Beberapa
tulisan terakhir saya di sini, semuanya menyinggung hal-hal yang berkenaan
dengan Basuki Tjahaja Purnama. Saya pun sebenarnya enggan untuk terus-menerus
membahas orang tersebut. Namun, sepertinya saya lebih tertarik untuk bersikap
lebih bersahabat. Saya lebih memilih untuk mengucapkan terimakasih kepadanya.
Karena setidaknya Pak Basuki telah memberikan inspirasi kepada saya untuk tetap
menulis di situs pribadi ini –setidaknya- sebulan sekali.
Pembicaraan kali ini rasanya sudah
pernah saya singgung sekitar satu tahun yang lalu, juga di situs ini. Saya
pernah membahas soal kafir, siapa itu kafir, dan konsekuensi orang yang memilih
kafir setelah pernah beriman sebelumnya. Tentunya bukan tanpa sebab saya mengangkat
bahasan ini, walau sejujurnya saya yakin bahasan ini adalah bahasan yang biasa
–untuk tidak dikatakan usang-. Kita tak bisa memungkiri, bahwa ada sebagian
kelompok manusia di negara ini yang sangat alergi dengan kata ‘kafir’, ‘sesat’,
dan juga ‘munafik’; entah apa alasannya. Apalagi ketiga kata itu makin santer
dibicarakan belakangan ini. Ya, apa lagi penyebabnya selain soal pilkada DKI
Jakarta, soal memilih pemimpin yang seiman bagi umat Islam.
Berawal dari video Basuki Tjahaja Purnama
yang sedang berbicara di hadapan khalayak Kepulauan Seribu dengan membahas
“jangan mau dibohongin pake Al-Maidah 51”, sontak publik ramai
membicarakan soal surah Al-Maidah ayat 51. Padahal, sebelum kasus ini muncul,
banyak –bahkan sangat banyak- muslim di Indonesia yang tidak mengetahui makna
dari ayat tersebut, bahkan tidak tahu apa isi dari ayat tersebut. Tujuan Pak
Basuki ini jelas, bahwa siapapun warga DKI Jakarta yang ingin memilih gubernur
pada saat pilkada, jangan terpengaruh oleh omongan orang lain, tetapi pilihlah
pasangan calon yang sesuai dengan kehendak hati nurani. Namun, apa mau dikata,
Pak Basuki sudah terkenal memiliki mulut yang kerap tidak terkontrol, hingga
akhirnya publik tidak percaya bahwa dia tidak sengaja mengucapkan kalimat
tersebut.
Kemudian hari-hari berikutnya,
muncullah beberapa aksi menuntut agar keadilan ditegakkan, berharap sanksi yang
jelas dan tegas bagi si penista agama. Momen ini disinyalir oleh beberapa pihak
sarat dengan muatan politis, karena hanya beberapa bulan jaraknya dengan
pilkada. Belum lagi banyak ulama yang menghimbau untuk tidak memilih pemimpin
non-muslim. Di pihak lain, seperti mendapat angin segar, adanya kasus penistaan
agama memberikan opsi lain bagi para islamis untuk tidak memilih Pak Basuki.
Karena status terdakwa yang disandangnya, maka tidaklah pantas bagi Pak Basuki
untuk dipilih sebagai pemimpin. Tidak cukup sampai di sana, kemudian
bermunculan pula kajian-kajian dan sebaran-sebaran tentang dalil-dalil tidak
diperbolehkannya memilih pemimpin muslim. Atas beberapa hal tersebut, yang
terjadi kemudian adalah ramainya pembicaraan soal muslim atau kafir.
Setiap muslim diajarkan oleh ajaran
agamanya sendiri untuk tegas dalam bersikap dan berprilaku. Termasuk soal
pelabelan terhadap orang lain. Seorang muslim harus tegas menyatakan orang lain
kafir. Apapun alasannya, setiap orang yang sudah memenuhi syarat kekafiran, dia
harus dikatakan kafir. Syarat mutlak seseorang disebut kafir adalah apabila dia
tidak bersyahadat. Itu syarat mutlak yang disepekati oleh semua ulama. Saya
rasa bukan hanya muslim yang demikian, umat agama lain juga diajarkan berlaku
tegas dalam aqidah mereka. Kalau tidak, untuk apa beragama?
Kafir hanyalah status. Lalu mengapa
dipermasalahkan? Saya tidak pernah marah jika ada seorang Nasrani yang menyebut
saya ‘domba tersesat’. Orang Yahudi menyebut orang selain mereka dengan sebutan
Ghoyim. Penyebutan tersebut ada untuk pembeda. Orang Hindu mungkin tidak
punya penyebutan khusus bagi orang selain Hindu, tetapi mereka punya kasta.
Lagi-lagi untuk mengkategorisasikan manusia yang ada dalam kehidupan mereka.
