zakyzr.com

Friday, 10 March 2017

Memang Kafir, Memang Sesat, Memang Munafik; Anda Keberatan?

Beberapa tulisan terakhir saya di sini, semuanya menyinggung hal-hal yang berkenaan dengan Basuki Tjahaja Purnama. Saya pun sebenarnya enggan untuk terus-menerus membahas orang tersebut. Namun, sepertinya saya lebih tertarik untuk bersikap lebih bersahabat. Saya lebih memilih untuk mengucapkan terimakasih kepadanya. Karena setidaknya Pak Basuki telah memberikan inspirasi kepada saya untuk tetap menulis di situs pribadi ini –setidaknya- sebulan sekali.
            Pembicaraan kali ini rasanya sudah pernah saya singgung sekitar satu tahun yang lalu, juga di situs ini. Saya pernah membahas soal kafir, siapa itu kafir, dan konsekuensi orang yang memilih kafir setelah pernah beriman sebelumnya.  Tentunya bukan tanpa sebab saya mengangkat bahasan ini, walau sejujurnya saya yakin bahasan ini adalah bahasan yang biasa –untuk tidak dikatakan usang-. Kita tak bisa memungkiri, bahwa ada sebagian kelompok manusia di negara ini yang sangat alergi dengan kata ‘kafir’, ‘sesat’, dan juga ‘munafik’; entah apa alasannya. Apalagi ketiga kata itu makin santer dibicarakan belakangan ini. Ya, apa lagi penyebabnya selain soal pilkada DKI Jakarta, soal memilih pemimpin yang seiman bagi umat Islam.
            Berawal dari video Basuki Tjahaja Purnama yang sedang berbicara di hadapan khalayak Kepulauan Seribu dengan membahas “jangan mau dibohongin pake Al-Maidah 51”, sontak publik ramai membicarakan soal surah Al-Maidah ayat 51. Padahal, sebelum kasus ini muncul, banyak –bahkan sangat banyak- muslim di Indonesia yang tidak mengetahui makna dari ayat tersebut, bahkan tidak tahu apa isi dari ayat tersebut. Tujuan Pak Basuki ini jelas, bahwa siapapun warga DKI Jakarta yang ingin memilih gubernur pada saat pilkada, jangan terpengaruh oleh omongan orang lain, tetapi pilihlah pasangan calon yang sesuai dengan kehendak hati nurani. Namun, apa mau dikata, Pak Basuki sudah terkenal memiliki mulut yang kerap tidak terkontrol, hingga akhirnya publik tidak percaya bahwa dia tidak sengaja mengucapkan kalimat tersebut.
            Kemudian hari-hari berikutnya, muncullah beberapa aksi menuntut agar keadilan ditegakkan, berharap sanksi yang jelas dan tegas bagi si penista agama. Momen ini disinyalir oleh beberapa pihak sarat dengan muatan politis, karena hanya beberapa bulan jaraknya dengan pilkada. Belum lagi banyak ulama yang menghimbau untuk tidak memilih pemimpin non-muslim. Di pihak lain, seperti mendapat angin segar, adanya kasus penistaan agama memberikan opsi lain bagi para islamis untuk tidak memilih Pak Basuki. Karena status terdakwa yang disandangnya, maka tidaklah pantas bagi Pak Basuki untuk dipilih sebagai pemimpin. Tidak cukup sampai di sana, kemudian bermunculan pula kajian-kajian dan sebaran-sebaran tentang dalil-dalil tidak diperbolehkannya memilih pemimpin muslim. Atas beberapa hal tersebut, yang terjadi kemudian adalah ramainya pembicaraan soal muslim atau kafir.
            Setiap muslim diajarkan oleh ajaran agamanya sendiri untuk tegas dalam bersikap dan berprilaku. Termasuk soal pelabelan terhadap orang lain. Seorang muslim harus tegas menyatakan orang lain kafir. Apapun alasannya, setiap orang yang sudah memenuhi syarat kekafiran, dia harus dikatakan kafir. Syarat mutlak seseorang disebut kafir adalah apabila dia tidak bersyahadat. Itu syarat mutlak yang disepekati oleh semua ulama. Saya rasa bukan hanya muslim yang demikian, umat agama lain juga diajarkan berlaku tegas dalam aqidah mereka. Kalau tidak, untuk apa beragama?
            Kafir hanyalah status. Lalu mengapa dipermasalahkan? Saya tidak pernah marah jika ada seorang Nasrani yang menyebut saya ‘domba tersesat’. Orang Yahudi menyebut orang selain mereka dengan sebutan Ghoyim. Penyebutan tersebut ada untuk pembeda. Orang Hindu mungkin tidak punya penyebutan khusus bagi orang selain Hindu, tetapi mereka punya kasta. Lagi-lagi untuk mengkategorisasikan manusia yang ada dalam kehidupan mereka.
            Hal yang lucu ketika banyak muslim yang justru protes kepada muslim lain yang menggunakan sebutan kafir kepada orang non-muslim. Lho, ini orang kenapa? Haruskah begitu demi dicap toleran? Naif sekali. Untuk apa al-Qur’an menjelaskan ciri-ciri orang kafir dengan begitu gamblang jika umat Islam tidak boleh tegas dalam pengimplementasiannya? Apakah jika saya menyebut orang Budha sebagai kafir lantas saya membenci dan akan membunuh orang itu? Ah, Anda terlalu banyak diracuni media mainstream. Lagipula dalam Islam diajarkan agar berbuat adil meskipun kita dalam keadaan membenci.
