suku asli Amerika tak kalah menyedihkan. Columbus bukanlah orang pertama yang menemukan benua Amerika. Jauh sebelum Columbus, sudah ada pelancong Tiongkok dan pelancong Muslim sekelas Ibnu Batutta mendarat di Amerika. Columbus menginjakkan kaki di Amerika sambil terheran-heran melihat peradaban di sana yang katanya ada bangunan mirip bangungan di Persia dan orang-orang melakukan gerakan aneh di dalamnya. Kita pasti langsung tahu bangunan yang dimaksud adalah masjid, dan gerakan aneh yang dimaksud adalah shalat. Hal ini diperkuat dengan ucapan terimakasih kepada Ibnu Batutta atas peta yang telah dibuat dalam catatan perjalanannya. Al-Masudi, seorang sejarawan dan ahli geografi muslim (871 – 957) melaporkan dalam bukunya, Muruj Adh-dhahab wa Maadin al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels), bahwa semasa pemerintahan Khalifah Andalusia, Abdullah Ibn Muhammad (888 – 912), Khashkhash Ibn Sa’id Ibn Aswad berlayar dari Delba (Palos) pada tahun 889, menyeberangi Lautan Atlantik, hingga mencapai wilayah yang belum dikenal yang disebutnya Ard Majhuula, dan kemudian kembali dengan membawa berbagai harta yang menakjubkan.
            Lantas, apa yang dilakukan Columbus? Dia menemui pemuka suku di sana, yang dia sebut dengan Indian, karena mengira tanah yang dipijak adalah tanah Hindia yang terdapat banyak rempah-rempah. Seorang kepala suku yang diminta tunduk kepada Columbus –karena Columbus merasa lebih tinggi derajatnya dibanding penduduk ‘dunia baru’ itu- menolak tunduk. Colombus memerintahkan kepala suku tersebut –yang dalam beberapa sumber disebutkan bernama Hatuey, dan sukunya adalah Indian Arawak- dan pengikutnya diikat di sebuah tonggak kayu mirip salib dan dihukum bakar hidup-hidup. Ketika sang kepala suku diikat ke kayu, seorang Pastor Fransiscan mendekatinya dan mendesaknya untuk mengakui Yesus sebagai tuhan, agar jiwanya dapat pergi ke surga daripada ke neraka. Dengan penuh harga diri sang kepala suku menjawab, bahwa jika surga itu adalah tempat bagi orang-orang seperti Colombus dan kawanannya, maka dia lebih baik pergi ke neraka. Mereka digantung secara serentak, yang berjumlah 13 orang. Demikian catatan para saksi mata yang dalam beberapa buku sejarah tentang kedatangan awal Colombus di Amerika.
            Arsip di Perpustakaan Kongres (Library of Congress) menunjukkan adanya perjanjian pemerintah Amerika Serikat dengan suku Indian Cherokee tahun 1787. Terbubuhkan tanda tangan Kepala Suku Cherokee saat itu, bernama Abde Khak dan Muhammad Ibnu Abdullah. Sebagaimana diskriminasi terhadap etnis Rohingya, begitulah nasib yang diterima para Indian muslim di Amerika, yang notabene adalah penduduk asli. Mereka dianggap sebagai suku primitif nan terbelakang, padahal orang-orang Eropa-lah yang menumpang hidup di sana. Praktis setelah datangnya Columbus, peradaban di sana berubah secara signifikan. Orang-orang kulit putih masuk membawa budak-budak kulit hitam. Mereka menjajah dan meminggirkan semua yang tidak mau tunduk kepada pihaknya. Padahal pelancong-pelancong sebelumnya tidak pernah mengusik penduduk di sana, bahkan mereka menjalin kekerabatan, sebagaimana data yang disajikan oleh Gavin Menzies dalam karya fenomenalnya, 1421: The Year China Discovered America.

            Pemberantasan suku Indian muslim di Amerika, jelas salah satu kejahatan genosida terbesar di dunia. Tetapi, sejarah ditulis oleh yang menang. Sebagaimana Junta militer di Myanmar, Columbus dan para loyalisnya dengan bangga menyatakan bahwa Chritstopher Columbus adalah penemu Amerika, dan dialah yang paling berjasa atas segala kemajuan yang dialami Amerika hingga detik ini. Jika kejahatan genosida sebagaimana yang dilakukan Columbus saja dibiarkan, bahkan sampai kejahatannya saja tidak tercium oleh orang-orang awam yang manggut-manggut saja kepada buku sejarah di sekolahnya, maka tidaklah heran jika suku Rohingya sampai detik ini masih jauh dari perhatian dunia karena masih saja banyak yang menganggap mereka imigran ilegal dari Bangladesh. Saya jadi teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh salah satu pentolan Nazi, Jozef Goebbels: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan membuat publik menjadi percaya.” Inilah yang kita terima sekarang, terkhusus menyoal Indian muslim di Amerika dan juga Rohingya di Myanmar. Maka, lakukanlah cara yang paling mungkin kita lakukan, selain mendonasikan bantuan tentunya. Jika tidak memiliki pengetahuan yang banyak tentang Rohingya, maka sebarkanlah tulisan-tulisan para ahli dari seumber yang terpercaya, demi kembalinya hak mereka sebagai manusia yang layak hidup di muka bumi.

