zakyzr.com

Sunday, 30 April 2017

Film Surau dan Silek: Perwajahan Adat Berbalut Syari’at

Shalat, shalawat, dan silat. Tiga hal tersebut bukan hanya menjadi topik pembicaraan utama dalam film Surau dan Silek, tetapi juga topik utama bagi siapapun yang ingin mempelajari ilmu bela diri. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki seni bela diri khas Nusantara, yakni silat atau pencak silat. Istilah ‘pencak’ lebih merujuk kepada seni, sedangkan silat merujuk pada inti bela diri itu sendiri. Walau seni bela diri ini juga dikenal di negeri-negeri Jiran seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, juga Thailand. Silat, di Indonesia memiliki beragam jenis yang memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Silat sering sekali –bahkan hampir semua- memiliki ritual khusus. Tidak jarang ritual-ritual tersebut yang tersentuh ilmu hitam. Biasanya ritual-ritual yang ada –tidak terkecuali yang bernuansa ilmu hitam- diperlukan untuk menguatkan tenaga dalam dan memfokuskan diri agar memiliki keluwesan dalam bergerak. Silat di Nusantara memang terbentuk dari budaya orang-orang yang ingin memiliki kemampuan mempertahankan diri dengan menirukan gaya-gaya hewan di sekitarnya seperi kera, harimau, ataupun ular, meskipun tidak pernah diketahui secara pasti asal-muasal dan asal-mulanya. Namun, demikian halnya dengan tarian Nusantara, seni bela diri silat selalu kental dengan nuansa budaya dan spiritualitas.
            Kita mengenal Cimande dan Cikalong di wilayah Jawa Barat, Merpati Putih yang lahir di Jawa Tengah, di Jawa Timur lahir Perisai Diri. Bahkan ormas besar seperti  Muhammadiyah juga memiliki perguruan silat sendiri yang cukup mendunia, yakni Tapak Suci. Daerah lain di Nusantara memiliki silat sendiri dengan istilah yang berbeda-beda. Sebut saja di Tanah Minangkabau, terdapat pula silat yang lidah lokal di sana menyebutnya dengan ‘silek’. Minang, dengan segala kesahajaannya, memiliki prinsip Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah’. Para leluhur Minang adalah orang yang taat beribadah, kuat beragama, juga mampu mempertahankan diri mereka dari serangan orang-orang jahat. Maka sungguh, mereka hanya ingin menerapkan adat di Minang yang bernafaskan syariat Islam nan berdasar al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka semangat syariat Islam ini haruslah terus hidup dalam laku perbuatan Urang Awak, tidak terkecuali dalam Silek mereka. Shalat sebagai tiang agama, menjaga perilaku orang-orang Minang agar tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar. Mereka bershalawat sebagai perwujudan kecintaan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, dan mereka ber-silek untuk mempertahankan diri, sebagai perwujudan mukmin yang kuat harus menjaga izzah serta iffah­ diri dan agamanya.
            Shalat, shalawat, dan silek; ungkapan itu meluncur tegas dari lisan Gaek Djohar dalam film Surau dan Silek ketika dirinya diminta untuk mengajari silek kepada tiga anak SD bernama Adil, Dayat, dan Kurip. Motif mereka memang untuk memenangkan lomba, terlebih Adil yang menanam dendam karena dicurangi oleh rivalnya, Hardi, di kompetisi sebelumnya. Layaknya anak-anak seusia mereka, motif untuk belajar silek tentulah tidak seideologis seperti apa yang diinginkan oleh Kakek Djohar. Hal itu pula yang membuat Djohar menolak ketika kembali ditawarkan untuk mengajarkan silek. Namun, dengan dorongan sang istri, juga kesadaran hatinya sebagai ex-pendekar di kampung halamannya, Djohar berubah pikiran dan menyambut gayung yang sudah mampir di hadapannya. Bagi Djohar, seyogianya dirinya mengajari kepada anak-anak itu bersilek dengan segala keutamaan dan filosofinya. Maka hal pertama yang ditanyakan sebelum dirinya mengajar silek kepada anak-anak tersebut adalah, “Bagaimana shalat kalian?”
            Tanpa saya harus memberikan bocoran –walau sebenarnya ini sudah sangat spoiler- dalam tulisan ini tentang filmnya, saya hanya memberikan imbauan kepada masyarakat Indonesia untuk menonton film ini. Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya dan bahasa, tetapi kita semua tahu, film bernuansa kedaerahan di negeri ini seringkali ‘gagal manggung’ kecuali di tanah mereka sendiri. Terakhir, ada film Uang Panai’ yang bisa sintas di bioskop-bioskop Indonesia, walau kenyataannya hal itu amat dipengaruhi dengan penyebaran orang Bugis yang sangat besar di kota-kota seperti Balikpapan, Samarinda, Jayapura, dan tentu saja Makassar. Layar-layar Uang Panai’ di kota lain begitu cepat hilang tanpa bekas. Mengangkat kebudayaan lokal ke layar lebar memang bukan pekerjaan yang mudah. Para pelaku film haruslah jeli melihat kebutuhan dan keinginan pasar, sehingga tercipta cerita, skenario, tema besar, hingga judul yang menarik minat para penonton bioskop Indonesia.
            Film Surau dan Silek dengan biaya yang relatif sedikit, hampir tanpa bintang, juga dengan keterbatasan lain, berkat arahan sutradara Arif Malinmudo, mampu menyajikan tontonan apik dan juga menghibur. Sekalipun sebagian besar dialognya berbahasa Minang –tentu disertai dengan terjemahan- tidak menghalangi penonton yang tertawa terpingkal-pingkal, terkhusus melihat tingkah Dayat yang tetap percaya diri bahwa dirinya bisa mendapatkan Rani. “Dasar bocah!”, mungkin menjadi trending topic melihat tingkah laku Adil, Dayat, dan Kurip ketika menontonnya. Dengan dibalut keindahan alam Sumatera Barat, terutama Bukittingi yang menyegarkan pandangan, membuat sorotan kamera terasa sangkil, meski jika diperhatikan ada beberapa scene yang terlihat pecah dan kurang pencahayaan. Konsentrasi penonton tentu terpecah oleh keindahan alam yang berkali-kali ditampilkan dalam film ini, ketimbang berusaha meneliti dimana letak kekurangan sorotan kamera dan audio yang didengungkan.