            Beralih ke kata lain selain kata ‘kafir’. Kita seringkali menemukan orang muslim yang alergi dengan kata ‘sesat’. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku muslim, paham soal Islam, paham fiqh madzhab ini dan madzhab itu, tetapi alergi dengan kata sesat, meskipun kata tersebut dinisbatkan kepada orang atau golongan yang nyata-nyata kesesatannya? Begini, dalam surah al-Fatihah ayat terakhir, ada kata ‘dhaalliin’ yang artinya orang-orang sesat. Dalam ayat tersebut kita memohon petunjuk kepada Allah, agar tidak ikut menapaki jalan orang yang dimurkai dan orang yang tersesat. Surah al-Fatihah adalah surah yang wajib dibaca dan menjadi rukun dalam shalat. Artinya, tanpa membacanya maka shalat kita tidak sah. Dalam satu hari saja setidaknya kita membaca surah al-Fatihah sebanyak tujuh belas kali. Artinya kita menyebut kata ‘sesat’ dan menilai sesat segolongan manusia hingga tujuh belas kali dalam sehari. Ini belum ditambah lagi jika kita melaksanakan shalat-shalat sunnah, artinya dalam sehari saja kita dapat menyebut kata sesat lebih dari dua puluh kali secara sadar –jika tidak sadar, maka Anda kewajiban shalat atas Anda menjadi gugur. Lantas, mengapa ada orang yang mengaku muslim, mengaku menjalankan shalat lima waktu, tetapi masih ragu untuk menyebut sesat seseorang atau sebuah golongan yang jelas-jelas kesesatannya? Bila memang pakaian kita bau, maka katakanlah pakaian kita bau. Apakah harus kita katakan, “Pakaian ini bukan bau. Hanya karena pakaian ini sering dipakai, dan belum sempat diberi pewangi, maka aromanya jadi begini.”? Kalau memang bau, katakanlah bau. Kalau memang salah katakanlah salah. Kalau memang jelas sesat, maka katakanlah sesat.
            Soal pelabelan kafir dan sesat ini, erat kaitannya dengan status munafik. Saya akan sajikan sebuah ayat yang saya yakin sebagian besar pembaca pernah membaca, mendengar, bahkan mengetahui arti dan maknanya. “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta merka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesunguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Neraka Jahannam.” [1] Sangat jelas pembahasan dalam ayat ini. Hebatnya lagi, ayat ini sangat cocok dengan momen yang terjadi belakangan ini. Atau kurang jelas? Baiklah, saya perjelas; bahwa siapapun muslim jika mendukung orang kafir, dimana orang kafir tersebut telah mengolok-olok ayat al-Qur’an (padahal dia tidak paham), atau menggunakannya sebagai alat propaganda, maka orang itu sama juga dengan si pengolok-olok. Dengan kata lain, orang muslim tersebut masuk dalam kategori munafik. Anda masih ingin mencari tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini tidaklah bermakna secara harfiah? Nah, selamat. Anda masuk golongan yang disebut dalam ayat tersebut.
            Saya bukan merasa orang yang paling bersih dari kemunafikan. Tidak. Bahkan manusia sekaliber ‘Umar bin Khaththab saja takut kalau-kalau dirinya termasuk dalam golongan orang-orang munafik. Apalagi saya yang mungkin hanya sebutir air di lautan luas jika dibandingkan dengan khalifah kedua sepanjang sejarah Daulah Islam tersebut. Dengan ketakutan itulah maka saya ingin sekali untuk menaati al-Qur’an yang telah mengajarkan saya berbagai hal; baik yang berat maupun yang ringan, baik yang jelas maupun yang samar-samar, baik yang mudah dipahami maupun yang sukar dipahami. Janji Allah jelas bagi generasi muslim yang tidak tegas alias mencla-mencle, yakni menggantinya dengan generasi muslim yang tegas, mereka keras terhadap orang kafir, dan lemah lembut terhadap sesama muslim.[2]
            Katakanlah yang benar meskipun itu pahit. Layaknya obat, mungkin pahit, namun dapat menyembuhkan penyakit yang diderita. Jika memang percaya al-Qur’an, maka taatilah apa yang termaktub di dalamnya. Ketegasan dalam bersikap, menandakan kekuatan iman seseorang. Jika memang kafir, ya katakanlah dia kafir. Jika memang sesat, ya katakanlah sesat. Jika memang munafik, katakan saja munafik. Anda muslim dan Anda keberatan? Mari cek hati sama-sama; jangan-jangan Anda –dan juga saya- termasuk dalam golongan yang disebut ketiga itu.




[1] An-Nisaa: 140
[2] Lihat al-Maidah:54

2 comments:

  1. Bagus sekali tulisannya, tapi sangat disayangkan pesan bagaimana cara yg arif untuk dakwah tidak ada

    ReplyDelete

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com