Thursday, 31 August 2017

Sorban dan Kerbau yang Diqurban


Pernah lihat prosesi qurban kerbau? Atau kalau memang itu kejadian yang cukup asing di mata kita, setidaknya pernahkah Anda makan daging kerbau? Bagi sebagian kita, memang asing memakan daging kerbau, apalagi untuk dijadikan hewan qurban. Tetapi tentu saja itu bukan menjadi pemandangan yang asing di Kudus dan sekitarnya di Provinsi Jawa Tengah. Kebanyakan mereka berqurban kambing atau kerbau yang harganya relatif lebih mahal dibanding harga sapi karena membudayakan “dawuh” Sunan Kudus yang melarang warga Kudus untuk menyembelih sapi. Jika pun ada masyarakat Kudus yang berqurban sapi pada hari raya Idul Adha, biasanya adalah orang luar daerah Kudus yang menetap di Kudus atau kelompok masyarakat yang menyengaja untuk tidak lagi menjaga tradisi ini.
            Ini adalah hasil dakwah dari Ja’far Shadiq, seorang keturunan sultan yang lahir di Palestina. Terinsipirasi dari tanah lahirnya yakni al-Quds, jadilah ia memberikan nama Kudus bagi kota yang didiaminya. Orang pun menjulukinya Sunan Kudus. Julukan ini terus melekat dan pada akhirnya jauh lebih terkenal ketimbang nama aslinya sendiri. Dalam ilmu fiqh, ada istilah al-adat al-muhakkamah, bahwa adat istiadat bisa saja menjadi sebuah hukum di tempat tertentu, selama tidak menentang hal yang pokok atau menentang hal yang berkaitan dengan aqidah. Sunan Kudus berijtihad untuk melarang kaum muslimin di Kudus menyembelih sapi, dan menggantinya dengan kerbau. Sapi adalah hewan yang dianggap suci oleh umat Hindu yang pada saat itu memang sebagai penduduk mayoritas. Untuk menjaga tali persaudaraan tetap terjalin, Sunan Kudus melarang menyembelih sapi, karena mungkin itu akan menyakiti umat Hindu dan mereka justru menjauh, alih-alih mendekat kepada Islam.
            Inilah mudarah yang Rasul shallallahu ‘alayhi wasallam kepada umat Islam yang dengan apik dipraktikkan oleh Sunan Kudus. “Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar mudarah kepada manusia sebagaimana aku diperintahkan untuk menegakkan (menjalankan) semua kewajiban-kewajiban.” (HR. Al-Dailami).
Secara singkat, Mudarah adalah beramah-tamah dengan orang lain, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh dari kita, khususnya bagi para da’i. Dalam Fathul Bari disebutkan bahwa Ibnu Baththal menyatakan Mudarah adalah akhlak para mukminin, yaitu bersikap rendah hati kepada manusia, berbicara dengan lemah lembut dan meninggalkan sikap keras terhadap manusia. Dengan mudarah inilah akan tercipta persatuan yang kokoh. Mudarah ini terejawantahkan pula dalam istilah Jawa tepo seliro, yang berarti tenggang rasa, atau mencoba merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga tercipta keadaan saling menjaga perasaan, baik itu kepada sesama muslim maupun kepada non-muslim.
Mudarah yang dilakukan Sunan Kudus ini tentu saja dilakukan demi kelangsungan ajaran Islam di Tanah Jawa, khususnya di Kudus sendiri. Tujuannya agar umat beragama lain, khususnya Hindu, bisa tertarik, kemudian luluh hatinya untuk menerima Islam. Mudarah ini jelas berbeda dengan mudahanah, yakni mengorbankan agama untuk kemaslahatan duniawi. Orang yang mudarah berlemah lembut kepada non muslim tetapi tidak meninggalkan prinsip agamanya, sedangkan mudahanah akan menghalalkan segala cara untuk menarik simpati yang orientasinya pasti lebih banyak soal duniawi, misalnya untuk meraih kepentingan politik. Hasil yang signifikan dari mudarah ini pun dapat kita lihat dampaknya hingga sekarang. Walau kini di Kudus sudah mayoritas muslim, adat itu tetap dipertahankan, karena memang tidak menentang syari’at yang ada. Qurban kerbau diperbolehkan, walau harganya memang lebih mahal ketimbang sapi apalagi kambing.
Dakwah para wali ini yang agaknya banyak ditinggalkan oleh para da’i zaman sekarang. Dengan alasan purifikasi, kemudian segala hal yang tidak ada dalilnya di dalam al-Qur’an maupun hadits dianggap harus dihindari dan tidak baik digunakan untuk kemaslahatan agama, termasuk untuk dakwah. Sunan Kudus dengan mudarah-nya, Sunan Kalijaga dengan filosofi kebudayaannya, Sunan Giri dan juga sunan yang lain dengan keseniannya. Mereka semua melakukan inovasi dakwah yang terbukti berhasil membumikan Islam di Nusantara khususnya di tanah Jawa.
Sangat mengecewakan ketika ada seorang ustadz yang saya dan publik mengakui ketinggian ilmunya, mengakui keasyikan cara dakwahnya, tetapi menyampaikan sesuatu yang membuat saudaranya menjadi sakit hati. Permasalahannya bukan pada saudara yang sakit hati, karena dakwah dengan cara apapun, tetap saja ada potensi menyakiti pihak lain sekalipun saudara muslim juga. Masalahnya adalah penyampaiannya yang tak berdasar, khususnya soal sorban. Katanya sorban yang digunakan para pahlawan tidaklah islami, sebagaimana sorban yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro, Kiyai Mojo, juga Tuanku Imam Bonjol. Katanya lagi, sorban yang mereka pakai itu adalah sorban yang dipakai orang Hindu, juga para pemuka agama yang memakai tasbih tidaklah harus dianggap islami, karena tidak ada tuntunannya menggunakan tasbih untuk berzikir dalam Islam.
Dengan segala kerendahan ilmu, bagi saya yang melihat penyampaian yang demikian lewat video sangat menyayat hati. Kemudian disarankan untuk melihat videonya secara menyeluruh, bukan hanya potongan saja. Ternyata dari keseluruhan video pun tetap tidak ada pencerahan soal anehnya penyampaian itu. Setelah marak protes, kemudian Sang Ustadz pun membuat video klarifikasi, yang bagi saya blunder kedua. Dalam video klarifikasi itu disebutkan bahwa itu video yang dipotong sehingga menimbulkan multipersepsi, dan ngeles sana-sini hingga makin terlihat ketidakbijaksanaannya dalam bersikap. Mengapa tidak buat video berisi permintaan maaf saja tanpa embel-embel ajakan untuk belajar sejarah?
Lucunya, kita –para penonton- video klarifikasi tersebut disarankan untuk membaca sejarah lagi, supaya tidak terbodohi dengan sejarah yang sudah dipelintir. Sekaligus mempertanyakan lukisan-lukisan dan patung-patung pahlawan seperti Diponegoro yang bertempur dengan busana seperti itu. Sekarang, saya kembalikan ajakan itu. Mari belajar sejarah lagi! Sejarah mana yang Anda baca? Referensi apa yang Anda punya? Bukankah sebuah kebodohan jika berbicara tanpa ilmu dan dalil yang jelas? Jika Anda punya waktu sedikit saja, cobalah berkunjung ke Museum Bakorwil II Magelang. Di sana tersimpan jubah perang Diponegoro yang digunakan dalam Perang Sabil-nya melawan Belanda. Menurut penuturan petugas museum, jubah tersebut merupakan pemberian dari Kaisar Tiongkok pada saat itu. Adapun Diponegoro memang selalu menggunakan jubah ala pemuka Perang Sabil, bergaya Arab, menggunakan sorban, jubah dan baju putih sesuai arahan dari penasihatnya, Syekh Ahmad al-Ansari asal Jeddah, Arab Saudi.
Bagi sebagian ulama, menggunakan sorban dianggap sunnah, dengan kata lain kita akan meraih pahala jika menggunakannya dengan niat mengikuti sunnah Rasulullah, tetapi bagi sebagian yang lain hanya sebatas mubah. Jika di antara kita ada yang ikut pendapat bahwa itu sunnah, ya sudah, tidak perlu memaksakan pendapat kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Soal dalil sorban, saya tidak memiliki kompetensi untuk membahasnya. Tetapi soal sorban yang dipakai untuk perang, saya tahu walau hanya sedikit tentangnya. Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam mengenakan sorban kuning dalam Perang Badr. Jika memang menggunakan sorban dalam perang adalah sebuah kesalahan, seharusnya nabi atau sahabat yang lain ada yang menegurnya, tetapi tidak pernah ada penjelasan demikian. Lagipula, di luar dunia Islam juga sudah ada yang menggunakan sorban sebagai pakaian perang. Mungkin sebagian dari kita ada yang familiar dengan “Pemberontakan Sorban Kuning” yang terjadi sekitar abad ke-2 Masehi yang dipimpin oleh tiga bersaudara Zhang Jiao, Zhang Liang, dan Zhang Bao. Mereka memberontak kepada Dinasti Han, dimana saat itu keadaan Dinasti Han memang sedang lemah-lemahnya, meskipun akhirnya berhasil diberantas juga.
Kita juga mengenal syimagh dan ghuthrah yang sering dipakai orang-orang Arab. Syimagh adalah kain putih yang biasanya digunakan di atas peci, ghuthrah juga sama dengan syimagh, hanya saja ia bercorak-corak merah. Kain ini sering digunakan untuk menutup wajah para pejuang perang Hamas ketika berperang. Tentunya, jika hal ini menghambat produktivitas para prajurit, pasti sudah ditinggalkan. Tetapi buktinya mereka justru lebih nyaman jika menggunakannya, karena wajah mereka tidak terlihat yang membantu mereka terhindar dari ‘ujub dan riya’.
Dengan tulisan ini, saya hanya berharap dakwah kita dan utamanya dakwah para da’i yang budiman haruslah lebih tepo seliro, dan sebagaimana kaidah dakwah kita, jangan berbicara hal-hal yang kita tidak punya ilmu terhadapnya. Cukuplah bicara pada hal-hal yang kita dalami ilmunya. Toh kita berdakwah ini menyampaikan agama agar yang haq itu tegak dan yang batil itu musnah, bukan untuk merekrut sebanyak mungkin pengikut. Perdebatan-perdebatan yang ada, hedaklah dihindari, atau diredakan sengan hati yang rendah serta kepala yang dingin. Hindari pula membicarakan hal-hal yang kita tidak punya ilmu mendalam terhadapnya, demi terciptanya kedamaian dan suasanya yang teduh.
Wali Songo yang terkenal sangat berjasa itu pun tidak selalu luput dari perdebatan. Sunan Kudus yang cukup keras beragama, acapkali tidak sepakat dengan segala gagasan dan praktik dakwah milik Sunan Kalijaga. Tetapi mereka tetap bisa menghasilkan dakwah yang produktif untuk membumikan Islam di Nusantara. Maka, soal sejarah bangsa, hingga kepada soal qurban dan sorban, hendaknya tidak menjadikan kita berpecah kembali. Zaman kita memang berbeda dengan zaman para wali, maka pemurnian ajaran Islam harus lebih galak ketimbang masa lalu. Namun, orang Indonesia tetaplah orang Indonesia dari dulu hingga sekarang. Dengan segala kemajemukannya, inovasi dakwah yang makin beragam adalah hal niscaya. Maka jauhilah lisan kita dari hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan umat. Tetapi dekatkanlah telinga kita kepada segala penjelasan saudara kita, sehingga hilanglah segala prasangka buruk.