Hal yang lucu ketika banyak muslim
yang justru protes kepada muslim lain yang menggunakan sebutan kafir kepada
orang non-muslim. Lho, ini orang kenapa? Haruskah begitu demi dicap
toleran? Naif sekali. Untuk apa al-Qur’an menjelaskan ciri-ciri orang kafir
dengan begitu gamblang jika umat Islam tidak boleh tegas dalam
pengimplementasiannya? Apakah jika saya menyebut orang Budha sebagai kafir
lantas saya membenci dan akan membunuh orang itu? Ah, Anda terlalu banyak
diracuni media mainstream. Lagipula dalam Islam diajarkan agar berbuat
adil meskipun kita dalam keadaan membenci.
Beralih ke kata lain selain kata
‘kafir’. Kita seringkali menemukan orang muslim yang alergi dengan kata
‘sesat’. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku muslim, paham soal Islam,
paham fiqh madzhab ini dan madzhab itu, tetapi alergi dengan kata sesat,
meskipun kata tersebut dinisbatkan kepada orang atau golongan yang nyata-nyata
kesesatannya? Begini, dalam surah al-Fatihah ayat terakhir, ada kata ‘dhaalliin’
yang artinya orang-orang sesat. Dalam ayat tersebut kita memohon petunjuk
kepada Allah, agar tidak ikut menapaki jalan orang yang dimurkai dan orang yang
tersesat. Surah al-Fatihah adalah surah yang wajib dibaca dan menjadi rukun
dalam shalat. Artinya, tanpa membacanya maka shalat kita tidak sah. Dalam satu
hari saja setidaknya kita membaca surah al-Fatihah sebanyak tujuh belas kali.
Artinya kita menyebut kata ‘sesat’ dan menilai sesat segolongan manusia hingga
tujuh belas kali dalam sehari. Ini belum ditambah lagi jika kita melaksanakan
shalat-shalat sunnah, artinya dalam sehari saja kita dapat menyebut kata sesat
lebih dari dua puluh kali secara sadar –jika tidak sadar, maka Anda kewajiban
shalat atas Anda menjadi gugur. Lantas, mengapa ada orang yang mengaku muslim,
mengaku menjalankan shalat lima waktu, tetapi masih ragu untuk menyebut sesat
seseorang atau sebuah golongan yang jelas-jelas kesesatannya? Bila memang
pakaian kita bau, maka katakanlah pakaian kita bau. Apakah harus kita katakan,
“Pakaian ini bukan bau. Hanya karena pakaian ini sering dipakai, dan belum
sempat diberi pewangi, maka aromanya jadi begini.”? Kalau memang bau,
katakanlah bau. Kalau memang salah katakanlah salah. Kalau memang jelas sesat,
maka katakanlah sesat.
Soal pelabelan kafir dan sesat ini,
erat kaitannya dengan status munafik. Saya akan sajikan sebuah ayat yang saya
yakin sebagian besar pembaca pernah membaca, mendengar, bahkan mengetahui arti
dan maknanya. “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di
dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta merka, sehingga mereka
memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesunguhnya (kalau kamu berbuat
demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan semua orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Neraka
Jahannam.” [1]
Sangat jelas pembahasan dalam ayat ini. Hebatnya lagi, ayat ini sangat
cocok dengan momen yang terjadi belakangan ini. Atau kurang jelas? Baiklah, saya
perjelas; bahwa siapapun muslim jika mendukung orang kafir, dimana orang kafir
tersebut telah mengolok-olok ayat al-Qur’an (padahal dia tidak paham), atau
menggunakannya sebagai alat propaganda, maka orang itu sama juga dengan si
pengolok-olok. Dengan kata lain, orang muslim tersebut masuk dalam kategori
munafik. Anda masih ingin mencari tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini
tidaklah bermakna secara harfiah? Nah, selamat. Anda masuk golongan yang
disebut dalam ayat tersebut.
Saya bukan merasa orang yang paling
bersih dari kemunafikan. Tidak. Bahkan manusia sekaliber ‘Umar bin Khaththab
saja takut kalau-kalau dirinya termasuk dalam golongan orang-orang munafik. Apalagi
saya yang mungkin hanya sebutir air di lautan luas jika dibandingkan dengan
khalifah kedua sepanjang sejarah Daulah Islam tersebut. Dengan ketakutan itulah
maka saya ingin sekali untuk menaati al-Qur’an yang telah mengajarkan saya
berbagai hal; baik yang berat maupun yang ringan, baik yang jelas maupun yang
samar-samar, baik yang mudah dipahami maupun yang sukar dipahami. Janji Allah jelas
bagi generasi muslim yang tidak tegas alias mencla-mencle, yakni menggantinya
dengan generasi muslim yang tegas, mereka keras terhadap orang kafir, dan lemah
lembut terhadap sesama muslim.[2]
Katakanlah yang benar meskipun itu
pahit. Layaknya obat, mungkin pahit, namun dapat menyembuhkan penyakit yang
diderita. Jika memang percaya al-Qur’an, maka taatilah apa yang termaktub di
dalamnya. Ketegasan dalam bersikap, menandakan kekuatan iman seseorang. Jika memang
kafir, ya katakanlah dia kafir. Jika memang sesat, ya katakanlah sesat. Jika memang
munafik, katakan saja munafik. Anda muslim dan Anda keberatan? Mari cek hati
sama-sama; jangan-jangan Anda –dan juga saya- termasuk dalam golongan yang
disebut ketiga itu.