            Saya berharap sekali, para sineas Indonesia tergerak untuk terus mengangkat keunikan budaya Indonesia lewat film. Surau dan Silek adalah film bernuansa filosofis keluhuran budaya Minang yang membentuk masyarakatnya menjadi pribadi yang religius, juga tangguh membela diri, bangsa, dan agamanya. Kita mengenal Tuanku Imam Bonjol, M. Natsir, H. Agus Salim, hingga Buya Hamka adalah sebagian dari sederet pejuang tangguh yang dilahirkan oleh Tanah Minang. Tentu saja ini adalah hasil penempaan dari budaya khas Minang, sebagaimana yang dituturkan lewat film Surau dan Silek, “Lahia mancari kawan, batin mancari Tuhan”. Ya, itulah hakikat hidup. Secara lahiriah, kita selalu mencari kawan. Karena memiliki satu lawan terasa terlalu banyak, dan memiliki seribu kawan terasa terlalu sedikit. Sedang batin kita selalu mencari Tuhan, agar tindak-tanduk kita memancarkan aura positif kepada lingkungan sekitar. Maka jelaslah bahwa film Surau dan Silek bukan dikhususkan untuk orang Minang saja, namun juga untuk segenap masyarakat Indonesia yang menginginkan tontonan yang bukan hanya sekadar menjadi tontontan, tetapi juga menjadi tuntunan.

0 comments:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com