Monday, 31 July 2017

Bangsa Ashabul Kahfi?

Kisah Ashabul Kahfi bukanlah kisah yang asing di telinga umat Islam. Kisah ini termasuk kisah yang populer dan beberapa orang mungkin sudah mendengarnya sejak masa kanak-kanak. Bahkan seharusnya kisah ini sudah sangat dihafal oleh umat Islam hingga hikmah-hikmahnya, karena disunnahkan untuk membacanya setiap Jumat. Dan kisah Ashabul Kahfi ini terletak di tempat yang sangat strategis, yakni di awal-awal surah al-Kahfi.
            Kisah itu begitu menggugah, karena walau bagaimanapun, mereka lari bukan sekadar lari. Tetapi lari dari kejaran tentara raja zalim yang memaksa mereka menggadaikan keimanan mereka. Jumlah mereka hanya enam orang, kemudian di jalan bertemu dengan orang yang satu ideologi dan satu tujuan, jadilah jumlah mereka menjadi tujuh ditambah dengan satu anjing. Apa yang mereka lakukan memang benar-benar hal yang sudah di ambang putus asa. Mereka lari, kemudian masuk ke gua. Padahal, secara logika, mudah saja balatentara itu menemukan mereka di dalam gua. Namun, pada kenyataannya mereka selamat dari kejaran balatentara tersebut. Mereka tertidur lelap di dalam gua, dibersamai dengan seekor anjing. Setelah 309 tahun, mereka terbangun, merasa baru melewatkan sehari atau setengah hari. Tetapi apa yang mereka dapatkan ketika salah satunya keluar gua sangat mengagetkan. Ternyata zaman dan kondisinya sudah berubah total. Raja yang dulu bernafsu sekali menzalimi mereka, kini sudah berganti dengan raja yang adil dan beriman.
            Saya membayangkan, bangsa di negeri yang kita cintai ini, di zaman sekarang adalah bangsa Ashabul Kahfi. Tetapi bukan tindakan revolusionernya yang ingin saya sorot secara tajam, melainkan tidurnya yang panjang sekali. Jumat lalu, tepat pada tanggal 28 Juli 2017, saya shalat Jumat di Masjid Jogokariyan. Memang disengaja shalat di sana, karena setelah shalat Jumat akan diadakan tabligh akbar untuk menggalang dukungan pembebasan al-Aqsha. Tanpa saya nyana sebelumnya, ternyata khatib Jumat waktu itu adalah Ustadz Irfan S. Awwas, seorang mubaligh yang terkenal keras dan tegas dalam menyampaikan kebenaran agama Islam. Pada saat itu saya senang sekali, sebab selain isi khutbah yang pasti berbobot, juga penyampaiannya yang berapi-api tentu saja membuat saya jauh dari hantu Jumatan yang selalu hinggap di mata saya. Hantu itu lebih dikenal dengan sebutan ‘ngantuk’.
            Singkatnya, Ustadz Irfan menyampaikan tentang kesempurnaan Islam sekaligus menyinggung masalah keumatan, terutama masalah al-Aqsha yang hingga saat ini masih diblokir oleh Israel. Berkali-kali Ustadz Irfan berkata “Umat Islam ini masih tidur panjang”, yang walau kalimat seperti itu sudah akrab sekali di telinga saya, tetapi entah mengapa pikiran saya langsung terbang kepada kisah Ashabul Kahfi. Padahal jelas berbeda antara tidurnya Ashabul Kahfi dengan ‘tidur’nya umat Islam saat ini. Tidurnya Ashabul Kahfi jelas tidur yang amat berkualitas, karena tidurnya memang ditakdirkan Allah untuk menjauh dari rezim zalim. Tapi tidurnya umat Islam di negeri ini? Ashabul Kahfi minoritas, sedangkan bangsa ini mayoritas umat Islam. Ashabul Kahfi tak kuasa melawan rezim, tetapi umat sekarang?
            Jadi, sebetulnya tulisan ini memang sengaja saya buat singkat. Kita jelas menang jumlah, kita jelas masih memiliki ‘alim ‘ulama, kita jelas punya banyak saudara yang sejatinya mampu membantu. Namun, apa yang membuat kita tidak bisa bergerak bangkit, melawan, dan memenangkan pertempuran. Saya teringat dengan tulisan-tulisan Syaikh Syakib Arsalan yang kemudian dibukukan berjudul Limaadzaa Ta’akhkharal Muslimuun wa Limaadzaa Taqaddama Ghayruhum. Tulisan itu secara jelas mengungkapkan mengapa umat Islam tertinggal dari umat lainnya, dan sangat relevan tulisan-tulisan itu dengan kondisi saat ini. Tetapi masalahnya, tulisan itu dibuat hampir seabad yang lalu. Saat teknologi tidak secanggih dan semelenakan seperti sekarang.

            Berapa lama lagi kita masih akan tidur? Apakah juga selama dan selelap Ashabul Kahfi yang mencapai tiga abad lamanya. Saya yakin tidak, tetapi sampai kapan?

Tuesday, 27 June 2017

Setelah Menang, Lalu Apa?

Pernah menonton sepak bola? Apa yang terjadi setelah seorang pemain sepak bola mencetak gol? Atau pernahkah menonton Moto GP, Formula 1, dan sejenisnya? Apa yang terjadi ketika seorang pebalap berhasil naik podium setelah ajang balap usai? Atau pernahkah membaca sejarah tentang kisah-kisah perang zaman dahulu? Apa yang terjadi ketika sebuah pasukan –kerajaan Mongol misalnya- meraih kemenangan atas pasukan lain?
            Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas –sekalipun Anda belum pernah menonton atau membacanya- relatif senada. Bergembira, berpesta-pora, bahkan ada yang mengekspresikan kegembiraannya secara berlebihan hingga mencelakai diri sendiri. Kemenangan adalah sebuah keadaan dimana kita memperoleh hasil yang lebih baik daripada yang diperoleh orang lain atau pesaing kita. Oleh sebab itu, banyak sekali orang yang terlena ketika meraih kemenangan.
            Mental adalah satu elemen terpenting dalam menjalani persaingan. Seorang yang bermental pemenang bukanlah mereka yang selalu meraih kemenangan di setiap perombaan, tetapi seorang bermental pemenang adalah mereka yang siap menerima apapun hasilnya, kalah maupun menang dalam setiap persaingan yang dilakoninya. Maka jangan heran bila kita melihat mereka yang mengalami kekalahan langsung meluap emosinya dengan melampiaskannya kepada lingkungan sekitarnya. Bahkan hingga melukai orang lain. Rasanya telah sangat akrab di negeri kita, ketika ada sekelopok suporter tim sepakbola yang mengalami kekalahan lantas membuat kerusuhan setelah pertandingan baik di dalam stadion maupun di luar stadion. Ada pula calon anggota dewan yang mengalami stres dan sakit jiwa tatkala mendapati dirinya gagal menjadi anggota dewan, padahal sudah jor-joran mengeluarkan dana untuk kampanye. Ada juga yang lebih parah, siswa sebuah sekolah diberitakan bunuh diri karena tidak lulus Ujian Nasional! Begitulah yang terjadi apabila mereka tidak memiliki mental pemenang dalam jiwanya. Na’udzubillah min dzalik.
            Pasukan perang Mongol berpesta pora setiap selesai mengalami kemenangan. Sejak zaman keemasan yang dimotori oleh Genghis Khan, hingga kepemimpinan Raja Mongol yang muslim semodel Timur Leng sekalipun, tetap saja budaya itu tidak berubah. Kendatipun hal seperti ini menjadi hal lumrah bagi siapapun yang menang, namun Islam mengajarkan kerendahhatian bagi mereka yang menang.
            Tidak banyak yang tahu bahwasanya Allah mengajarkan hamba-Nya tentang adab menyikapi kemenangan yang diraih. Dalam surah An-Nashr, Allah mengajarkan para hamba-Nya untuk senatiasa mawas diri, sekalipun kita mengalami kemenangan yang besar. Meskipun mayoritas umat Islam sudah menghapal dengan baik surah Madaniyyah (turun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah) ini, namun nyatanya mayoritas pula yang tidak memahami makna dari surah yang hanya berisi tiga ayat ini.
            Surah An-Nashr adalah surah terakhir dalam Al-Qur’an yang turun secara keseluruhan. Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata: Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang turun secara keseluruhan?" Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”. (HR. Muslim).
            Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, tentang keadaan saat diturunkannya surah ini, apakah turun sebelum atau setelah terjadinya peristiwa fathu makkah (penaklukkan Kota Mekkah). Terlepas dari itu semua, kita dapat membuat sebuah kesimpulan, bahwa surah An-Nashr diturunkan berkaitan dengan peristiwa penaklukkan Kota Mekkah. Yaitu pertolongan Allah kepada kaum muslimin untuk merebut dan mengislamkan Kota Mekkah dari tangan kaum kafir Quraisy. Ibnu Katsir dalam tafsirnya pun menyatakan bahwa kata fathu pada akhir ayat pertama merujuk kepada peristiwa Fathu Makkah.
            Serangkaian firman Allah dalam surah ini memaparkan banyak makna. Di antaranya adalah banyaknya nikmat serta pertolongan yang Allah turunkan kepada para hamba-Nya, wajibnya seorang hamba bersyukur manakala meraih kemenangan dan kebahagiaan, dan kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa beristighfar (meminta ampun) dan bertobat. Hari ini hingga beberapa hari ke depan masih kental dengan nuansa Idul Fitri, yang bagi sebagian orang benar-benar dimaknai sebagai hari kemenangan, tetapi bagi sebagian orang yang hanya sebatas diucap di lisan saja.
            Betapa banyak yang betul-betul menang setelah Ramadhan mereka yang tak disia-siakan, betapa banyak yang betul-betul menang atas berkualitasnya tadarus mereka, betapa banyak yang betul-betul menang atas berkualitasnya waktu yang mereka bagi-bagi untuk keluarga, untuk ibadah, hingga untuk memenuhi hak atas saudaranya, bahkan betapa banyak yang betul-betul menang dalam mudik-mudik mereka, dalam bermedsos ria mereka, dalam senda gurau mereka. Sebaliknya, betapa banyak yang menyia-nyiakan Ramadhan mereka, betapa banyak yang kejar target tilawah namun hasilnya hanya khatam tanpa ada pemahaman dan kesadaran yang baru, betapa banyak yang mudik, bermedsos ria, dan senda gurau mereka justru menghasilkan maksiat yang lebih besar, alih-alih ibadah yang lebih besar.
            Fasabbih, maka bertasbihlah kepada Allah di hari kemenangan kita. Bertasbih di waktu pagi dan petang. Bertasbih untuk menyucikan-Nya dari penuhanan kita kepada Ramadhan, penuhanan kita kepada selain-Nya. Bertasbih untuk mengingat kesucian-Nya yang telah memberikan kita kemuliaan dan kesucian Ramadhan, hingga kita diberikan kesempatan menapaki garis finish di ‘Idul Fitri.
            Bihamdi rabbika, dengan pujian kepada-Nya, kita bersyukur atas kesempatan melipatgandakan amalan kita di Bulan Ramadhan. Kita bersyukur atas ampunan-Nya atas dosa-dosa kecil kita yang telah lampau. Kita bersyukur atas dibelenggunya setan-setan dan neraka yang ditutup hingga kita tidak merasakan godaan dan hawa panasnya neraka. Kita bersyukur dengan adanya momen Ramadhan dan Syawal, bisa kembali berkumpul bersama keluarga dan kerabat, yang mungkin saja di bulan-bulan yang lain tidak sempat bersemuka sama sekali.
            Wastaghfirhu, maka senantiasalah meminta ampunan kepada-Nya setelah mendapat kemenangan. Tiada satupun pihak yang dapat memberikan kita kemenangan selain Dia. Tiada satupun kemenangan yang mendatangkan berkah kecuali karunia dari-Nya. Sebab meminta ampun adalah tindakan tahu diri bagi kita yang senantiasa bermaksiat, namun masih selalu diberikan kebahagiaan oleh-Nya. Sebab meminta ampun adalah perbuatan terpuji yang membuat kita tidak melampaui batas dalam merayakan kemenangan. Sebab meminta ampun adalah perbuatan para nabi, sekalipun mereka sudah memegang jaminan ampunan dari Rabb yang mengutus mereka.

            Setelah kemenangan yang kita terima, marilah kita menang dalam mudik-mudik kita, kemenangan dalam swafoto-swafoto kita, kemenangan dalam sungkem-sungkem kita, kemenangan dalam kenikmatan ketupat serta opor-opor kita, dengan iringan tasbih, tahmid, dan istighfar kita.

Sunday, 14 May 2017

Katakanlah Tidak Tahu!

Jika saya bertanya, lebih baik mana antara menjadi orang yang tidak tahu ataukah orang yang sok tahu? Pasti jawaban normatifnya lebih baik tidak tahu. Karena jika kita menjadi orang yang sok tahu maka dampaknya akan menjerumuskan orang ke arah yang salah dan bla bla bla bla. Namun, pada kenyataan di lapangan, tidak jarang yang terjadi justru berlawanan dengan pertanyaan di atas. Tidak percaya?
            Misalnya begini, Anda sedang jatuh hati pada seseorang. Pastinya Anda ingin sekali terlihat baik dan sempurna di matanya, agar perasaan jatuh hati Anda tidak bertepuk sebelah tangan. Pada suatu hari, orang yang hati Anda jatuh padanya bertanya sesuatu kepada Anda, tetapi Anda belum punya pengetahuan yang jelas tentang apa yang ditanyakan tersebut. Apakah Anda yakin akan menjawab tidak tahu dengan polosnya? Belum tentu. Apalagi ditambah tersedianya kesempatan bagi Anda untuk membuka ponsel pintar lantas googling. Kemungkinannya sangat besar Anda akan menggunakan segenap kekuatan Anda untuk menjawab pertanyaan itu. Atau, misalnya, Anda adalah seorang narasumber, atau pembicara dalam sebuah forum. Kemudian ada orang yang bertanya, tak dinyana pertanyaan itu bagus sekali tetapi Anda tak sanggup menjawabnya. Apa yang akan Anda lakukan? Berkata tidak tahu –juga dengan cara yang polos? Rasa gengsi akan menjalar ke seluruh tubuh Anda, mengalir bersama darah Anda, terus memanjat hingga ubun-ubun, memberi kekuatan pada bibir Anda, dan meluncurlah kata-kata manis seakan-akan itulah jawabannya. Ternyata untuk berkata tidak tahu itu amat tidak mudah.
            Satu kisah lucu yang dituturkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani. Entah cerita ini  fakta atau fiksi, yang jelas Syaikh berpesan untuk ambil 'ibrahnya. Begini, di masa lalu, ada seorang yang dianggap mufti yang rutin memberikan ceramah. Suatu hari, dia berhalangan karena hendak safar, maka anaknya diminta menggantikan posisinya. Sadar anaknya tidak tahu apa-apa tentang ilmu syari’at, Sang Ayah berkata, “Aku akan beri satu petunjuk yang membuat engkau selamat sampai aku kembali”. Maksudnya petunjuk untuk mengisi ceramah. Si Anak menimpali, “Apa itu?”. Ayahnya menjawab, ”Nanti setiap ada yang bertanya padamu suatu masalah, tinggal katakan saja “Fil mas-alah qoulani” (Dalam masalah ini ada dua pendapat) tanpa perlu berpanjang lebar. Misalnya nanti ada orang datang bertanya: “Wahai Syaikh, seseorang sholat dzuhur kurang rakaatnya, apakah shalatnya batal atau tidak?” Jawab saja, “Ada dua pendapat dalam masalah ini”. Alihkan pembicaraan. Beres. Si anak paham dan ayahnya pun pergi. Kemudian datanglah orang-orang ke majelis dan setiap ada pertanyaan dijawab sebagaimana yang telah direncanakan, tanpa malu dijawab dengan jawaban singkat tersebut.
Kemudian di antara mereka ada seorang yang cerdas, mengetahui bahwa anak dari syaikh ini bodoh, dia pun khawatir kebodohannya ini akan menyesatkan jamaah yang hadir. Kemudian dia suruh seseorang di sebelahnya untuk bertanya: “A fillah syakkun?” (Apakah ada keraguan kepada Allah?) dijawab pula sebagaimana biasa, kemudian majelis pun tertawa karena mengetahui ternyata anak si syaikh ini bodoh. Ini kisah mungkin lucu, tetapi tujuan Syaikh Nashiruddin al-Albani bukan sebagai lelucon, melainkan agar menjadi pelarajan bagi sesiapa yang sok tahu dan gengsi untuk sekadar berakta tidak tahu.
Bagi saya tidak penting kisah yang dituturkan itu benar adanya atau tidak, karena yang lebih penting adalah pelajaran bagaimana kita bisa mengelola diri agar tidak sok tahu di depan orang. Hanya karena ingin dipuji dan didamba, kemudian menjawab seenaknya sendiri seolah menguasai materi yang ditanyakan. ‘Umar bin Khaththab pernah mengatakan bahwa ada tiga tingkatan orang yang menuntut ilmu. Apabila seseorang sudah menapaki tingkat pertama, maka dia menjadi tinggi hati, atau bahasa syar’i-nya takabbur. Jika dia menapaki tahap kedua, dia akan mulai rendah hati atau tawadhu’. Kemudian jika dia berhasil menapaki tahap ketiga, maka dia akan merasa bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Berarti jelas bahwa orang yang sok tahu hanya baru menapaki jenjang yang pertama.
Nabi Musa alayhissalam mendapat teguran secara tidak langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala. Manakala dirinya ditanya oleh salah seorang dari kaumnya tentang siapa orang paling pintar di dunia ini, Musa menjawab, “sayalah yang paling pintar,” kemudian Allah memerintahkannya untuk mengembara mencari orang yang lebih berilmu darinya. Dengan berbekal makanan dan kawan bepergian yang bernama Yusya’ bin Nun, Musa harus menemukan orang itu yang berada di pertemuan antara dua laut. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Khidhr ‘alayhissalam. Kisah mereka dapat disimak saksama dalam al-Qur’an Surah al-Kahfi. Akhir dari kisah tersebut menyebutkan bahwa Musa harus menyesal karena tidak sabar mengais ilmu dari Khidhr, maka sadarlah dirinya bahwa masih ada orang yang lebih berilmu ketimbang dirinya. “dan di atas tiap orang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.”[1]
Sangat naif bagi kita menjadi orang yang merasa tahu padahal tidak tahu. Padahal Allah hanya memberikan ilmu yang sedikit kepada kita. “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan hanya sedikit.”[2] Maka gengsi itu harus dihilangkan. Karena menjadi orang yang tidak tahu jauh lebih aman ketimbang menjadi orang yang sok tahu, menjawab di luar pemahaman kita, kemudian menjerumuskan orang lain ke dalam kesesatan. Salah-salah, kita bisa saja mendapatkan dosa jariyah, yakni dosa yang terus-menerus kita dapatkan hanya karena ajaran kita yang salah dilakukan oleh orang-orang yang ada di generasi setelah kita.
Islam adalah agama yang sempurna, yang dapat memberikan solusi bagi segala permasalahan. Maka, untuk menghindari sifat sok tahu dalam diri manusia, Allah memerintahkan kita untuk bertanya kepada orang yang lebih berilmu. “Maka bertanyalah kepada yang memiliki ilmu, jika kalian tidak mengetahui.”[3]



[1] QS. Yusuf (12): 76.
[2] QS. Al-Israa (17): 85.
[3] QS. Al-Anbiya (21): 7.

Sunday, 30 April 2017

Film Surau dan Silek: Perwajahan Adat Berbalut Syari’at

Shalat, shalawat, dan silat. Tiga hal tersebut bukan hanya menjadi topik pembicaraan utama dalam film Surau dan Silek, tetapi juga topik utama bagi siapapun yang ingin mempelajari ilmu bela diri. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki seni bela diri khas Nusantara, yakni silat atau pencak silat. Istilah ‘pencak’ lebih merujuk kepada seni, sedangkan silat merujuk pada inti bela diri itu sendiri. Walau seni bela diri ini juga dikenal di negeri-negeri Jiran seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, juga Thailand. Silat, di Indonesia memiliki beragam jenis yang memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Silat sering sekali –bahkan hampir semua- memiliki ritual khusus. Tidak jarang ritual-ritual tersebut yang tersentuh ilmu hitam. Biasanya ritual-ritual yang ada –tidak terkecuali yang bernuansa ilmu hitam- diperlukan untuk menguatkan tenaga dalam dan memfokuskan diri agar memiliki keluwesan dalam bergerak. Silat di Nusantara memang terbentuk dari budaya orang-orang yang ingin memiliki kemampuan mempertahankan diri dengan menirukan gaya-gaya hewan di sekitarnya seperi kera, harimau, ataupun ular, meskipun tidak pernah diketahui secara pasti asal-muasal dan asal-mulanya. Namun, demikian halnya dengan tarian Nusantara, seni bela diri silat selalu kental dengan nuansa budaya dan spiritualitas.
            Kita mengenal Cimande dan Cikalong di wilayah Jawa Barat, Merpati Putih yang lahir di Jawa Tengah, di Jawa Timur lahir Perisai Diri. Bahkan ormas besar seperti  Muhammadiyah juga memiliki perguruan silat sendiri yang cukup mendunia, yakni Tapak Suci. Daerah lain di Nusantara memiliki silat sendiri dengan istilah yang berbeda-beda. Sebut saja di Tanah Minangkabau, terdapat pula silat yang lidah lokal di sana menyebutnya dengan ‘silek’. Minang, dengan segala kesahajaannya, memiliki prinsip Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah’. Para leluhur Minang adalah orang yang taat beribadah, kuat beragama, juga mampu mempertahankan diri mereka dari serangan orang-orang jahat. Maka sungguh, mereka hanya ingin menerapkan adat di Minang yang bernafaskan syariat Islam nan berdasar al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka semangat syariat Islam ini haruslah terus hidup dalam laku perbuatan Urang Awak, tidak terkecuali dalam Silek mereka. Shalat sebagai tiang agama, menjaga perilaku orang-orang Minang agar tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar. Mereka bershalawat sebagai perwujudan kecintaan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, dan mereka ber-silek untuk mempertahankan diri, sebagai perwujudan mukmin yang kuat harus menjaga izzah serta iffah­ diri dan agamanya.
            Shalat, shalawat, dan silek; ungkapan itu meluncur tegas dari lisan Gaek Djohar dalam film Surau dan Silek ketika dirinya diminta untuk mengajari silek kepada tiga anak SD bernama Adil, Dayat, dan Kurip. Motif mereka memang untuk memenangkan lomba, terlebih Adil yang menanam dendam karena dicurangi oleh rivalnya, Hardi, di kompetisi sebelumnya. Layaknya anak-anak seusia mereka, motif untuk belajar silek tentulah tidak seideologis seperti apa yang diinginkan oleh Kakek Djohar. Hal itu pula yang membuat Djohar menolak ketika kembali ditawarkan untuk mengajarkan silek. Namun, dengan dorongan sang istri, juga kesadaran hatinya sebagai ex-pendekar di kampung halamannya, Djohar berubah pikiran dan menyambut gayung yang sudah mampir di hadapannya. Bagi Djohar, seyogianya dirinya mengajari kepada anak-anak itu bersilek dengan segala keutamaan dan filosofinya. Maka hal pertama yang ditanyakan sebelum dirinya mengajar silek kepada anak-anak tersebut adalah, “Bagaimana shalat kalian?”
            Tanpa saya harus memberikan bocoran –walau sebenarnya ini sudah sangat spoiler- dalam tulisan ini tentang filmnya, saya hanya memberikan imbauan kepada masyarakat Indonesia untuk menonton film ini. Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya dan bahasa, tetapi kita semua tahu, film bernuansa kedaerahan di negeri ini seringkali ‘gagal manggung’ kecuali di tanah mereka sendiri. Terakhir, ada film Uang Panai’ yang bisa sintas di bioskop-bioskop Indonesia, walau kenyataannya hal itu amat dipengaruhi dengan penyebaran orang Bugis yang sangat besar di kota-kota seperti Balikpapan, Samarinda, Jayapura, dan tentu saja Makassar. Layar-layar Uang Panai’ di kota lain begitu cepat hilang tanpa bekas. Mengangkat kebudayaan lokal ke layar lebar memang bukan pekerjaan yang mudah. Para pelaku film haruslah jeli melihat kebutuhan dan keinginan pasar, sehingga tercipta cerita, skenario, tema besar, hingga judul yang menarik minat para penonton bioskop Indonesia.
            Film Surau dan Silek dengan biaya yang relatif sedikit, hampir tanpa bintang, juga dengan keterbatasan lain, berkat arahan sutradara Arif Malinmudo, mampu menyajikan tontonan apik dan juga menghibur. Sekalipun sebagian besar dialognya berbahasa Minang –tentu disertai dengan terjemahan- tidak menghalangi penonton yang tertawa terpingkal-pingkal, terkhusus melihat tingkah Dayat yang tetap percaya diri bahwa dirinya bisa mendapatkan Rani. “Dasar bocah!”, mungkin menjadi trending topic melihat tingkah laku Adil, Dayat, dan Kurip ketika menontonnya. Dengan dibalut keindahan alam Sumatera Barat, terutama Bukittingi yang menyegarkan pandangan, membuat sorotan kamera terasa sangkil, meski jika diperhatikan ada beberapa scene yang terlihat pecah dan kurang pencahayaan. Konsentrasi penonton tentu terpecah oleh keindahan alam yang berkali-kali ditampilkan dalam film ini, ketimbang berusaha meneliti dimana letak kekurangan sorotan kamera dan audio yang didengungkan.

            Saya berharap sekali, para sineas Indonesia tergerak untuk terus mengangkat keunikan budaya Indonesia lewat film. Surau dan Silek adalah film bernuansa filosofis keluhuran budaya Minang yang membentuk masyarakatnya menjadi pribadi yang religius, juga tangguh membela diri, bangsa, dan agamanya. Kita mengenal Tuanku Imam Bonjol, M. Natsir, H. Agus Salim, hingga Buya Hamka adalah sebagian dari sederet pejuang tangguh yang dilahirkan oleh Tanah Minang. Tentu saja ini adalah hasil penempaan dari budaya khas Minang, sebagaimana yang dituturkan lewat film Surau dan Silek, “Lahia mancari kawan, batin mancari Tuhan”. Ya, itulah hakikat hidup. Secara lahiriah, kita selalu mencari kawan. Karena memiliki satu lawan terasa terlalu banyak, dan memiliki seribu kawan terasa terlalu sedikit. Sedang batin kita selalu mencari Tuhan, agar tindak-tanduk kita memancarkan aura positif kepada lingkungan sekitar. Maka jelaslah bahwa film Surau dan Silek bukan dikhususkan untuk orang Minang saja, namun juga untuk segenap masyarakat Indonesia yang menginginkan tontonan yang bukan hanya sekadar menjadi tontontan, tetapi juga menjadi tuntunan.

Friday, 10 March 2017

Memang Kafir, Memang Sesat, Memang Munafik; Anda Keberatan?

Beberapa tulisan terakhir saya di sini, semuanya menyinggung hal-hal yang berkenaan dengan Basuki Tjahaja Purnama. Saya pun sebenarnya enggan untuk terus-menerus membahas orang tersebut. Namun, sepertinya saya lebih tertarik untuk bersikap lebih bersahabat. Saya lebih memilih untuk mengucapkan terimakasih kepadanya. Karena setidaknya Pak Basuki telah memberikan inspirasi kepada saya untuk tetap menulis di situs pribadi ini –setidaknya- sebulan sekali.
            Pembicaraan kali ini rasanya sudah pernah saya singgung sekitar satu tahun yang lalu, juga di situs ini. Saya pernah membahas soal kafir, siapa itu kafir, dan konsekuensi orang yang memilih kafir setelah pernah beriman sebelumnya.  Tentunya bukan tanpa sebab saya mengangkat bahasan ini, walau sejujurnya saya yakin bahasan ini adalah bahasan yang biasa –untuk tidak dikatakan usang-. Kita tak bisa memungkiri, bahwa ada sebagian kelompok manusia di negara ini yang sangat alergi dengan kata ‘kafir’, ‘sesat’, dan juga ‘munafik’; entah apa alasannya. Apalagi ketiga kata itu makin santer dibicarakan belakangan ini. Ya, apa lagi penyebabnya selain soal pilkada DKI Jakarta, soal memilih pemimpin yang seiman bagi umat Islam.
            Berawal dari video Basuki Tjahaja Purnama yang sedang berbicara di hadapan khalayak Kepulauan Seribu dengan membahas “jangan mau dibohongin pake Al-Maidah 51”, sontak publik ramai membicarakan soal surah Al-Maidah ayat 51. Padahal, sebelum kasus ini muncul, banyak –bahkan sangat banyak- muslim di Indonesia yang tidak mengetahui makna dari ayat tersebut, bahkan tidak tahu apa isi dari ayat tersebut. Tujuan Pak Basuki ini jelas, bahwa siapapun warga DKI Jakarta yang ingin memilih gubernur pada saat pilkada, jangan terpengaruh oleh omongan orang lain, tetapi pilihlah pasangan calon yang sesuai dengan kehendak hati nurani. Namun, apa mau dikata, Pak Basuki sudah terkenal memiliki mulut yang kerap tidak terkontrol, hingga akhirnya publik tidak percaya bahwa dia tidak sengaja mengucapkan kalimat tersebut.
            Kemudian hari-hari berikutnya, muncullah beberapa aksi menuntut agar keadilan ditegakkan, berharap sanksi yang jelas dan tegas bagi si penista agama. Momen ini disinyalir oleh beberapa pihak sarat dengan muatan politis, karena hanya beberapa bulan jaraknya dengan pilkada. Belum lagi banyak ulama yang menghimbau untuk tidak memilih pemimpin non-muslim. Di pihak lain, seperti mendapat angin segar, adanya kasus penistaan agama memberikan opsi lain bagi para islamis untuk tidak memilih Pak Basuki. Karena status terdakwa yang disandangnya, maka tidaklah pantas bagi Pak Basuki untuk dipilih sebagai pemimpin. Tidak cukup sampai di sana, kemudian bermunculan pula kajian-kajian dan sebaran-sebaran tentang dalil-dalil tidak diperbolehkannya memilih pemimpin muslim. Atas beberapa hal tersebut, yang terjadi kemudian adalah ramainya pembicaraan soal muslim atau kafir.
            Setiap muslim diajarkan oleh ajaran agamanya sendiri untuk tegas dalam bersikap dan berprilaku. Termasuk soal pelabelan terhadap orang lain. Seorang muslim harus tegas menyatakan orang lain kafir. Apapun alasannya, setiap orang yang sudah memenuhi syarat kekafiran, dia harus dikatakan kafir. Syarat mutlak seseorang disebut kafir adalah apabila dia tidak bersyahadat. Itu syarat mutlak yang disepekati oleh semua ulama. Saya rasa bukan hanya muslim yang demikian, umat agama lain juga diajarkan berlaku tegas dalam aqidah mereka. Kalau tidak, untuk apa beragama?
            Kafir hanyalah status. Lalu mengapa dipermasalahkan? Saya tidak pernah marah jika ada seorang Nasrani yang menyebut saya ‘domba tersesat’. Orang Yahudi menyebut orang selain mereka dengan sebutan Ghoyim. Penyebutan tersebut ada untuk pembeda. Orang Hindu mungkin tidak punya penyebutan khusus bagi orang selain Hindu, tetapi mereka punya kasta. Lagi-lagi untuk mengkategorisasikan manusia yang ada dalam kehidupan mereka.
            Hal yang lucu ketika banyak muslim yang justru protes kepada muslim lain yang menggunakan sebutan kafir kepada orang non-muslim. Lho, ini orang kenapa? Haruskah begitu demi dicap toleran? Naif sekali. Untuk apa al-Qur’an menjelaskan ciri-ciri orang kafir dengan begitu gamblang jika umat Islam tidak boleh tegas dalam pengimplementasiannya? Apakah jika saya menyebut orang Budha sebagai kafir lantas saya membenci dan akan membunuh orang itu? Ah, Anda terlalu banyak diracuni media mainstream. Lagipula dalam Islam diajarkan agar berbuat adil meskipun kita dalam keadaan membenci.
            Beralih ke kata lain selain kata ‘kafir’. Kita seringkali menemukan orang muslim yang alergi dengan kata ‘sesat’. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku muslim, paham soal Islam, paham fiqh madzhab ini dan madzhab itu, tetapi alergi dengan kata sesat, meskipun kata tersebut dinisbatkan kepada orang atau golongan yang nyata-nyata kesesatannya? Begini, dalam surah al-Fatihah ayat terakhir, ada kata ‘dhaalliin’ yang artinya orang-orang sesat. Dalam ayat tersebut kita memohon petunjuk kepada Allah, agar tidak ikut menapaki jalan orang yang dimurkai dan orang yang tersesat. Surah al-Fatihah adalah surah yang wajib dibaca dan menjadi rukun dalam shalat. Artinya, tanpa membacanya maka shalat kita tidak sah. Dalam satu hari saja setidaknya kita membaca surah al-Fatihah sebanyak tujuh belas kali. Artinya kita menyebut kata ‘sesat’ dan menilai sesat segolongan manusia hingga tujuh belas kali dalam sehari. Ini belum ditambah lagi jika kita melaksanakan shalat-shalat sunnah, artinya dalam sehari saja kita dapat menyebut kata sesat lebih dari dua puluh kali secara sadar –jika tidak sadar, maka Anda kewajiban shalat atas Anda menjadi gugur. Lantas, mengapa ada orang yang mengaku muslim, mengaku menjalankan shalat lima waktu, tetapi masih ragu untuk menyebut sesat seseorang atau sebuah golongan yang jelas-jelas kesesatannya? Bila memang pakaian kita bau, maka katakanlah pakaian kita bau. Apakah harus kita katakan, “Pakaian ini bukan bau. Hanya karena pakaian ini sering dipakai, dan belum sempat diberi pewangi, maka aromanya jadi begini.”? Kalau memang bau, katakanlah bau. Kalau memang salah katakanlah salah. Kalau memang jelas sesat, maka katakanlah sesat.
            Soal pelabelan kafir dan sesat ini, erat kaitannya dengan status munafik. Saya akan sajikan sebuah ayat yang saya yakin sebagian besar pembaca pernah membaca, mendengar, bahkan mengetahui arti dan maknanya. “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta merka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesunguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Neraka Jahannam.” [1] Sangat jelas pembahasan dalam ayat ini. Hebatnya lagi, ayat ini sangat cocok dengan momen yang terjadi belakangan ini. Atau kurang jelas? Baiklah, saya perjelas; bahwa siapapun muslim jika mendukung orang kafir, dimana orang kafir tersebut telah mengolok-olok ayat al-Qur’an (padahal dia tidak paham), atau menggunakannya sebagai alat propaganda, maka orang itu sama juga dengan si pengolok-olok. Dengan kata lain, orang muslim tersebut masuk dalam kategori munafik. Anda masih ingin mencari tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini tidaklah bermakna secara harfiah? Nah, selamat. Anda masuk golongan yang disebut dalam ayat tersebut.
            Saya bukan merasa orang yang paling bersih dari kemunafikan. Tidak. Bahkan manusia sekaliber ‘Umar bin Khaththab saja takut kalau-kalau dirinya termasuk dalam golongan orang-orang munafik. Apalagi saya yang mungkin hanya sebutir air di lautan luas jika dibandingkan dengan khalifah kedua sepanjang sejarah Daulah Islam tersebut. Dengan ketakutan itulah maka saya ingin sekali untuk menaati al-Qur’an yang telah mengajarkan saya berbagai hal; baik yang berat maupun yang ringan, baik yang jelas maupun yang samar-samar, baik yang mudah dipahami maupun yang sukar dipahami. Janji Allah jelas bagi generasi muslim yang tidak tegas alias mencla-mencle, yakni menggantinya dengan generasi muslim yang tegas, mereka keras terhadap orang kafir, dan lemah lembut terhadap sesama muslim.[2]
            Katakanlah yang benar meskipun itu pahit. Layaknya obat, mungkin pahit, namun dapat menyembuhkan penyakit yang diderita. Jika memang percaya al-Qur’an, maka taatilah apa yang termaktub di dalamnya. Ketegasan dalam bersikap, menandakan kekuatan iman seseorang. Jika memang kafir, ya katakanlah dia kafir. Jika memang sesat, ya katakanlah sesat. Jika memang munafik, katakan saja munafik. Anda muslim dan Anda keberatan? Mari cek hati sama-sama; jangan-jangan Anda –dan juga saya- termasuk dalam golongan yang disebut ketiga itu.




[1] An-Nisaa: 140
[2] Lihat al-Maidah:54

Wednesday, 15 February 2017

Sertifikasi Khatib, Kementerian Agama Islam, Kementerian Urusan Orang Lain

Tidak sedikit orang yang setuju –setidaknya saya pribadi- kalau di negeri kita ini terlalu banyak hal formalitas yang berbelit-belit terkesan dipersulit, bahkan terkesan mengada-ada belaka. Lihat bagaimana sekarang pembuatan kartu tanda penduduk yang tidak semudah dahulu. Benar, alasannya agar tertata rapi dan tidak ada lagi KTP ganda bagi satu orang. Tetapi kenyataan di lapangan? Coba saja Anda lakukan survei di lingkungan Anda sendiri; berapa banyak orang yang memiliki KTP lebih dari satu. Pelayanan publik lain juga banyak yang menggunakan aturan berbelit-belit. Transportasi publik belakangan ini mulai banyak menerapkan transaksi non-tunai. Harapannya agar mengurangi antrean dan penumpukan kendaraan atau penumpang. Namun apa yang terjadi di lapangan tidaklah berubah secara signifikan, belum lagi tambahan keluhan masyarakat Indonesia yang kebanyakan dari mereka malas mencoba hal-hal baru. Kasus yang sering saya temui di bidang transportasi publik ini paling sering terjadi di stasiun kereta api, yang sudah pasti dikelola oleh perusahaan milik negara yakni PT. KAI. Sistem yang digunakan sekarang untuk pelayanan kereta jarak jauh menggunakan boarding pass. Mirip pesawat. Penumpang tidak bisa lagi mencetak tiket jauh-jauh hari seperti sebelumnya, namun harus mencetak boarding pass tersebut di stasiun secara mandiri. Walhasil makin banyak penumpang yang ketinggalan kereta, dan penumpukan penumpang di stasiun pun tetap saja tidak pernah berkurang.
            Stigma negatif terhadap pelayanan pemerintah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat adalah, “kalau bisa lambat, kenapa harus dipercepat?” hingga kini pun pertumbuhan calo belum menemui kata berhenti, walau mungkin saja berkurang. Mungkin, karena saya memang tidak mencari data soal pertumbuhan calo.
            Belum lama ini santer diperbincangkan isu tentang sertifikasi. Lucunya ini bukan soal sertifikasi pejabat, wakil rakyat, ataupun pegawai pemerintahan yang semakin mendapatkan cap buruk dari masyarakat lapisan bawah. Sertifikasi ini direncanakan untuk diberlakukan terhadap para khatib, atau orang yang memberikan ceramah ketika shalat Jumat berlangsung. Keheranan masyarakat muslim semakin bertambah karena gagasan yang dituturkan langsung oleh Menteri Agama di media massa ini muncul tidak lama setelah seorang Basuki Tjahaja Purnama berstatus tersangka penistaan agama. Memang praktis setelah Basuki menjadi perbincangan di negeri ini soal kasus penistaan agama, keadaan negeri ini relatif berubah. Aparat kepolisian menjadi sangat preventif terhadap aksi-aksi umat Islam, ormas Islam –khususnya FPI- menjadi target pencekalan, hingga pemerintah yang semakin tidak berimbang dalam menetapkan kebijakan. Harus diakui Basuki ini memang hebat, seakan-akan ia seorang putera mahkota yang tidak boleh diganggu kemapanannya.
            Karena satu orang Basuki yang kebetulan hobi berpakaian kotak-kotak, terkotak-kotak pulalah negeri ini. Masyarakat pendukung pemerintah mayoritas mendukung Basuki. Sebaliknya, masyarakat yang kerap kontra dengan pemerintah lebih memilih kontra juga dengan Basuki. Kemudian kini sekonyong-konyong bermunculan (calon) tersangka-tersangka baru di republik ini. Hebatnya lagi mereka muncul dari kalangan yang kontra dengan Basuki. Habib Rizieq Shihab yang paling banyak mendapat gugatan, belakangan ini meyusul kawannya seperjuangan ‘Aksi Bela Islam’, Bachtiar Nasir. Belum lagi sosok-sosok yang diduga melakukan makar yang kemudian digelandang ke kantor polisi. Ini hanyalah kasus yang diada-adakan, negeri ini tiba-tiba menjadi negeri yang sangat peduli dengan kepribadian seseorang. Bagaimana mungkin sebuah tesis yang sudah dipublikasi sejak lama baru diusut sekarang sebagai karya ilmiah yang melanggar hukum? Apalagi sampai ada penyadapan percakapan whatsapp yang nyata-nyata itu melanggar hukum. Meskipun sangat terlihat sekali bahwa percakapan yang menjadi viral di media sosial itu hanyalah bukti palsu yang sangat mudah dibuat.
            Negeri ini seolah memiliki kementerian baru, yakni Kementerian Urusan Orang Lain. Individu-individu tersebut benar-benar dipantau secara intens dan dicari-cari kesalahannya. Lain lagi dengan yang terjadi pada Basuki. Pelecehannya terhadap ulama sekelas KH. Ma’ruf Amin sampai harus ‘diredakan’ seorang menteri yang sekalian membonceng Kapolda Metro Jaya. Ada hubungan apa antara menteri tersebut dengan Basuki?
            Kembali lagi kepada pembicaraan sertifikasi khatib. Gagasan Menteri Agama soal ini terbilang tidak masuk akal. Sebab bila memang harus ada hal semacam ini, seharusnya hal ini sudah dilakukan sejak lama. Namun, silakan Anda lakukan riset sendiri. Keadaan dikebirinya para ulama selama berjalannya pemerintahan Indonesia yang merdeka hanya terjadi pada masa-masa pemerintahan yang tidak stabil. Bila saya sebut itu terjadi pada zaman PKI, atau mungkin zaman Soeharto, mungkin banyak pihak yang langsung antipati dan menutup tulisan ini. Well, saya tidak menyebutkan secara spesifik kapan keadaan dikebirinya para ulama, sekali lagi saya utarakan, silakan Anda riset sendiri. Menag mengatakan di media bahwa seharusnya khatib tidak berceramah yang memunculkan banyak ujaran kebencian, sebaliknya seorang khatib harus mengutamakan pesan-pesan bertakwa kepada Allah dan beramal shalih. Lalu, apa sulitnya berceramah seperti itu? Bukankah justru ajakan untuk bertakwa dan beramal shalih itu sangat mudah, sehingga tidak perlu ada agenda buang-buang duit untuk sertifikasi khatib? Lantas bagaimana bila pada satu kesempatan seorang khatib yang seyogianya khutbah di salah satu masjid kemudian berhalangan hadir, dan di masjid tersebut tidak ada satu pun orang yang memiliki sertifikat khatib? Apakah shalah Jumat harus dibubarkan karena tidak ada khatib yang tersertifikasi?
            Saya pribadi bukannya tidak setuju bila memang harus ada standardisasi bagi para ulama, justru itu hal yang sangat baik sehingga tidak ada orang yang dengan mudahnya mengaku-ngaku sebagai ustadz kemudian menyampaikan pendapat seenak jidatnya. Namun kita semua tahu, soal formalitas seperti ini pasti sarat keputusan politis. Kita bersihkan dulu parlemen dari makelar Undang-undang, bersihkan dulu pemerintahan dari para mafia, barulah bicara soal standardisasi oleh pemerintah. Saya heran –seharusnya Anda pun demikian- MUI yang terdiri dari banyak ulama saja fatwanya sering dicibir oleh para liberalis dan sekularis, mengapa tidak dengan wacana sertifikasi khatib oleh menag? Hei, menag kita hanya bergelar Sarjana Agama, hanya S1 lulusan dalam negeri. Apa kabarnya para ulama di MUI? Mengapa para liberalis itu tidak pernah adil dalam berpendapat?
            Kita tidak jarang mendengar pendapat orang yang tidak suka dengan gerakan Islam yang ingin mendirikan khilafah. Mereka berkata, “Indonesia bukan hanya diduduki orang Islam saja.” Memang benar. Lantas mengapa mereka tidak protes kepada Menteri Agama yang selama ini terkesan hanya mengurusi umat Islam saja? Standardisasi khatib, peraturan pemilihan rektor PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri); bukankah itu pencurahan perhatian berlebih kepada umat Islam? Masih ada empat agama lain yang diakui di negeri ini. Jika alasannya adalah karena Islam agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia, maka jangan mencibir para politikus muslim yang ngotot menerapkan perda syariah, jangan mencibir gerakan Islam yang ingin mendirikan khilafah, jangan sinis kepada lelaki berjenggot bercelana cingkrang dan perempuan bercadar; karena mereka mayoritas dan mencoba melaksanakan perintah agamanya dengan benar dan konsisten. Mengapa tidak dibuat saja kementerian khusus bagi orang Islam. Kementerian Agama Islam misalnya.

            Semoga negeri ini tidak semakin terjerumus kepada lumpur kenaifan, beku dalam kefanatikan, juga terombang-ambing dalam arus kebohongan. Revolusi hanya tinggal menunggu waktu. Tuhan akan segera melakukan revolusi itu. Kalau bukan lewat manusia-Nya, berarti lewat bencana-Nya. Bagaimana nasib kita ketika revolusi itu terjadi, tergantung berada di barisan mana kita sekarang.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com